"Aku hamil, Fir, tapi Daniel tidak menginginkannya,"
Saat sahabatnya itu mengungkapkan alasannya yang menghindarinya bahkan telah mengisolasikan dirinya selama dua bulan belakangan ini, membuatnya terpukul. Namun respon Firhan bahkan mengejutkan Nesya. Firhan, Mahasiswa S2, tampan, mapan dan berdarah konglomerat, bersedia menikahi Nesya, seorang mahasiswi miskin dan yatim-piatu yang harus berhenti kuliah karena kehamilannya. Nesya hamil di luar nikah setelah sekelompok preman yang memperkosanya secara bergiliran di hadapan pacarnya, Daniel, saat mereka pulang dari kuliah malam.
Di tengah keputus-asaan Nesya karena masalah yang dihadapinya itu, Firhan tetap menikahinya meski gadis itu terpaksa menikah dan tidak mencintai sahabatnya itu, namun keputusan gegabah Firhan malah membawa masalah yang lebih besar. Dari mulai masalah dengan ayahnya, dengan Dian, sahabat Nesya, bahkan dengan Daniel, mantan kekasih Nesya yang menolak keras untuk mempertahankan janin gadis itu.
Apa yang terjadi?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Moira Ninochka Margo, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
DUAPULUH TAK BERDAYA
RAGAKU tertegun, bagai syaraf tak berfungsi, ketika menghampiri gadis berlinangan penuh airmata yang tengah terduduk gusar di sofa ruang tamu yang nekat menemuiku di tempat ini. Bahkan, Firhan yang memberitahuku bahwa Gina datang kemari, membuatnya tak banyak bicara dan memintaku menemuinya terlebih dahulu.
Dia di sana, memandangku dengan ketakutan, cemas namun ada secercah harapan dalam mata sembab dan bengkaknya. Entah apa yang diinginkan, namun yang pasti, keyakinanku terhadap tentang kakaknya dengan kaitan pertemuan ini membuatku semakin cemas, khawatir dalam segala hal, terlebih suamiku, Firhan.
Gina memelukku begitu erat, dalam isak tangisnya yang mulai membanjiri pundakku. Bahkan, emosionalnya tak di kontrol lagi dan suara tangisan itu benar-benar membuatku ikut sedih.
“Tenanglah. Ada apa? Cerita padaku? Daniel baik-baik saja, kan?” lagi, dia menangis dalam pelukan ini.
“Aku mohon, Kak?” tukasnya memelas di sela isak tangis tertahannya.
Pelukanku sengaja terlepas, lalu memandang dia dengan sorotan penuh tanya. Entah apa yang dipikirkan gadis ini, tapi sungguh, kecemasanku pada suamiku semakin menjadi.
“Kedatanganku kemari, aku ingin meminta tolong padamu. Kakakku Daniel masih koma di Rumah Sakit, tapi aku mohon, Kak, please, datanglah ke Rumah Sakit menemuinya, setidaknya sebentar saja tidak apa-apa, demi ibuku,” mohonnya menatapku yang membuat kedua tangan yang sedari tadi menggenggam telapak kanannya, kini terlepas dan menatapnya tanpa mengerjap.
“Demi ibu?”
Gina mengangguk mantap. “Ibu sangat menyayangimu, bahkan sangat ingin melihat kalian menyatu. Jika beliau tahu, kamu telah menikah dengan ... mungkin ia akan bernasib sama dengan kak Daniel. Bukankah kamu tahu, kan? Jika ibu banyak pikiran, ia bisa drop dan koma. Please, Kak Nesya? Setidaknya juga membantu kakakku. Mungkin dengan cara itu, dia bisa melewati masa komanya.” Pinta gadis itu memohon padaku sembari menggenggam erat tangan ini dengan kedua tangannya. Matanya semakin sembab dan basah.
Sungguh, aku tak bisa tahan jika melihat seseorang memohon dalam kesedihan seperti ini padaku. Rasanya, kesakitan itu kurasakan pula dalam benak ini. Namun, di sisi lain, itu juga pilihan sulit untukku, sangat sulit! Biar bagaimana, pun ada hati yang harus kuhargai dalam hal ini. Tapi rasanya, aku benar-benar terjepit oleh dinding berduri yang mulai menghimpitku.
