“Satu malam, satu kesalahan … tapi justru mengikat takdir yang tak bisa dihindari.”
Elena yang sakit hati akibat pengkhianat suaminya. Mencoba membalas dendam dengan mencari pelampiasan ke klub malam.
Dia menghabiskan waktu bersama pria yang dia anggap gigolo. Hanya untuk kesenangan dan dilupakan dalam satu malam.
Tapi bagaimana jadinya jika pria itu muncul lagi dalam hidup Elena bukan sebagai teman tidur tapi sebagai bos barunya di kantor. Dan yang lebih mengejutkan bagi Elena, ternyata Axel adalah sepupu dari suaminya Aldy.
Axel tahu betul siapa Elena dan malam yang telah mereka habiskan bersama. Elena yang ingin melupakan semua tak bisa menghindari pertemuan yang tak terduga ini.
Axel lalu berusaha menarik Elena dalam permainan yang lebih berbahaya, bukan hanya sekedar teman tidur berstatus gigolo.
Apakah Elena akan menerima permainan Axel sebagai media balas dendam pada suaminya ataukah akan ada harapan yang lain dalam hubungan mereka?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon mama reni, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab Tujuh
Setelah Lisa pulang, Aldi masuk ke kamar. Elena yang sedang membersihkan wajahnya di depan meja rias hanya tersenyum. Dia hanya memakai baju dinas malam. Sengaja untuk menggoda suaminya.
Elena ingin tahu, apakah suaminya masih tertarik dengan tubuhnya.
Aldi mendekat. Dia memeluk istrinya dari belakang. Mengecup pucuk kepala sang istri.
"Sayang, wangi banget," ucap Aldi.
Elena lalu berdiri dan tersenyum menggoda. "Mas, kamu tak mandi?" tanya Elena. Dia membuka satu persatu kancing baju sang suami.
Aldi tersenyum kecil, membiarkan tangan istrinya membuka satu per satu kancing bajunya. Helaan napasnya makin berat setiap kali Elena menyentuh kulitnya dengan lembut. Mata Aldi berkilat, jelas sekali godaan itu berhasil membuat darahnya mendidih.
“Elen …,” bisik Aldi parau sambil menarik pinggang istrinya lebih dekat.
Elena menatap wajah suaminya, bibirnya melengkung nakal. Dia sengaja menempelkan tubuhnya, menundukkan kepala seolah ingin mencium, lalu menjauh lagi. Tangannya menyusuri dada bidang Aldi, seakan memberi isyarat tapi tetap menahan diri.
Aldi kehilangan kendali. Dia mendorong kursi rias, lalu memeluk Elena erat, bibirnya hendak melumat bibir istrinya.
Tapi tiba-tiba Elena menahan dengan telapak tangannya. “Mas …,” ucap Elena dengan lembut, tapi tatapannya penuh teka-teki.
“Apa lagi?” Aldi nyaris berbisik, suaranya berat menahan hasrat.
Elena tersenyum, seolah menikmati rasa frustrasi suaminya. “Aku … lagi datang bulan,” ujar Elena pelan sambil menepuk pipi Aldi.
Aldi sontak terdiam. Tubuhnya tegang, tatapannya berubah jengkel. “Elena! Kamu sengaja ya bikin aku panas begini?”
Elena hanya terkekeh kecil, lalu berbalik naik ke ranjang. Dia menarik selimut, membelakangi Aldi. “Tidur, Mas. Besok kan kerja lagi,” katanya ringan, seolah tak ada yang terjadi.
Aldi berdiri terpaku, wajahnya merah menahan kesal. Dia menghela napas panjang, lalu akhirnya memilih masuk kamar mandi, meninggalkan Elena yang sudah memejamkan mata.
Namun, di balik kelopak matanya yang terpejam, pikiran Elena justru melayang. Bayangan Axel muncul begitu jelas, tatapan tajamnya, cara pria itu menyentuh dan mempermainkan dirinya semalam. Degup jantungnya bertambah cepat, bukan karena Aldi, melainkan karena Axel. Senyum samar terbit di bibirnya, membayangkan kejadian kemarin yang samar-samar dia ingat.
"Axel ... siapa kamu sebenarnya? Penampilan kamu bukan seperti pria bayaran!" seru Elena pada dirinya sendiri.
**
Pagi-pagi Elena sudah bangun. Setelah mandi, dia berencana memasak sarapan untuk sang suami.
Hujan semalam membuat halaman rumah tampak bersih, dedaunan berkilau disiram embun. Dari dapur terdengar suara panci beradu, aroma bawang putih yang digoreng menyeruak ke seluruh ruangan. Elena sedang sibuk di dapur, mengenakan daster sederhana dan celemek, rambutnya dikuncir seadanya.
Meskipun hatinya semalam penuh pergolakan, pagi ini ia tetap berusaha terlihat seperti istri yang baik. Nasi goreng yang ia aduk di wajan mengepulkan asap wangi. Ia menambahkan sosis, potongan sayur, lalu mengocok telur dan menebarkannya di atas wajan.
“El, kamu bikin nasi goreng?” suara Aldi terdengar dari arah tangga.
Elena menoleh sebentar, lalu mengangguk. “Iya, Mas. Mumpung bangun agak pagi.”
Aldi turun dengan kemeja rapi, wajahnya segar setelah mandi. Belakangan ini ia jarang mau repot-repot sarapan di rumah. Waktunya banyak bersama Lisa. Namun, pagi ini ia merasa perlu duduk sebentar, apalagi mengingat semalam Elena seperti mulai curiga hubungannya dengan Lisa.
