Seorang gadis muda yang memilih untuk mengakhiri hidupnya dengan terjun ke dalam laut lepas. Tetapi, alih-alih meninggal dengan damai, dia malah bereinkarnasi ke dalam tubuh putri buangan.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Nfzx25r, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Badai
Hari mulai beranjak pagi ketika Kaisar memerintahkan Putri Minghua dan Mei untuk kembali ke kamar masing-masing.
Mereka berjalan bersamaan dengan langkah lelah dan mata yang nyaris tertutup karena kantuk. "Hoaaam... Mei, besok kita beli tempat tidur kecil untuk Tantan ya!" ucap Putri Minghua sambil menguap lebar.
Mei mengangguk pelan, ikut merasa lelah. Sesampainya di kamar, Mei menghampiri Putri Minghua dan berkata dengan lembut, "Nona, sebelum tidur, sebaiknya saya obati dulu luka-luka Anda, agar kulitnya tidak iritasi."
Putri Minghua mengangguk pasrah. Tak lama kemudian, perawatan pun selesai. Perih mulai terasa menjalar di sekujur tubuhnya yang terluka. "Aduh... sakit banget, astaga..." gumam Putri Minghua sambil meringis.
"Saya pamit dulu, Nona. Besok pagi saya akan mengganti perbannya," ucap Mei dengan sopan, memberi hormat sebelum menutup pintu kamar dengan rapat.
Putri Minghua berbaring dengan susah payah di atas tempat tidurnya, berusaha menemukan posisi ternyaman di tengah rasa sakit yang mengganggu.
Sebelum benar-benar terlelap, pikirannya melayang pada Sanghyun. Di mana dia sekarang? Kenapa belum juga muncul? Apakah dia baik-baik saja… atau justru sebaliknya?
Begitu banyak pertanyaan memenuhi kepalanya hingga akhirnya, rasa kantuk pun mengalahkan segalanya. Ia pun tertidur dengan pikiran yang masih penuh tanda tanya.
Keesokan harinya...
Siang hari, Putri Minghua terbangun karena merasakan dingin menusuk di seluruh tubuhnya. Ia membuka mata perlahan, memandangi sekeliling dengan tatapan masih buram. Suasana kamar terasa begitu dingin hingga tubuhnya menggigil.
"Ya ampun... dingin banget sih," keluhnya sambil meraba-raba sisi bantal, mencari selimut yang mungkin tersingkir saat tidur.
Begitu menemukannya, ia segera menarik selimut itu dan membungkus dirinya erat. Ia lalu menoleh ke sisi lain, melihat Tantan yang tampak pucat dan meringkuk kecil.
Dengan cepat, Putri Minghua menyelimutinya juga, memeluk tubuh kecil itu agar tetap hangat. Ia terus memberikannya kehangatan dengan pelukan lembut hingga akhirnya Tantan terlihat jauh lebih nyaman dan tenang dalam tidurnya.
Mei datang sambil membawa nampan berisi makanan yang tampak sangat menggugah selera. Aroma harum langsung menyebar memenuhi ruangan. “Nona, silakan makan dulu selagi masih hangat,” ucap Mei lembut sambil menyiapkan makanan di atas meja.
Putri Minghua yang masih terbaring di atas kasur menggigil pelan. Ia menarik selimutnya erat-erat sambil bergumam, “Rasanya dingin sekali, ya, Mei…” Ia perlahan berusaha bangun dari tempat tidur.
Mei menoleh dan mengangguk. “Iya, Nona. Kata peramal, hari ini akan datang badai besar,” jawabnya seraya menuangkan air hangat ke dalam gelas.
Putri Minghua membelalak, terkejut. “Ha? Yang benar saja?”
“Semua orang percaya itu, Nona,” jelas Mei dengan nada serius. “Sampai-sampai ada yang rela bersembunyi di dalam tanah demi melindungi diri dan keluarganya.”
Putri Minghua mengangguk pelan. Sambil duduk dan mulai menyantap makanannya, ia terus mendengarkan cerita Mei yang terdengar masuk akal, meski terkesan terlalu tragis untuk dipercaya sepenuhnya.
Di sisi lain, Tantan yang tertidur mulai menggeliat. Ia mengendus-endus udara, mencium aroma sedap yang menyelinap ke dalam mimpinya. Perlahan matanya terbuka, lalu ia menoleh ke arah meja makan. Begitu melihat makanan yang terhidang, matanya langsung berbinar.
“Aku juga mau itu,” ucapnya dengan suara serak dan mata berkaca-kaca, seperti anak kecil yang melihat permen.
Putri Minghua tersenyum lembut, menahan tawa kecil. “Kemarilah, kita makan bersama, ya.”
Tantan mengangguk penuh semangat. Ia bangkit dan berlari kecil ke arah Putri Minghua, lalu mengangkat kedua tangannya tinggi-tinggi, seolah minta digendong.
Putri Minghua terkekeh geli, lalu mengulurkan tangan dan mengangkat tubuh kecil Tantan ke pangkuannya. Ia menempatkannya dengan hati-hati, membiarkan Tantan bersandar nyaman di pelukannya. Dengan penuh kasih, ia menyuapi Tantan satu suap demi satu suap, seolah menyuapi anak kandungnya sendiri.
