Sean Montgomery Anak tunggal dan pewaris satu-satunya dari pasangan Florence Montgomery dan mendiang James Montgomery yang terpaksa menikahi Ariana atas perintah ayahnya. Tiga tahun membina rumah tangga tidak juga menumbuhkan benih-benih cinta di hati Sean ditambah Florence yang semakin menunjukkan ketidak sukaannya pada Ariana setelah kematian suaminya. Kehadiran sosok Clarissa dalam keluarga Montgomery semakin menguatkan tekat Florence untuk menyingkirkan Ariana yang dianggap tidak setara dan tidak layak menjadi anggota keluarga Montgomery. Bagaimana Ariana akan menemukan dirinya kembali setelah Sean sudah bulat menceraikannya? Di tengah badai itu Ariana menemukan dirinya sedang mengandung, namun bayi dalam kandungannya juga tidak membuat Sean menahannya untuk tidak pergi.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Demar, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Mulai Melangkah Lagi
Clarissa berdiri di balik pintu yang baru saja ia tutup. Bibirnya menyimpan senyum kebanggaan akan dirinya sendiri. Langkahnya menyusuri lorong kantor, sepatu hak tingginya berdetak presisi di atas lantai marmer. Bahkan suara langkah itu bisa menunjukkan siapa dirinya.
Mata Clarissa dilukis dengan liner hitam pekat yang tajam dan bibirnya di lapis lipstick merah matte. Blazer hitamnya berpotongan sempurna, memeluk tubuhnya pas bak diciptakan sebagai pasangan. Rok pensil yang mengikuti gerak pinggulnya dengan irama dominan. Setiap helai rambut tersisir rapi dalam sanggul modern. Tidak ada ruang untuk kesalahan dan tidak sedikit pun ia membuka celah untuk orang lain mengomentari dirinya
Ia berhenti sejenak di depan dinding kaca lift, menatap refleksi dirinya dengan penuh kekaguman.
‘Akulah wanita yang paling pantas untuk Sean… Bukan Ariana si gadis kampung yang menumpang sebagai parasit menempati posisiku yang sesungguhnya’
“Tidak Ariana dan tidak juga gadis lain.” Bisiknya pelan.
Pintu lift terbuka, ia merapikan lipstik dengan satu sentuhan halus.
***
Ariana melepas sepatunya pelan, tidak langsung menuju kamar. Ia hanya ingin duduk… dan membiarkan tubuhnya menyentuh lantai, menyatu dengan diam. Kepalanya bersandar ke dinding, tangannya bergerak pelan ke perutnya.
“Kamu sudah tahu ayahmu kan. Walaupun dia mungkin tidak akan pernah menjadi ayahmu yang seutuhnya.”
Ia memejamkan mata.
Setelah lebih tenang, Ariana bangkit berjalan ke dapur kecilnya. Menuang air putih ke gelas, lalu meminumnya tanpa jeda. “Mulai hari ini… kita benar-benar berdua ya Nak,” ujarnya sambil tersenyum ke perutnya. “Tapi kali ini Mama nggak ada ketakutan, karna ada kamu.”
Cahaya pagi menyelinap masuk dari jendela dapur, aroma kayu basah dan bunga liar dari luar jendela membuat pagi terasa segar. Ariana mencuci muka, mengikat rambut tidak lupa meminum segelas air hangat. Ariana mengenakan daster polos berwarna cream. Daster itu sederhana bahkan mungkin… tidak layak masuk ke lemari Florence.
Dari luar suara kecil memanggil. Ariana sudah mengetahui tanpa melihat wajahnya. Siapa lagi kalau bukan gadis kecil teman pertamanya.
“Mbak Arianaaa!”
Ariana membuka pintu depan, seperti biasa Risa sudah berdiri di depan pintu. Rambutnya dikuncir dua dengan kaki telanjang dan tangannya menggenggam dua pot kecil berisi bunga.
“Aku bawa bunga lagi… tapi kali ini Ibu yang nyuruh,” kata Risa cepat, seolah takut Ariana menolak.
Ariana langsung tersenyum. Mimik muka Risa sangat lucu sekali.
“Kamu nggak dimarahi?”
Risa menggeleng kuat-kuat. “Nggak! Ibu malah bilang, bunga yang kemarin Mbak Ariana rawat tumbuhnya bagus. Katanya… orang hamil kalau banyak lihat bunga, nanti anaknya juga jadi ceria.”
Ariana membelai kepala Risa, hatinya menghangat.
Tak lama kemudian, Ibu Risa muncul di belakang gerbang sambil membawa kantong berisi roti dan teh celup.
“Tuh Ibu…” Ujar Risa dengan ceria.
“Pagi, Mbak Ariana. Saya cuma mau kasih sarapan. Gak banyak, cuma roti hangat sama teh. Risa bilang, kamu mual-mual di pagi hari. Makanya saya membawakan ini siapa tau kamu suka.”
Ariana menyambut kantong itu dengan kedua tangan.
“Terima kasih Bu. Maaf kalau saya merepotkan.”
Wanita paruh baya itu tersenyum hangat.
“Nggak merepotkan kok. Kalau butuh apa-apa, jangan segan ya. Apalagi sekarangf kamu nggak sendiri lagi.” Ibunya Risa menatap kea rah perut Ariana.
Ariana menunduk, matanya berkaca-kaca.
“Saya nggak tahu harus bilang apa Bu. Tapi… saya beruntung bisa tinggal di sini.”
Wanita paruh baya itu menepuk pelan lengan Ariana.
“Bukan soal untung atau nggak. Ibu bangga sama keberanianmu. Gak semua perempuan bisa berdiri sendiri.”
Risa sudah duduk di depan rumah, mulai menata pot bunga yang ia bawa sendiri.
