Siapa sangka moment KKN mampu mempertemukan kembali dua hati yang sudah lama terasa asing. Merangkai kembali kisah manis Meidina dan Jingga yang sudah sama-sama di semester akhir masa-masa kuliahnya.
Terakhir kali, komunikasi keduanya begitu buruk dan memutuskan untuk menjadi dua sosok asing meski berada di satu kampus yang sama. Padahal dulu, pernah ada dua hati yang saling mendukung, ada dua hati yang saling menyayangi dan ada dua sosok yang sama-sama berjuang.
Bahkan semesta seperti memiliki cara sendiri untuk membuat keduanya mendayung kembali demi menemui ujung cerita.
Akankah Mei dan Jingga berusaha merajut kembali kisah yang belum memiliki akhir cerita itu, atau justru berakhir dengan melupakan satu sama lain?
****
"Gue Aksara Jingga Gayatra, anak teknik..."
"Meidina Sastro Asmoro anak FKM, kenal atau tau Ga?"
"Sorry, gue ngga kenal."
.
.
.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon sinta amalia, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Lari dari masalah
Kini keadaan jauh lebih baik dari sebelumnya, mengingat pemukiman sudah terlihat dengan cahaya orange dan putih berpendar dari lampu teras setiap rumahnya.
Benar, rasa dingin semakin menusuk. Benar, daun-daun basah karena air hujan membasahi bumi. Dan benar, pertahanannya mulai mendapat serangan sikap Jingga...
Sebuah rumah panggung, dengan bahan material kayu berada diantara halaman dengan pohon nangka dan alpuket terlihat terbuka pintunya.
Di undakan tangganya terdapat dua pasang sandal dan sepasang sepatu. Bahkan, tumpukan barang-barang yang mereka kenali milik pribadi masih belum dimasukan dari beranda depan. Lihat, koper pink milik Senja, dan sisanya milik yang lain, berjajar tak bertuan.
Suara motor memancing seseorang keluar dari dalamnya.
"Guysss! Lama amat! Gimana perjalanannya? Menyenangkan?" Jovian menyambut para gadis datang seraya mendekap gelas berisi teh manis hangat.
"Joviii! Tau gitu, gue ikut mobil logistik tadi!" seru Vio.
"Koper gue, ya ampun...bukannya dimasukin ih, untung ngga keujanan!" omel Senja langsung turun dan menyerbu koper miliknya, tepatnya 3 koper miliknya sendiri.
"Kejebak macet, teh..a?" seseorang lain menyusul Jovi.
"Pak," Mei membungkuk sopan sambil membalas jabatan tangannya.
"Wah, kasian...jauh ya teh, keujanan engga?" kini suara perempuan berseru dari dalam, "sini teh diangetin pake teh manis..." tentu saja ucapan itu disambut baik penuh semangat 45 oleh mereka. Bahkan, Vio sudah berebut pijakan dengan Arshaka dan Syua untuk masuk.
Mei sempat menoleh ke belakang, demi menatap tanda-tanda mobil Mahad yang belum jua nampak.
Basa basi dengan topik pembahasan perjalanan disambut baik dan setidaknya menjadi obrolan penghangat mereka dengan pak Agus dan bu Sri.
Aroma teh tubruk manis masih menguar hangat, bersama singkong rebus dan pisang goreng.
Senja, yang dipikir akan begitu menolak...nyatanya persis orang yang belum makan 20 tahun. Ia memandang singkong di tangannya, kok enak?! Apa saking kelaparannya ia.
Bu Sri dan pak Agus terpaksa pamit undur diri mengingat waktu yang telah menunjukan pukul 8 malam lewat.
Baru mereka beranjak, suara deru mesin mobil diikuti dua motor nyatanya baru saja sampai di halaman rumah.
Lihatlah pakaian yang kotor, dan peluh yang sudah membasahi sekitaran area wajah.
"Pak, bu...maaf jadi merepotkan sampai malam begini." Jingga langsung turun dari boncengan Arlan dan menyalami sepasang suami istri ini.
"Ih engga apa-apa atuh a Jingga. Meni kasian sampe kotor begini, kejebak dimana mobilnya? Di rumpun bambu?" tembak pak Agus tepat, bapak-bapak dengan kisaran usia sekitar 40 tahunan itu adalah warga yang diminta pak kadus untuk menyambut dan membantu mereka selama kkn disini.
Bahkan, rumah yang kini menjadi posko kkn 21 itu adalah miliknya...rumah peninggalan sang mertua, orangtua bu Sri yang telah tiada, sering ia tinggali bahkan beberapa kali ia sewakan juga.