Kupejamkan mata dan mendesah berat, mencoba berpikir jernih dan menenangkan pikiran. Sungguh, ini begitu sulit. Bagaimana bisa aku mengorbankan perasaan suami malaikatku, sedang ia begitu sabar dan penuh kasihnya mencintaiku. Namun di sisi lain, rasanya juga menyakitkan jika menyakiti hati seorang ibu, terlebih ibu yang telah menganggapku sebagai anaknya selama ini.
“Gina ... aku—“
“Dia pasti datang nanti sore,” sela lelaki berkaus putih yang tetiba saja masuk di ruang tamu sembari memandang kami berdua, sambil menghampiri.
Pandanganku tajam ke arahnya sekaligus terkejut. Sungguh, aku tak mengerti jalan pikiran lelaki itu.
Apa-apaan itu? Bagaimana bisa dia seenaknya mengambil keputusan tanpa memberitahuku terlebih dahulu?
Kalimat koreksiku tertahan di ujung tenggorokan, saat melihat ekspresi bahagia dalam wajah sembab penuh linangan airmatanya itu. Jelas sekali, raut wajah bahagia berseri sekaligus lega itu terpancar di wajah kecilnya.
“Sungguh, Kak?” tanya Gina tak percaya yang di balas dengan angukan mantap Firhan sembari tersenyum, lalu duduk disebelahku dan merangkul bahuku.
“Iya! Kakak pasti mengantar dia ke sana. Dan akan menginap juga tentunya,” tukasnya sembari menggenggam lengan sebelahku dalam rangkulannya di akhir kalimat.
Kalimat itu membuat kepalaku memutar cepat ke arahnya yang duduk di sebelah dan hanya di balas senyuman lebar dari Firhan ke arahku, setelah melempar senyum pada Gina, meski hanya melirikku sekilas.
“Ibu dan kak Daniel pasti senang. Terima kasih, Kak. Aku janji, begitu kak Daniel terbangun dari komanya, aku berusaha mencari alasan agar beliau melepaskan kak Nesya,” jelas Gina berjanji dengan antusiasnya, yang membuat lelaki itu melirikku sejenak di akhir kalimat.
Sampai Daniel terbangun?
Kutatap dalam-dalam mata lelaki itu, namun dia hanya tersenyum simpul berusaha menenangkan yang hanya kubalas dengan memutar mata dan memalingkan wajah.
Yang benar saja! Se-lama itu? Oh, Tuhan!
“Jadi, Kak Nesya—“
“Gin, aku ke toilet dulu, ya? Terima kasih atas kunjunganmu.” Dia mengangguk mantap saat aku menyela dan memberitahunya.
“Terima kasih juga sudah ingin menolongku, Kak. Kalian sungguh baik!” sahutnya yang membuatku tersenyum simpul, lalu berlalu.
Hanya mendengar samar-samar, mereka mengobrol basa-basi yang sesekali Gina tertawa. Yeah, gadis itu kini kembali semangat dan ceria. Wajahnya tak sembab lagi oleh airmata. Aku kini mempercepat langkahku menuju kamar, berusaha keras menahan airmata yang mulai mengambang di pelupuk mata lebarku.
...***...
“Sayang?” panggil Firhan yang kini masuk ke dalam kamar kami dan menghampiri di sudut tempat tidur. Mungkin Gina telah pulang.
“Berhentilah berbicara padaku!”
“Kamu marah?”
Ya ampun, dia masih bertanya? Benar-benar!
“Sayang, apa kamu marah?” tanyanya sekali lagi saat aku hanya bungkam dalam raut wajah defensif, namun nada suaranya lebih lembut lagi.
“Aku tak bisa berbuat apa pun, jadi itu terserah padamu!”
Dia mendesah berat sembari meremas rambutnya, lalu berlutut di hadapanku. Tangan hangatnya kini menggenggam kedua tanganku dan menatapku sejenak dengan sendu yang seketika tak memandangnya dan membuatku tertunduk.
“Sayang, hei?” lirihnya lagi memulai saat berusaha mengangkat daguku, agar melihat dan menatapnya lekat, namun aku langsung menelengkan wajah ini.
Dia mendesah lagi, kemudian melepaskan genggaman tangannya dan berpindah dari wajahku, menggenggamnya dengan lembut. “Maafkan aku, please?”lirih Firhan berbisik dalam nada suara bersungguh-sungguh yang membuat aku memejamkan mata.
Sungguh, aku tak tahan jika mendengarmu memelas seperti itu, terlebih mengucapkan kata memohon itu, Firhan.
