Mei Lan, seorang gadis cantik dan berbakat, telah hidup dalam bayang-bayang saudari kembarnya yang selalu menjadi favorit orang tua mereka. Perlakuan pilih kasih ini membuat Mei Lan merasa tidak berharga dan putus asa. Namun, hidupnya berubah drastis ketika dia mengorbankan dirinya dalam sebuah kecelakaan bus untuk menyelamatkan penumpang lain. Bukannya menuju alam baka, Mei Lan malah terlempar ke zaman kuno dan menjadi putri kesayangan di keluarga tersebut.
Di zaman kuno, Mei Lan menemukan kehidupan baru sebagai putri yang disayang. Namun, yang membuatnya terkejut adalah gelang peninggalan kakeknya yang memiliki ruang ajaib. Apa yang akan dilakukan Mei Lan? Yuk kita ikuti kisahnya!
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Yulianti Azis, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Perubahan Qing Mei
Qing Mei baru saja keluar dari ruang ajaib yang misterius. Napasnya masih belum teratur setelah pengalaman luar biasa itu. Namun begitu ia melangkah ke luar kamar, suara gaduh dari luar rumah sederhana mereka langsung membuat jantungnya berdegup kencang.
Suara jeritan ibunya terdengar pilu.
“Tolong! Jangan pukul anak-anakku!”
Qing Mei berlari keluar. Begitu ia membuka pintu, pemandangan di depan rumah membuat darahnya mendidih. Sang ibu, Qing Rong, berlutut sambil menangis, sementara kedua kakaknya, Qing Wei dan Qing Dao, tengah dipukuli oleh beberapa pria bertubuh besar.
Di sisi lain, seorang wanita gemuk mengenakan hanfu mahal berdiri sambil tertawa puas.
“Inilah akibatnya kalau berani berutang tanpa bisa membayar!” serunya dengan nada menghina.
“Berhenti!” suara Qing Mei menggema tajam di udara.
Semua orang serentak menoleh. Bahkan Qing Rong yang tengah menangis, mendongak kaget melihat putrinya keluar dari rumah.
“Mei’er! Kenapa kamu keluar, nak? Masuk lagi! Cepat!” seru Qing Rong panik sambil berusaha berdiri.
Qing Mei menatap ibunya yang pucat, lalu melihat luka di wajah kedua kakaknya. Dadanya terasa sesak. “Bu, apa yang terjadi? Siapa mereka?” tanyanya dengan suara gemetar tapi tegas.
Wanita gemuk itu melirik Qing Mei dari atas ke bawah, matanya menyipit penuh niat jahat.
“Ohh … ternyata putrimu ini masih hidup rupanya. Cantik juga.” Ia tertawa pelan, lalu melanjutkan dengan nada keji, “Lumayan untuk dijadikan pekerja di rumah bordil. Setidaknya bisa menutupi sedikit utang kalian.”
“Jangan!” Qing Rong berteriak histeris sambil memeluk kaki wanita itu. “Jangan ambil anakku! Dia tidak tahu apa-apa, tolong!”
“Ambil aku saja!” Qing Wei yang babak belur berseru. “Jangan sentuh adik kami!”
“Benar! Kami akan kerja lembur, akan cari koin, asal jangan ambil adik kami!” tambah Qing Dao, berdiri dengan tubuh gemetar menahan sakit.
Namun wanita gemuk itu hanya mendengus sinis.
“Sampah miskin seperti kalian tak punya pilihan. Bawa gadis itu!” perintahnya pada para pengawal.
Dua pengawal bertubuh besar langsung maju dan meraih lengan Qing Mei. Tapi sekejap kemudian.
Krak!
“Arghhh!!”
Salah satu pengawal menjerit ketika Qing Mei dengan gerakan cepat memutar lengannya hingga terdengar bunyi patah dari sendinya. Tubuh besar itu langsung terpelanting ke tanah.
Semua orang terpaku.
“M–Mei’er?” suara Qing Rong lirih, matanya membelalak tak percaya.
“Adik bisa bela diri?” gumam Qing Wei terkejut sambil mengusap darah di bibirnya.
Qing Mei berdiri tegap, pandangan matanya tajam dan dingin. Ia mengambil posisi kuda-kuda yang pernah ia pelajari di dunia modern. Aura kepercayaan diri terpancar kuat darinya.
Meskipun dia sering dikatakan anak pembawa sial, tanpa diketahui keluarganya, Mei Lan merupakan gadis yang berbakat dan multitalenta.
