simak dan cermati baik2 seru sakali ceritanya
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon siv fa, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
19
Martin baru saja melewati loket administrasi rumah sakit ketika ponsel di saku celananya bergetar dan bergetar. Kesal, dia mengambilnya sambil bertanya-tanya siapa yang meneleponnya di saat dia sedang terburu-buru seperti ini. Rupanya itu Ben. Martin mengangkatnya dan meminta Ben langsung mengatakan apa yang ingin dikatakannya. [Saya tadi memerintahkan seseorang untuk menemui Anda, Tuan Muda. Mohon maaf saya lupa mengabarkannya.] "Itu saja?" [Iya, Tuan Muda. Dia wanita yang bisa diandalkan. Anda bisa memintanya melakukan sesuatu untuk Anda jika itu dibutuhkan.] Martin tak tertarik. Pikirannya terfokus pada situasi mencurigakan istrinya di Klub Ballein. Dia pun bertanya apakah masih ada hal yang ingin disampaikan Ben padanya. Ketika Ben menjawab "tidak", dia mengakhiri panggilan saat itu juga. Setibanya d iluar, Martin berdiri di trotoar menunggu taksi. Tiba-tiba, sebuah mobil Maserati merah mendekat dari kanan; lajunya melambat dan akhirnya berhenti tepat di depan Martin. Dari mobil itu turun seorang wanita mengenakan jaket merah untuk menutupi kaus hitam ketatnya. Dia melepaskan kacamata hitamnya saat berjalan ke arah Martin. "Selamat siang, Tuan Muda. Akhirnya kita berjumpa juga," sapa wanita itu, membungkuk hormat pada Martin sebentar lalu kembali menegakkan punggung. Martin mengernyitkan kening. "Siapa kau?" tanyanya. "Saya Aurora. Saya diminta Paman Ben untuk menemui Anda dan menjadi tangan kanan Anda," jawab wanita itu. "Tangan kiri?" "Benar, Tuan Muda. Jika Paman Ben adalah tangan kanan Anda, maka saya adalah tangan kiri Anda. Anda bisa meminta saya melakukan apa pun untuk membantu melancarkan urusan Anda." Martin mengamati wanita itu sebentar. Tatapannya menelisik. "Kau dari Lozara Group?" tanyanya. "Benar, Tuan Muda," jawab Aurora. Martin kini mengerti. Wanita ini memang memancarkan aura tertentu yang membuat kehadirannya terasa berbeda, meski hanya orang-orang dengan sensitivitas tinggi seperti Martin saja yang bisa merasakan perbedaan itu. Dia berani menjamin, wanita ini menempati posisi yang terbilang istimewa di Lozara Group. "Oke. Kalau begitu antar aku ke Klub Ballein." "Baik, Tuan Muda." Aurora membukakan pintu untuk Martin, mempersilakan Martin duduk di jok penumpang. Tapi Martin menggeleng. Dia memilih untuk duduk di jok depan saja, persis di samping jok kemudi yang diduduki oleh Aurora. "Kau bisa lewat jalan pintas nanti? Aku sedang terburu-buru." "Tak masalah, Tuan Muda." Mobil Maserati merah yang mencolok itu pun melaju, menghilang dari pandangan dalam sekejap. Di titik ini, sebuah sedan porsche warna putih mendekat, memasuki antrean untuk masuk ke Rumah Sakit Pelita Hati. Matthew, si pengemudi mobil tersebut, terkekeh-kekeh sambil mengamati foto-foto yang baru saja diambilnya menggunakan fitur lensa kamera khusus di ponsel canggihnya. "Jadi, kau sekarang seorang gigolo, ya? Kau melayani wanita kaya untuk mendapatkan uang melimpah dari mereka, Martin? Ckckck... " gumamnya, geleng-geleng kepala. Barusan itu dia memang mengamati momen-momen saat Aurora bicara pada Martin. Dan melihat Martin naik mobil Aurora yang mewah itu, kesimpulan itulah yang didapatkannya. "Ini