“Kamu senang sekarang? Itu yang kamu inginkan? Apa itu Firhan? Bagaimana bisa kamu dengan mudahnya mengambil keputusan seperti itu, apalagi tanpa sepengetahuan dariku dan persetujuanku terlebih dahulu?”
“Sayang, dengar dulu! Aku benar-benar tidak masalah jika kamu bisa membantu—“
“Kamu yang tidak masalah, tapi aku yang bermasalah,” potongku cepat-cepat.
“Apa kamu mengira aku baik-baik saja mengucapkan keputusan itu? Tidak, Nesya! Itu sama menyakitkan ketika harus berjalan di atas pisau tajam demi dirimu, itu sama saja aku bunuh diri namun harus kulakukan dan itu sudah sepaket! Kamu tahu, rasanya hancur ketika mendengar dan melihat masa lalu orang yang kita cinta hadir di tengah-tengah kebahagiaan, terlebih kenyataan sesungguhnya hanya terjadi ke salah pahaman? Rasanya hancur, ketika adiknya datang meminta pertolongan dengan menangis, sungguh itu membuatku sangat hancur dan tidak kuat menahannya.
“Aku tahu, ini tidak adil untuk kita berdua dan sulit, tapi please, Nesya, setidaknya kamu melihat permohonan seorang adik yang hanya ingin menjaga perasaan ibunya dan juga demi kesembuhan kakaknya, Please? Kamu tahu, Sayang, terkadang sesuatu hal yang tidak diinginkan itu akan menyapa dalam hidup kita. Mengapa Tuhan membiarkan dan menghendaki itu? Agar kelak bisa jauh lebih kuat dan mengerti makna kehidupan sesungguhnya, rasa sakit pasti ada, tapi bukankah akan lebih baik jika kita berbuat kebaikan? Keindahan bukan pada apa yang seperti keinginan kita, tapi pada apa yang kita upayakan untuk mencintai sesuatu yang Allah berikan, karena kelak waktu akan membuat kita merasakan nikmatnya,”
"Dan menyakiti dirimu? Itu sama saja aku menghancurkanmu, Firhan," rapuhku dalam tangisan sembari menunduk.
Kenapa dia se-bodoh itu sih? Kebaikannya membawanya sebodoh itu, hiks!
Ia mengusap airmataku, lalu menggenggam wajah ini dalam mata berbinar tak berdayanya yang begitu sedih.
"Terkadang, sebuah senyuman mampu menyembunyikan luka dalam kesedihan, hanya ketika melihat secuil senyuman dalam hidupnya. Jadi, tersenyumlah, kumohon?" Gumamnya memelas di akhir kalimat yang masih menatap wajahku.
Firhan kemudian berlutut tepat di hadapanku yang tengah sedari tadi duduk di tepi tempat tidur ini, lalu wajahnya sengaja dibenamkan di telapak tanganku yang kini di genggamnya begitu erat.
"Aku mohon, Nesya, please? Please, kamu melakukannya untukku? Kamu tahu, sehancur-hancurnya duniaku, lebih hancur lagi ketika harus melihatmu bersedih dan terluka. Maafkan aku? Tapi kumohon, kali ini saja jangan melihatku, karena sungguh itu semakin membuatku merasa bersalah,"
Aku memandangnya sejenak, saat sorotan mata itu begitu hampa menatapku memohon itu kutemukan di sana.
"Hal yang benar-benar sedih kulakukan, bagai seolah menjadi tombak yang siap menyerangku dan harus kulakukan. Sungguh, andai saja ada cara lain untuk menghapus perasaan bersalah itu, aku—"
Firhan seketika menarikku dalam dekapannya, membuat diri ini semakin menangis sejadi-jadinya, seakan mendengar deru gemuruh dalam benaknya yang seperti bertolak belakang dengan semuanya.
Dan memang benar! Akan ada titik di mana hal yang bahkan di sebut 'gila', itu terjadi dan harus dilakukan. Dan ketika telah terjadi, konyolnya dalam kemirisan hanya dikuatkan karena cinta semata.
...* * *...
Dia benar-benar mengantarku ke rumah sakit untuk menepati janji pada adiknya Daniel, Gina, meski aku bersikeras menolak. Dia benar-benar begitu tegar dan kuat, bahkan menyemangati dengan lelucon konyolnya.
Dan kau tahu, Suamiku, hingga saat ini, pun diam-diam aku selalu mengagumimu pada Tuhan-ku, memohon dan berterima kasih karena telah diberikan hadiah terindah dalam hidupku.