“Siapa pun yang berani maju selangkah lagi,” katanya dengan suara rendah tapi tajam seperti pisau, “akan kutebas tanpa ampun.”
Wanita gemuk itu melotot geram.
“Dasar sombong! Tangkap dia, hei pengawal bodoh! Dia hanya seorang gadis kecil!” teriaknya panik namun masih berlagak berani.
Kelima pengawal maju bersamaan, menghunus pedang. Qing Mei menghela napas dalam.
Bugh!
Dalam sekejap, ia melompat ke depan, menendang dada salah satu pengawal hingga terjengkang, lalu merebut pedangnya. Pedang berkilat di tangannya, gerakannya cepat, ringan, dan penuh ketepatan.
Setiap ayunan menghasilkan jeritan, pengawal-pengawal itu tumbang satu demi satu, meringis menahan sakit di tanah.
Saat pedang terakhir terayun, hanya suara napas berat Qing Mei yang terdengar.
Wanita gemuk itu mundur dengan wajah pucat pasi.
“Kalian … kalian tidak akan bisa lolos dari ini! Kalian akan menyesal melawanku!” teriaknya sebelum kabur terbirit-birit bersama beberapa pengawalnya yang masih bisa berjalan.
Qing Mei berdiri di tengah halaman, napasnya terengah-engah. Tangannya yang memegang pedang sedikit gemetar. Tubuh ini terlalu lemah. Aku harus melatihnya secepat mungkin.
Ia melempar pedang ke tanah dan segera berlari ke arah keluarganya.
“Bu, Kakak! Kalian tidak apa-apa?” katanya sambil berlutut di depan mereka.
Qing Rong langsung memeluk putrinya erat-erat, menangis di bahunya.
“Nak apa yang kau lakukan? Dari mana kau belajar semua itu?” suaranya serak karena tangis.
Qing Mei mengusap air mata di wajah ibunya dengan lembut.
“Nanti aku jelaskan, Bu. Sekarang yang penting kalian aman dulu.”
Qing Wei menatap adiknya tak percaya.
“Aku … aku tidak pernah tahu adikku yang lemah bisa seperti itu,” katanya setengah bercanda untuk menutupi haru di dadanya.
Qing Dao tersenyum tipis meski bibirnya pecah berdarah.
“Sepertinya adik kecil kita bukan gadis biasa lagi.”
Qing Mei hanya tersenyum kecil, tapi dalam hatinya ia bertekad kuat. Mulai sekarang, aku tidak akan biarkan siapa pun menyakiti keluargaku lagi.
Setelah wanita gemuk itu kabur bersama pengawalnya, suasana rumah kecil keluarga Qing kembali hening. Hanya suara jangkrik dan napas berat Qing Mei yang terdengar. Darah dari luka kedua kakaknya menetes ke tanah, dan wajah sang ibu masih pucat ketakutan.
“Masuk, Bu. Kakak juga. Ayo, kita ke dalam dulu,” ucap Qing Mei lembut, menopang tubuh ibunya yang gemetar.
Mereka bertiga perlahan masuk ke rumah. Di ruang tengah yang sederhana, Qing Wei dan Qing Dao duduk bersandar di dinding, wajah mereka lebam dan tangan mereka penuh luka.
Qing Rong menatap mereka dengan mata berkaca-kaca, sementara Qing Mei bergegas masuk ke kamarnya.
Beberapa saat kemudian, ia kembali membawa sebuah kotak putih kecil.
“Mei’er, itu apa?” tanya Qing Rong heran. “Kotak aneh apa itu?” tambah Qing Dao, menatap benda itu curiga.
Qing Mei tersenyum samar. “Mei'er menemukannya di hutan waktu mencari kayu bakar, Bu. Seorang pengelana memberikannya padaku sebelum pergi.”
Qing Rong tampak ragu, tapi ia terlalu lelah untuk bertanya lebih jauh. “Hati-hati ya, jangan sampai benda itu berbahaya.”
“Tidak apa-apa, Bu. Percayalah padaku.”
Qing Mei membuka kotak P3K yang sebenarnya berasal dari ruang ajaib gelang peraknya. Aroma antiseptik langsung tercium, sesuatu yang belum pernah mereka rasakan sebelumnya. Ia mengeluarkan kapas, alkohol, dan perban steril.
Dengan hati-hati, ia mulai membersihkan luka di pipi Qing Wei.
“Agh … perih!” Qing Wei mengerutkan dahi, tapi tidak bergerak.
“Tahan sedikit, Kak. Ini untuk mencegah infeksi,” kata Qing Mei lembut.
“Infek … apa?” Qing Dao mengernyit heran.