menarik. Aku ingin tahu apa yang akan terjadi jika Julia mengetahui hal ini," sambung Matthew, senyumnya melebar. Mobil di depannya melewati pos pemeriksaan, memasuki area rumah sakit. Matthew pun melajukan porsche putihnya itu. ... Di Klub Ballein, di salah satu ruang VVIP di lantai tiga yang sedang disewa oleh Carlon Rooney... "Tolong! Tolong jangan lakukan ini!" rengek Julia sambil menyeringai dan memejamkan mata. Carlon sedang menjambaknya dan menyeretnya be sofa. Dijatuhkannya Julia yang tak berdaya itu ke sofa panjang yang tadi dia tempati. Punggung Julia menghantam sofa yang empuk. Dia kini dalam posisi telentang, masih berpakaian lengkap. "Kau datang ke sini untuk membicarakan urusan bisnis denganku, kan? Ya sudah, layani aku dulu, puaskan aku, baru setelah itu kita bicara," ucap Carlon. Julia menggeleng. Matanya kembali berkaca-kaca. "Tolong jangan lakukan ini, Tuan Carlon. Ini sungguh tak pantas dilakukan oleh orang seperti Anda. Kita bisa bicara baik-baik," bujuk Julia. Carlon tersenyum kecut. Dia menatap para pengawalnya, memberi isyarat pada mereka untuk berjaga di luar saja. Mereka mengangguk paham. Satu per satu dari mereka pun keluar dan menutup pintu, menguncinya dari luar. Kini di ruangan itu tinggal Carlon dan Julia saja. Julia semakin ketakutan, apalagi Carlon menaiki sofa panjang tempat dia terbaring dan menaruh pantatnya di perut Julia. "Tuan, ja—" "Diam!" potong Carlon, membekap Julia dengan tangan kanannya. Julia terbelalak. Dia berusaha melepaskan bekapan Carlon tapi Carlon memegangi tangannya yang kanan dan mencengkeramnya kuat-kuat. "Kau sudah datang ke sini. Itu artinya kau menawarkan diri padaku. Kau tak punya pilihan selain melayaniku. Itu demi kebaikanmu sendiri," ucap Carlon pelan, mendekatkan wajahnya ke wajah Julia. Mata Julia terbuka lebar dan pupilnya membesar. Gagal menyingkirkan tangan Carlon yang membekapnya, dia arahkan tangan kirinya ke bawah, mencari-cari saku jasnya. "Angelica benar. Kau memang sangat cantik. Kecantikanmu berada jauh di atas wanita-wanita di klub ini. Aku harus memberinya bonus nanti sebab dia telah membawamu ke hadapanku," kata Carlon kemudian. Julia tercekat. Apakah Angelica sengaja menyodorkan dia ke Carlon sebagai suguhan? Apakah semua ini hanya tipuannya belaka? Begitu dia bertanya-tanya. Dan dia melenguh mendapati Carlon menyentuh-nyentuhkan hidungnya ke bulatan kenyal di dadanya. Ini sungguh penghinaan baginya. Tak pernah dalam hidupnya dia dilecehkan sampai seperti ini. Syuut! Saat itulah, Julia menggerakkan tangan kirinya secepat yang dia bisa, yang direspons Carlon dengan mundur dan turun dari sofa. Di tangan kiri Julia ada pisau lipat. Dia memasukkannya ke saku jasnya di detik-detik terakhir sebelum keluar dari ruang kerjanya tadi, berjaga-jaga kalau-kalau sesuatu hal buruk terjadi saat dia bertemu Carlon. Di ujung pisau lipat itu ada darah menetes. Itu adalah darah Carlon. Luka gores terlihat di pipi Carlon; darah menetes pelan dari sana. Carlon menatap Julia murka. Dia tanggalkan dasinya dengan kasar dan menjatuhkannya ke lantai. Dia buka kancing-kancing kemejanya. "Berani-beraninya kau melukai wajahku! Apa kau tahu sebanyak apa uang yang kugelontorkan untuk menjaga kulit mukaku tetap kencang dan bersih di umurku yang hampir 30 ini? Kau akan membayar mahal untuk