Ariana menatap punggung kecil itu sambil berkata pelan,
“Kalau nanti anak saya lahir… saya harap dia tumbuh seperti Risa.”
Ibunya Risa tertawa kecil.
“Kalau begitu, Mbak Ariana harus banyak makan.”
Ariana ikut tertawa. Tawa yang ini berbeda, terasa lepas dan bebas.
Ariana menggenggam plastik teh yang sudah mulai mengembun di tangannya.
“Saya sampai lupa belum memperkenalkan diri. Nama saya Ajeng, panggil Ibu Ajeng saja ya Mbak.”
Ariana terkekeh pelan. “Saya Ariana Bu.”
“Saya sudah tau, setiap malam Risa tidak pernah absen menceritakan kamu.”
Ariana beralih menatap Risa, Aku menyayangimu Ris…
“Sudah Mbak, lebih baik sekarang kamu makan. Jangan ditunda-tunda makannya, kasihan dedek bayinya.”
Ariana mengangguk patuh. “Terima kasih ya Bu.”
“Saya gak akan tanya soal siapa ayahnya atau kenapa kamu tinggal sendiri. Kamu nggak usah khawatir, fokus saja pada kandunganmu Mbak.” Ujar Bu Ajeng seolah tau sedikit ke khawatiran yang muncul dalam diri Ariana.
Bu Ajeng melanjutkan, nada bicaranya tetap lembut. “Buat saya cukup tahu kamu janda dan sekarang sedang hamil. Itu aja sudah cukup, begitu juga dengan orang lain di sekitar sini.”
Ariana memejamkan mata sesaat. Terharu tanpa harus menunjukkan air mata.
“Saya… sangat berterima kasih.”
Bu Ajeng tersenyum ringan, menepuk lengan Ariana dengan pelan.
“Pokoknya nyaman atau nggak rumahmu itu kamu yang tentukan sendiri bukan orang lain. Sudah sana makan dulu.”
Bu Ajeng meninggalkan rumahnya setelah memberinya banyak nasehat. Risa masih tinggal, anak itu menolak saat diajak ibunya pulang. Katanya “masih mau sama Mbak Risa.”
Aroma roti hangat dari kantong plastik mulai memenuhi udara. Ia dan Risa menikmatinya berdua.
“Mbak, jangan bilang Ibu ya kalau aku ikut makan. Nanti aku dijewer.”
Ariana tertawa lalu mengangguk pelan.
Dan Ariana merasa… untuk kali pertama sejak Papa James meninggal, ada orang yang benar-benar menganggapnya keluarga.
Ariana akan menata hidupnya lebih baik lagi, uang tabungannya tidak selamanya berjejer nominal yang sama. Pelan-pelan angka itu akan terus berkurang jika Ariana tidak mengisinya lagi.
***
Pagi itu, dapur kecil kecil Ariana mulai mengeluarkan aroma gula dan mentega. Aroma sederhana, namun membuat ruang sempit itu terasa lebih hangat dan hidup.
Ariana berdiri di depan oven, mengenakan celemek polkadot biru yang sedikit kebesaran. Tangannya sibuk mengaduk adonan bolu pisang pesanan pertama dari tetangga yang dikenalkan oleh Bu Ajeng kemarin. Bukan pesanan besar, hanya satu loyang namun cukup membuatnya seperti punya tujuan baru.
Tok… tok… tok…
Suara kecil mengetuk dari arah pintu samping.
“Mbaak Arianaaa!” panggil Risa dengan semangat. Template panggilan yang sama setiap ia datang berkunjung kemari.
Ariana membuka pintu dan Risa sudah berdiri di balik pintu membawa dua botol kecil berisi minuman dingin.
“Ini dari Ibu. Katanya biar Mbak nggak pingsan gara-gara kecapekan bikin kue,” ujarnya sambil menyodorkan botol.
Ariana tertawa kecil. “Sini masuk. Tapi jangan dekat-dekat oven ya. Itu sangat panas, tanganmu bisa terluka nanti.”
Risa masuk dan duduk di bangku sudut dapur, mengayun-ayunkan kakinya.
“Harumnya kayak toko kue di kota ya Mbak. Tapi yang ini lebih enak. Risa doakan Mbak punya toko kue beneran.”
Ariana tersenyum sambil membuka oven. Uap panas menyeruak bersama aroma bolu yang baru matang.
“Ini bolu pertama yang Mbak jual.”
“Dulu Mbak pernah jualan?”
“Nggak, dulu aku bikin kue cuma iseng mengisi waktu. Nggak nyangka sekarang malah jadi cara untuk cari uang.”
Risa menatap loyang panas itu dengan penuh kekaguman, lalu berkata dengan nada polos yang menyentuh
“Kayaknya Mbak ditakdirkan untuk hidup di sekitar anak-anak.”
Ariana menoleh. “Maksud kamu?”
“Soalnya… aroma kue kayak gini biasanya cuma ada pas Risa dan teman-teman berulang tahun. Aku suka banget aroma kue.”
Senyum Ariana makin lebar, hatinya menghangat.
“Itu kalimat paling manis yang aku dengar.”
“Beneran?” Risa tersipu.
Ariana mengangguk. ”Tapi masih Cuma bolu pisang, Mbak akan belajar lagi untuk membuat kue ulang tahun.”
“Waaah Asyikkk…” Risa bertepuk tangan tidak sabar melihat Ariana membuat kue tar kesukaannya.
“Nanti aku boleh bantu kan Mbak?”
“Boleh, tapi kamu harus cuci tangan dan pakai celemek dulu sebelum bantu Mbak.”
“Siap Mbak!” Risa mengangkat tangan seperti prajurit kecil.
tp sebelumx buat Sean setengah mati mengejar kembali ariana