Setelah selesai makan, Putri Minghua menyuruh Mei untuk menyiapkan pakaian yang akan ia kenakan, sementara dirinya bersiap untuk mandi. Ia juga mengajak Tantan untuk mandi bersamanya.
Setelah pakaian selesai disiapkan, Mei meninggalkan kamar dengan sopan. Ia bergegas menuju dapur untuk mencuci piring-piring yang telah digunakan oleh Putri Minghua.
Tantan langsung bermain air begitu ia masuk ke dalam bak mandi kecil. Wajahnya tampak begitu ceria, penuh semangat seperti anak kecil yang menemukan dunia baru.
Putri Minghua menatapnya dengan lembut. Sesekali, tangannya terulur mengelus kepala Tantan yang sudah basah kuyup. "Jangan lama-lama ya mandinya," ucapnya penuh kehangatan sambil mengusap kedua pipi Tantan dengan lembut. "Nanti kamu kedinginan kalau airnya sudah dingin."
Tantan hanya mengangguk sebagai jawaban, meski tangan kecilnya tetap sibuk mencipratkan air ke segala arah. Gelak tawanya memenuhi ruangan, membuat suasana terasa hangat.
Tak lama kemudian, Putri Minghua menyelesaikan mandinya. Ia segera mengenakan pakaian bersih yang telah disiapkan oleh Mei.
Sebelum pergi, ia menoleh pada Tantan yang masih asyik bermain air. "Tantan, ayo ganti baju dulu, ya," ajaknya sambil mengulurkan tangan.
Tantan langsung menurut, buru-buru menyelesaikan mandinya dan keluar dari bak dengan wajah masih penuh keceriaan.
Tak berselang lama, Mei datang membawa kotak kecil berisi ramuan. "Nona, ini obat untuk luka Anda," ucapnya lembut. "Biarkan saya yang mengoleskannya." Nada suaranya penuh perhatian, dan gerak-geriknya begitu hati-hati saat mendekat pada Putri Minghua.
Mei mulai mengoleskan obat ke luka di lengan Putri Minghua. Aroma herbal yang khas langsung tercium saat salep menyentuh kulit.
"Aaah..." Putri Minghua sedikit meringis. Rasa perihnya menusuk sesaat, membuat alisnya berkerut tipis. Namun ia tetap diam, menahan rasa nyeri itu dengan sabar.
"Maaf, Nona. Ini mungkin agak perih sebentar," ucap Mei lembut, nada suaranya penuh rasa bersalah.
Belum sempat Mei menyelesaikan tugasnya, seorang pelayan wanita lain tiba-tiba masuk terburu-buru. Nafasnya tersengal saat menyampaikan kabar.
"Mei! Keluargamu... mereka membutuhkanmu sekarang juga. Ada hal darurat," katanya, wajahnya terlihat cemas.
Mei menoleh cepat, matanya melebar penuh kekhawatiran.
"Apa? Sekarang juga?" tanyanya memastikan.
Pelayan itu mengangguk tegas. "Iya, sangat mendesak."
Tanpa pikir panjang, Mei berdiri dan menunduk dalam-dalam kepada Putri Minghua.
"Maafkan saya, Nona. Sepertinya saya harus segera pergi. Saya akan mengambil cuti untuk sementara waktu," ucapnya dengan suara lirih, jelas terpukul karena harus meninggalkan tugasnya.
Putri Minghua menatapnya, sempat terdiam sejenak. Ia bisa melihat kegelisahan di wajah pelayannya itu.
"Pergilah, Mei. Keluargamu lebih penting sekarang. Aku akan baik-baik saja," ucapnya tenang, memberi izin dengan senyum tipis namun tulus.
Mei pun membalas senyuman itu, meski matanya sedikit berkaca. Ia lalu bergegas keluar, meninggalkan ruangan dengan langkah tergesa.
Putri Minghua duduk termenung di sisi tempat tidur, pikirannya masih dipenuhi tanda tanya tentang kabar darurat yang membuat Mei harus pergi begitu mendadak. Ia sangat penasaran dengan apa yang sebenarnya terjadi.
Namun saat matanya menatap ke luar jendela, langit tampak kelam dan muram. Awan hitam menggantung rendah, seolah menekan langit dengan beratnya. Angin mulai berembus kencang, menerpa tirai dan membuatnya berkibar tak beraturan. Udara pun terasa semakin dingin menusuk. “Sepertinya badai akan datang,” gumamnya pelan sambil merapatkan selimut ke tubuhnya.
Tiba-tiba, Tantan memeluknya dari samping. Tubuh kecil itu menempel erat pada Putri Minghua, wajahnya disembunyikan di balik lengannya yang halus.
Ia memeluk Putri Minghua seolah mencari perlindungan dari sesuatu yang menakutkan, mungkin angin yang menderu, atau mungkin ketidakpastian yang terasa di udara.
Putri Minghua terkejut sejenak, namun kemudian ia tersenyum lembut. “Tidak apa-apa, aku di sini,” bisiknya sambil membelai rambut Tantan dengan penuh kasih sayang.
Hatinya sedikit menghangat meski dingin mulai menyusup dari balik jendela. Dalam pelukan kecil Tantan, ia merasakan sesuatu yang tak pernah ia duga sebelumnya, kehadiran yang tulus dan ketulusan yang hangat, sesuatu yang seakan perlahan-lahan mengisi kekosongan di dalam dirinya setelah ia kehilangan Sanghyun yang entah dimana keberadaannya.