ini!" ucap Carlon. Julia bangkit terduduk, meringkuk di ujung sofa. Diacungkannya tangannya yang memegang pisau lipat itu. "Jangan mendekat! Tolong jangan mendekat!" ucap Julia, suaranya bergetar. ... Mobil Maserati merah yang dikendarai Aurora tiba juga di Klub Ballein. Aurora membiarkan Martin turun terlebih dulu di lobi, sementara dia lanjut membawa mobilnya ke parkiran. Martin langsung menaik anak-anak tangga ke pintu utama klub. Kedua tangannya terkepal. "Hey, ada urusan apa kau ke sini?" Dua penjaga keamanan klub tiba-tiba mengadangnya. Keduanya berbadan besar layaknya pegulat. Salah satu dari mereka, yang barusan bertanya, melipat kedua tangan di dada dan memindai Martin dari atas ke bawah. Jelas sekali dia meremehkan Martin. Penampilan Martin terlalu biasa untuk seseorang biasa berkunjung ke Klub Ballein. "Aku mau menemui istriku. Dia ada di dalam dan sepertinya dia membutuhkan pertolonganku," jawab Martin. Kedua penjaga itu saling menatap satu sama lain dengan kening mengernyit. Mereka kemudian menatap Martin lagi. "Siapa nama istrimu? Dia bekerja di sini?" tanya si penjaga yang tangannya dilipat di dada. "Julia. Julia Wiguna. Dia ke sini pasti diajak seseorang, atau diminta oleh seseorang. Sesuatu pasti terjadi padanya dan karena itu aku harus masuk," jawab Martin. Martin maju, hendak melewati kedua penjaga itu, tapi si penjaga yang satu lagi mendorongnya. "Jangan kau pikir kau bisa masuk begitu saja ke Klub Ballein, ya. Ini kelab malam elite. Salah satu yang terbaik di pusat Kota Hagasa. "Untuk bisa masuk ke sini kau harus melakukan reservasi terlebih dahulu dan membayar deposit dua juta. "Kalaupun kau masuk sebagai member kelab, untuk pembuatan member sendiri kau harus menyiapkan uang minimal dua puluh juta. "Kau yakin orang dengan penampilan menyedihkan sepertimu ini punya uang sebanyak itu?" Begitu si penjaga tadi berkata. Tatapannya sangat meremehkan Martin, membuat Martin gondok dan ingin sekali menghajarnya. "Aku beri kalian kesempatan untuk menyingkir. Jangan pancing kemarahanku," ucap Martin, mengepalkan kedua tangannya lebih kencang. Si penjaga keamanan menyadari bangkitnya amarah Martin, tapi itu malah membuatnya semakin ingin mencemoohnya. "Oh, kau mau memaksa masuk dengan jalan kekerasan? Lucu sekali! "Asal tahu saja, Klub Ballein bukanlah klub malam biasa. Pemilik Klub Ballein adalah Pak Yanuar Winoto, salah satu mafia paling berbahaya di dunia bawah di kota ini. "Kau sama saja cari mati kalau kau mengacau di sini. Kau paham?!" Martin memicingkan matanya. Orang di hadapannya ini bebal sekali. Dia sebenarnya tak ingin menggunakan kekerasan tapi dia tak akan ragu menghajar mereka berdua kalau itu satu-satunya cara dia bisa masuk untuk menyelamatkan Julia. Di titik ini, Aurora akhirnya muncul. "Apa yang terjadi, Tuan Muda? Anda tak bisa masuk?" tanyanya. Martin menoleh melirik Aurora. Aurora bisa melihat kemarahan yang nyaris memuncak di mata tuan mudanya itu. "Aku mau masuk tapi dua orang ini menghalangiku," ucap Martin, dingin. Aurora terus menaiki anak-anak tangga sampai akhirnya sosoknya juga bisa dilihat oleh kedua penjaga kemanan itu. Tiba-tiba saja, mereka berdua terkesiap. Wajah mereka mendadak pucat. "Tuan Muda datang bersamaku. Cepat menyingkir sebelum kalian menyesal!" ancam Aurora dengan mata menyala. ...