“Hmm … semacam luka yang bisa membusuk kalau tidak dibersihkan,” jawab Qing Mei cepat, mencoba mencari kata sederhana.
Qing Rong memperhatikan setiap gerakan putrinya. Dari mana dia belajar hal-hal seperti ini? pikirnya, tapi ia hanya diam.
Hati seorang ibu tahu, ada sesuatu yang berbeda pada putrinya sejak sang putri sadar, tapi untuk saat ini, ia hanya merasa bersyukur.
Setelah membalut luka-luka mereka, Qing Mei menutup kotaknya dan tersenyum puas.
“Sudah. Besok pasti agak membaik,” katanya sambil mengusap tangan.
Qing Wei menatapnya takjub. “Aneh sekali, tidak terasa sakit lagi,” ucapnya, memandangi perbannya.
“Aku juga,” tambah Qing Dao, menggerak-gerakkan tangannya pelan. “Apa benar ini dari pengelana, Mei’er?”
Qing Mei tersenyum samar. “Ya, sepertinya benda ini memang ajaib.”
Suasana sempat tenang sejenak, sampai akhirnya Qing Mei menatap ibunya serius.
“Bu, siapa sebenarnya orang-orang tadi? Kenapa mereka memukul Kakak dan menagih utang?”
Wajah Qing Rong berubah muram. Ia menunduk, jemarinya saling menggenggam erat.
“Mereka penagih utang, nak.” suaranya bergetar. “Sudah beberapa bulan ini mereka datang ke rumah.”
Qing Mei mengernyit. “Utang? Tapi dari mana asalnya? Dalam ingatan—” Ia terhenti sejenak, lalu mengubah kalimatnya, “Maksud Mei'er, bukankah Ibu tidak pernah berutang pada siapa pun?”
Qing Wei menatap adiknya, lalu menarik napas panjang. “Sebenarnya itu bukan utang Ibu,” katanya dengan nada getir.
Qing Mei menatapnya tajam. “Lalu siapa?”
Qing Dao menjawab dengan wajah penuh amarah.
“Nenek. Dan juga Bibi. Mereka yang berutang, tapi yang dikejar justru kita.”
“Apa?!” suara Qing Mei meninggi tanpa sadar.
“Ya,” sahut Qing Wei. “Beberapa waktu lalu mereka pinjam koin untuk membuka usaha, tapi gagal. Mereka beralasan kalau Ibu bagian dari keluarga, jadi penagih datang ke kita.”
“Tapi kenapa mereka tidak membayar sendiri?” tanya Qing Mei menahan emosi.
“Karena mereka menganggap kita beban,” jawab Qing Dao lirih.
Qing Rong menunduk lebih dalam, matanya mulai berkaca-kaca. “Maafkan Ibu,” katanya pelan.
Dia memang selalu sisihkan oleh keluarganya. Karena menikahi pria miskin yang sekarang keberadaannya entah ke mana.
Hening sejenak, hanya suara api dari tungku dapur kecil terdengar lembut, seolah menyayat ketenangan yang rapuh itu.
Qing Mei menggenggam erat tangannya. Di dalam pikirannya, ingatan Qing Mei asli muncul satu per satu kenangan keluarga yang menindas, ejekan, dan rasa tak berdaya.
Matanya menatap tajam ke luar jendela.
“Jadi begitu,” katanya pelan tapi dingin. “Mereka berani menindas Ibu hanya karena kita miskin.”
Qing Wei menatap adiknya khawatir. “Mei’er, jangan macam-macam. Kita tidak bisa melawan mereka. Mereka punya hubungan dengan pejabat desa.”
Tapi Qing Mei tersenyum tipis, senyum yang tidak pernah dilihat oleh siapa pun sebelumnya.
“Tenang saja, Kak. Aku tidak akan gegabah.”
Ia menatap gelang perak di pergelangan tangannya, yang berkilau samar. “Tapi aku juga tidak akan diam. Orang-orang itu harus belajar apa artinya membayar harga atas perbuatan mereka.”
Qing Rong memegang tangan putrinya, menatapnya lembut tapi penuh kekhawatiran.
“Mei’er, jangan melibatkan diri dalam urusan kotor itu. Ibu tidak ingin kehilanganmu juga.”
Qing Mei menatap ibunya, lalu tersenyum lembut. “Aku janji, Bu. Aku tidak akan meninggalkan Ibu dan Kakak. Tapi kali ini, biarkan aku melindungi kalian.”
ksiham ya knp si mei lan sllu di bully apa slah mei lan.coba