"Ngga apa-apa atuh aa, teteh...kalau nanti ada apa-apa, jangan sungkan. Rumah saya disitu...ngga jauh." Tunjuk bu Sri ke arah sebelah tenggara, dimana rumahnya berjarak 200 meter saja terhalang halaman rumah ini dan halaman rumahnya.
"Makasih bu, pak.."
"Ya udah atuh a Jingga. Sudah malam, sok atuh...mangga, takutnya mau pada istirahat. Airnya udah dapet ngisi barusan...tapi karena mesin pompa airnya rusak jadi kalo mau ambil air harus ditimba alias dikerek, tadi saya sudah bilang sama a Jovi." Jelas bu Sri lagi.
Jingga kembali mengangguk sopan, "iya pak, makasih banyak. Sekali lagi makasih banyak, pak...bu."
Sisa rekan-rekannya yang berada di belakang Jingga turut membungkuk sopan dan bersalaman dengan pak Agus dan bu Sri ketika mereka semakin menjauh.
"Sisain buat yang belum kebagian heyyy! Jangan pada cosplay jadi reog begini deh!" ujar Nalula sibuk menegur teman-temannya yang berebut penganan sederhana nan hangat itu.
"Woyyy, udah enak-enakan aja pada caplok-caplok begitu!" Mahad ikut masuk menyerbu setelah sebelumnya membuka sepatunya. Begitupun Arlan dan Alby tak peduli dengan celana mereka yang kotor karena mendorong mobil Mahad tadi.
"Aduhhh ihh, lo kotor Alby!" omel Syua.
Setidaknya Senja kini merengut karena singkongnya diserobot Zaltan.
"Punya gue itu Zal!" merengutnya sebal.
"Dari sekian hal baik tentang kkn yang sama sekali belum gue temuin sampai detik ini, cuma singkong rebus sama pisang goreng ini doang yang menurut gue hal baik....." ujarnya prengat prengut lagi.
"Dari mulai jarak tempuh, tempatnya yang di antah berantah begini, jauh dari modernisasi, mana gelap kaya alam kubur, licin, jalannya jelek, pokoknya gue pengen balik cepet-cepet....Jingga, bisa kan kalo waktu kkn nya jangan 45 hari banget?" keluhnya lagi justru memantik tawa teman-temannya.
Mei tersenyum dan mengusap punggung Senja, "it's gonna be ok, Nja...gue yakin, loe cuma belum ngerasa-rasain aja enaknya, lama-lama juga betah....disini udaranya pasti enak."
Senja menoleh pada Mei.
"Ambil hikmahnya, Nja...lo jadi bisa ngerasain vibes film horor sebenarnya tadi.." kata Mahad yang didengusi Senja.
Vio tertawa renyah, padahal tadi dirinya sama halnya seperti Senja, bahkan ia menjerit paling kencang ketika ban mobil Mahad terjebak tanah merah basah dan paling lantang berkata 'tidak mau.
Senja berdiri dengan wajah cemberutnya, masih mendekap teddy bear, "ini kamar cewek yang mana nih?" tanya nya saat Jingga baru saja duduk bergabung dan meneguk teh manis hangatnya.
"Disini kamarnya ada dua, kok...hadap-hadapan. Bebas mau yang mana." Jawab Jovian, "cewek yang kanan aja deh...ada kuncinya, kata pak Agus tadi kalo kamar kiri kuncinya agak macet...jadi jarang dikunci." Tambahnya lagi.
Senja langsung menggusur satu kopernya ke arah kamar di sebelah kanan.
"Ini kita rapat besok aja, Ga?" tanya Maru diangguki Jingga, "pagi-pagi aja. Sebelum ke bale desa...soalnya ini udah---"
"Aaaaa!" jerit Senja tiba-tiba membuat mereka praktis terkejut, Syua, Jovian, Arshaka bahkan sudah beranjak berebutan demi menyusul Senja yang justru sudah berlari keluar kamar dengan nafas memburu dan wajah yang kembali menangis, membuat ketiganya urung menyusul.
"Kecoa terbang, gede banget...geli gue." Rengeknya lagi dengan wajah panik.
"Seriusan, kecoa? Ihhhh..." gidik Vio kegelian.
"Elah, timbang kecoa doang...kirain apaan, Nja...lo sama kecoa gedean mana coba?" Zaltan berceloteh sumbang, namun ia yang sudah beranjak lebih dulu dari duduknya demi menjadi hero untuk Senja.