"Terima kasih, Kak, sudah datang." Sambut Gina memelukku begitu erat dengan raut wajah cerianya, ketika melihat kami berdua.
"Iya! Terima kasih, Sayang, dan juga, temanmu itu Nesya." Sahut ibunya Gina sembari melirik Firhan sekilas di akhir kalimat dan membuat seolah dadaku dihempas tombak yang bersamaan mataku bertemu dengan matanya. Firhan tersenyum sekilas menyemangati, sekaligus senyuman kuat.
Oh, Tuhan? Kumohon kuatkan dia! Entah sampai kapan drama ini usai.
"Sama-sama, Bu. Umm, Nes, aku pamit pulang, ya? Baik-baik di sini," Pamitnya di akhir kalimat sambil melirikku dalam senyuman simpulnya sembari mengusap kepalaku dengan lembut dan membuat aku memandangnya berbinar.
Ugh! Benar-benar tenggorokanku sakit!
"Yah, lebih baik seperti itu! Takutnya, nanti jika Daniel melihatmu bersama pacarnya, bisa-bisa dia berpikiran aneh. Dan satu lagi, jangan terlalu bersikap seperti itu pada pacar puteraku, aku tidak suka itu. Jadi, aku harap kamu bisa menjaga sikapmu, Anak muda. Meski pun aku tahu Nesya adalah temanmu, tapi jangan, mengerti?" Tukas wanita paruh baya itu di akhir kalimat dengan tegasnya sengaja menekan kalimatnya sembari memperingati.
Sungguh, Tuhan, ini benar-benar tidak sehat!
"Iya, Bu, mengerti. Maafkan aku." Lirih lelaki di sebelahku ini sembari mengangguk patuh memandang wanita itu yang menatapnya sinis dalam senyumannya, sedang Gina hanya memandang kami dengan tidak enak hati.
"Baguslah." Defensifnya lalu melirik arloji di tangan seakan menyindir suamiku ini.
Setelah Firhan Pamit sekali lagi, ibu Daniel lalu mengajakku masuk ke dalam ruangan. Namun, belum-belum lima menit, aku semakin gusar dan pamit keluar beberapa saat.
Dia di sana! Berdiri tepat di parkiran dekat mobilnya. Yeah, aku sengaja mencarinya sekaligus meredam kegusaran benak ini.
"Sayang? Ada apa? Kamu baik-baik saja, kan? Kok di sini?" Tanyanya dalam pandangan heran saat menatap raut wajahku yang tidak tahan meneteskan airmata.
"Hei, tenanglah. Tidak apa-apa."
"Maaf?" Gusarku memandangnya dalam kesedihan.
"Maaf untuk?"
"Itu, tadi.... "
Senyumannya merekah dalam anggukan yang seketika menggenggam kedua lenganku. "Biar bagaimana pun, kamu masih tetap istriku, kan?" Lirihnya menenangkanku hingga membuat anggukan setuju ini nampak, lalu senyum itu merekah dan mengusap airmataku yang seketika membuatku berhambur memeluknya dan balas mendekapku erat sejenak, kemudian melepaskan.
"Tidak apa-apa, semuanya akan baik-baik saja. Sekarang, masuklah! Nanti ibunya Daniel curiga."
Lagi, aku menatapnya.
Setulus itukah cintanya? Hingga dengan semudah itu hatinya berusaha ikhlas dan mengerti.
Helaan napas panjang terdengar dari Firhan, lagi dia berusaha tersenyum dan terlihat baik-baik saja di hadapanku.
"Sungguh, Sayang, aku tidak apa-apa." Sahutnya lagi mencoba meyakinkan.
"Fir, kamu bisa membatalkannya jika mau,"
Dia menghela napas sembari mata indah itu menatapku sejenak. Lalu pada detik berikutnya, senyuman khasnya terbit. "Membuat seseorang bahagia, tidak ada salahnya, bukan? Lagi pula, kamu masih milikku, dan kebahagiaanku masih selalu ada ketika masih bisa melihatmu, bahkan ketika kita bersama di rumah." Jelasnya yang membuatku seketika berhambur memeluknya dalam tetesan airmata. Sekilas masih bisa kulihat senyum itu, meski mengandung ketegaran.
"Semudah itukah? Entah terbuat dari apa hatimu hingga melakukan setulus–"
"Ssstt! Jangan berlebihan dan banyak berpikir, Sayang. Aku bisa kuat seperti ini karena dirimu, senyuman di wajahmu," lirihnya yang masih memeluk sembari sesekali mengusap rambutku.