Di meja makan sudah tertata piring-piring rapi. Elena meletakkan nasi goreng hangat, lengkap dengan acar dan kerupuk. Gelas teh manis panas mengepulkan uap.
“Silakan, Mas. Makan dulu sebelum ke kantor,” ucap Elena sambil duduk.
Aldi mengangguk, menarik kursi, lalu mulai menyendok nasi goreng. Suapan pertama langsung membuatnya tersenyum kecil. “Enak banget. Sudah lama rasanya tak mencicipi sarapan yang kamu masak."
Elena tersenyum samar. “Itu karena Mas yang terlalu sibuk di kantor."
Suasana sempat hening beberapa saat. Aldi menyesali ucapannya yang terlanjur tadi. Hanya terdengar suara sendok beradu dengan piring. Aldi makan dengan lahap, sementara Elena lebih banyak memperhatikan. Sesekali ia meneguk teh, sesekali melamun. Bayangan Axel kembali muncul di benaknya, tatapan tajam yang entah kenapa terus menghantui.
"Axel ... kenapa bayangannya selalu menghantuiku?"
Aldi menyadari istrinya melamun, tapi ia memilih diam. Ia sendiri juga sedang memikirkan banyak hal. Sejak beberapa minggu terakhir, suasana kantor terasa aneh. Om Surya, CEO sekaligus pamannya jarang muncul. Tapi Aldi tidak pernah menanyakan lebih jauh, toh posisinya aman karena masih keluarga.
Setelah sarapan, mereka bersiap berangkat bersama. Aldi yang menyetir, Elena duduk di kursi penumpang. Mobil melaju mulus keluar dari garasi. Jalanan pagi cukup ramai, deretan motor dan mobil beriringan menuju pusat kota.
“El, nanti pulangnya mau bareng atau gimana?” tanya Aldi untuk memecah hening.
“Lihat nanti aja. Kalau Mas lembur, ya aku pulang sendiri,” jawab Elena datar sambil menatap keluar jendela.
Aldi mengangguk, meski hatinya agak kecewa. Biasanya Elena akan antusias pulang bareng. Kini nada suaranya terasa hambar.
Sesampainya di kantor, suasana masih normal. Karyawan berlalu-lalang, beberapa menyapa ramah. Aldi masuk ke ruangannya di lantai atas, sementara Elena menuju meja administrasi di lantai bawah.
Hari berjalan seperti biasa. Elena sibuk mengurus berkas, menjawab telepon, dan sesekali bercanda kecil dengan rekan kerjanya. Aldi di sisi lain, meski duduk di balik meja manajernya, lebih banyak memainkan ponsel daripada fokus kerja. Ia merasa tenang-tenang saja, toh posisinya selalu terlindungi oleh Om Surya.
Pagi ini dia dan Lisa sedikit menjaga jarak agar Elena tak makin curiga.
Namun, menjelang siang, tiba-tiba suasana kantor berubah. Dari pengeras suara terdengar pengumuman.
“Seluruh karyawan diminta berkumpul di aula utama pukul satu siang. Ada pengumuman penting dari jajaran direksi.”
Semua orang terdiam. Aula utama hanya digunakan kalau ada hal besar, biasanya jarang sekali. Suara bisik-bisik segera terdengar di mana-mana.
“Pengumuman penting apaan, ya?” tanya salah satu staf.
“Waduh, jangan-jangan ada PHK massal?” sahut yang lain.
“Aduh … semoga bukan kabar buruk.”
Elena ikut terkejut. Ia menoleh pada temannya, sama-sama bingung. “Biasanya kan kalau ada kabar penting suka dikasih bocoran dulu. Ini kok tiba-tiba banget.”
Temannya mengangguk setuju. “Iya, tumben banget.”
Aldi di ruangannya juga mendengar pengumuman itu. Ia sontak tegang. Jantungnya berdegup kencang. Pengumuman penting? Apa maksudnya?
Pukul satu siang tepat, seluruh karyawan berkumpul di aula besar. Suasana riuh rendah, semua berbisik penasaran. Ada yang wajahnya cemas, ada yang mencoba menebak-nebak.
Elena duduk di barisan tengah bersama rekan-rekannya. Ia sesekali melirik ke depan, di mana para manajer sudah duduk di kursi khusus, termasuk Aldi. Suaminya tampak gelisah, mengetukkan jari ke pahanya berulang kali.
Lalu pintu samping aula terbuka. Beberapa petinggi perusahaan masuk, wajah mereka tampak serius. Di antaranya ada Om Surya CEO lama. Semua orang sontak terdiam, suasana berubah khidmat.
Salah satu direktur berdiri di podium, mengambil mikrofon. “Selamat siang semuanya. Terima kasih sudah berkumpul di sini. Hari ini, kami ingin menyampaikan kabar penting mengenai kepemimpinan perusahaan.”
Bisik-bisik kembali terdengar, semakin riuh. Elena mengernyit bingung. Ia sama sekali tidak menyangka kalau kabar sepenting ini akan diumumkan tiba-tiba.
Direktur itu melanjutkan, “Seperti yang kalian tahu, Bapak Surya telah memimpin perusahaan selama bertahun-tahun. Namun, karena alasan kesehatan, beliau memutuskan untuk mengundurkan diri dari jabatan CEO. Mulai hari ini, posisi CEO akan digantikan oleh ….”
Detik itu suasana aula mendadak sunyi. Semua orang menahan napas, mata tertuju penuh ke podium. Aldi merasakan dadanya seperti dipukul keras. "Jangan bilang … jangan bilang dia …."
Aldi tampak gelisah menanti ucapan selanjutnya dari sang direktur tadi.
semoga elena kuat melihat perbuatan mereka ber2