"Jingga gue ngga mau tau, proker kita harus beres dalam seminggu, ya..." omel Senja lagi.
Mei tak begitu bergeming dan memilih menyimak seraya menikmati cemilan malam ini, tanpa sadar jika posisi duduknya berada tepat di samping Jingga.
"Lo belum jawab pertanyaan gue kemaren..."
Mei melirik ke samping, kini ia lebih berani menatap lelaki ini dari dekat dan cukup lama, sepertinya sejak kemarin Mei telah mengumpulkan keberaniannya itu, "baik, lo sendiri?"
Jingga kini beralih tatap ke depan, dimana teman-temannya tengah menjadikan Zaltan yang sedang menghabisi kecoa tontonan seru. Kecoa satu hebohnya ngalahin tawuran antar geng motor.
Namun Jingga mendengus sumbang sebelum ia menunduk seolah sedang mencari-cari jawabannya di lantai kayu itu, "sempat membaik, dan ketika lo datang kembali semuanya memburuk lagi." Jingga kini sudah beranjak meninggalkan Mei lalu berseru bergantian dengan Arlan dan Alby, "gue dulu yang bersih-bersih, gatel sebadan-badan nih..."
Apakah itu bentuk kekesalannya selama ini yang ia tahan-tahan? May be...
Mei kini menunduk, melihat sisa potongan pisang goreng di tangannya yang belum sempat ia habiskan namun naf suu makannya sudah hilang duluan.
Ia tak paham dengan jalan cerita hidupnya. Oke, salahkan ia yang meminta Jingga untuk melepaskannya pergi ke Bandung dengan berbagai alasan munafik, papa yang harus pindah penempatan kerja, enin yang mulai sakit-sakitan dan harus dirawat hingga beliau tiada, dan ia yang tak mau menjadi beban hidup Jingga padahal ia tau, pundak Jingga telah penuh oleh beban permasalahan hidup.
Mei merasa jadi orang paling egois, ketika membiarkan Jingga tetap mempertahankannya saat Jingga tengah mati-matian mengejar cita-citanya, tengah bersemangat bekerja part time demi biaya kuliah. Mei tak mau egois, dengan membuat Jingga turut sibuk memikirkan dirinya...
Insecure? Of course, meski Jingga telah mengikrarkan dirinya menerima Mei apa adanya, bisakah ia setega itu dengan menjadi beban Jingga? Tapi yang benar saja...hanya karena itu, Jingga bisa semarah ini dengan mengatakan kehadirannya membawa kondisi buruk...oh ayolah, Mei pikir Jingga sudah baik-baik saja, karena saat Mei kembali, Satria bilang...Jingga telah berhasil menjadi seperti apa yang diinginkan Mei saat terakhir mereka berbicara.
Hal itu terbukti saat Mei menjadi mahasiswi pindahan di kampus Jingga. Memang si al....karena hanya kampus Jingga lah yang menerima Mei.
Mei masih ingat suasananya, bahkan di sore itu, nyiur lambaian angin di pantai Ancol begitu hangat membelai, terlalu sempurna untuk sebuah perpisahan.
Aku pindah ke Bandung, Ga...
Aku lepasin kamu, kamu pun harus begitu...
Ngga usah khawatir, aku bakalan baik-baik aja tanpa kamu, Ga....hiduplah dengan baik. Setidaknya, tanpa aku beban pikiran kamu berkurang satu. Kamu bebas nyari cewek lain...aku ngga akan marah. Aku bakalan ikhlas, Ga...kalo ada cewek baik, sehat, ngga bawa-bawa masalah yang bikin mumet kaya aku, yang bisa semangatin lelahnya kamu tiap hari.
Lantas ia sendiri, sedang berusaha mati-matian meratapi ucapannya sendiri yang begitu hancur melepas Jingga, bersama dengan deraan hujatan ketikan jemari para manusia di ruang dunia maya yang seolah tak ada habisnya. Lari? Yap! Ia sedang berusaha lari dari dunia yang menghakiminya seolah dirinya adalah makhluk paling hina pada waktu itu....hingga sekarang, sendirian.
Dunia maya seperti menjadi boomerang sendiri untuknya. Urusan itu belum selesai bagi Mei, dan jelas Jingga bukan bagian dari itu, tak perlu juga pemuda ini kena getahnya.
.
.
.
eeeeh tapi ngapain jingga n mei didlm????
jadi jangan ada yg di tutup²in lagi ya cantik