Aku semakin menenggelamkan tubuhku dalam pelukannya hingga tak menyadari kita berdua berada di mana saat ini.
Mata yang mulai berbinar sedari tadi itu seolah tak ingin kulepas dari pandanganku saat kami saling menatap sejenak setelah pelukan terlepas.
"Ada apa lagi, Sayang? Sungguh–"
"Kamu tidak minat mencium keningku? Biasanya keindahan itu juga terjadi saat kamu hendak pergi ke suatu tempat dan pamit," sindirku menggoda ringan yang membuat senyuman berasal darinya terdengar, lalu detik kemudian menarik kepalaku dengan lembutnya, mengecup kening ini begitu lama.
"Aku baru tahu, jika seseorang yang hamil bisa juga mengidam ciuman, sampai-sampai bersungut seperti itu."
Dia meringis dalam senyuman tatkala aku spontan mencubit perutnya dengan gemas. Suamiku ini memang berhasil membuatku terkekeh dalam tetesan airmata, lalu menarikku lagi dalam pelukan kasihnya sembari tersenyum dan mengusap kepalaku.
"Jaga kesehatan sayang, ya. Jika terjadi sesuatu beritahu aku, oke?" Pintanya menatapku setelah dekapan terlepas dan hanya kubalas anggukan patuh dalam senyuman, yang sekali lagi mengusap kepala ini dengan lembut penuh kasih sembari tersenyum memandang dan membuatku mengangguk patuh dalam senyuman mata berkaca-kacaku.
"Kamu juga jaga kesehatan dan teratur makannya, jangan terlambat. Hati-hati saat pulang." Firhan tersenyum dalam anggukan.
Aku memandangnya sejenak dalam mata berkaca-kaca.
"Ada apa lagi, Sayang? Hm?"
"Aku minta maaf karena terjadi seperti ini ... Bulan madu kita jadi rusak karena aku yang—"
"Ssstt, apa, sih, Sayang? Sudah, ya! Ini bukan salahmu. Aku tidak apa-apa," sambarnya yang menarikku seketika dalam pelukannya.
Dia semakin memelukku erat. Setelah beberapa saat, kami lalu melepaskan pelukan. Aku menghela napas berat, berusaha keras menerima kenyataan ini dan menghadapinya.
"Kamu tahu, aku lebih suka melihat senyum indah itu, bisakah itu terlihat untukku sebelum aku pulang? Masuklah, lalu aku pergi. Hati-hati jalannya, Sayang."
Anggukanku begitu ragu saat mendengar titahnya yang bersamaan dengan senyuman yang berusaha keras se-manis mungkin ini tampak di hadapan suamiku itu. Satu kecupan hangat mendarat di keningku lagi sambil menggenggam lembut wajahku berhasil membuat airmata ini menetes lagi, namun cepat-cepat mengusapnya, sebelum ia melihat. Ia tersenyum saat mata sembabku menatapnya sedih dan mencium tangan penuh kasih itu untuk pamit sebelum meninggalkannya sendirian di tempat ini. Rasanya tidak nyaman tak bersamanya saat ini, terlebih harus tak melihatnya beberapa jam dan menjauh darinya. Sungguh, belum-belum aku sudah merindukannya.
Dengan gontai kulangkahkan kakiku masuk ke dalam rumah sakit, setelah memeluknya sekilas kemudian melambai.
Dan pada bagian ini, aku ingin menanyakan keindahan cinta yang harus kulepas. Pada alasan apakah aku harus melukainya? Terlepas dari ketulusan dan kebahagian dalam sebuah pengorbanan yang begitu besar yang telah diberikan untukku selama ini.
Sebelumnya aku pernah bertanya pada hatiku. Pada bagian manakah keindahan cinta itu? Dan ketika menemukan dirinya, yang kumengerti adalah, keindahan dalam cinta itu ketika tak ada keegoisan dan hanya dilakukan atas dasar ketulusan. Tak peduli seberapa pahit menyapa, hal yang terpenting adalah bagaimana kau berusaha se-terbaik mungkin melakukannya dan sebahagia mungkin, meski dengan cara sederhana. Karena tanpa kau sadari, ada orang lain di suatu tempat, di luar sana, ikut bahagia melihatmu bahagia. Dan suatu hari, waktu menunjukkan bahwa takkan ada keindahan yang mengkhianati perjuangan dan pengorbanan.
Aku mencintaimu, Firhan,
Aku sangat mencintaimu, Suamiku.
...* * * *...