NovelToon NovelToon
Rengganis Larang

Rengganis Larang

Status: sedang berlangsung
Genre:Horor / Action / Misteri / Hantu / Roh Supernatural / Fantasi Wanita
Popularitas:875
Nilai: 5
Nama Author: Saepudin Nurahim

Warisan darah. Kutukan leluhur. Perburuan yang tak pernah usai.

Di tengah kabut kelam tanah Pasundan, garis batas antara dunia manusia dan dunia gaib mulai menipis. Makhluk-makhluk yang seharusnya tersegel mulai bermunculan kembali, membawa kutukan, kematian, dan kegilaan. Hanya satu nama yang masih ditakuti oleh mereka yang hidup dalam kegelapan: Rengganis Larang.

Sasmita Wibisana, keturunan terakhir dari pemburu siluman, kini memikul beban warisan berdarah keluarganya. Dengan keris pusaka yang haus jiwa dan senjata api yang diberkahi mantra, ia menyusuri lorong-lorong gelap Nusantara untuk memburu entitas yang tak bisa dilawan manusia biasa. Tapi setiap makhluk yang ia bunuh, semakin dekat pula ia pada satu kebenaran yang telah dikubur berabad-abad: sebuah pengkhianatan di dalam garis darahnya sendiri.

Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Saepudin Nurahim, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri

Segel Yang Terbuka

Angin di Gunung Gede mulai berubah. Tak sekadar dingin. Tapi beku. Beku seperti ruang mayat.

Burung-burung berhenti berkicau. Ranting-ranting tak lagi bergerak.

Langit kehilangan warnanya.

Sasmita merasakan semuanya dalam hitungan detik.

Ada yang salah.

Kenan masih tergeletak di bawah altar, tubuhnya penuh darah, napasnya berat. Tapi denyut yang mengalir dari tanah... bukan rasa kemenangan. Bukan kelegaan. Tapi sesuatu yang lain.

Sesuatu yang tua... dan lapar.

“Jebakan...” desis Sasmita.

Retakan altar yang sebelumnya berhenti, tiba-tiba bersinar merah, seperti urat darah terbakar dari dalam. Tanah bergetar. Suara gemuruh muncul dari dalam bumi.

Lalu... altar itu pecah.

BRAGGGRHHH!!!

Cahaya merah darah menyembur ke langit. Sebuah pusaran api dan angin membelah pepohonan, menghancurkan batu-batu. Tanah sekeliling altar ambles seperti lubang neraka yang terbuka paksa.

Sasmita menutupi Kenan dengan tubuhnya saat semburan energi itu menyapu mereka. Tapi... dia terlambat.

Segel telah terbuka.

Dari lubang itu, perlahan naik... sesosok tubuh kolosal.

Manglayang Merah.

Makhluk itu bangkit, tubuhnya setinggi lebih dari dua setengah meter, kulit seperti darah yang membeku. Rambut gimbalnya bergerak sendiri seperti belatung hidup. Dari punggungnya muncul dua tanduk besar, melengkung seperti tanduk kerbau, tapi retak-retak dan berdarah.

Matanya... bukan mata. Tapi kobaran api merah dari dunia lain.

“Sudah saatnya,” gumam makhluk itu, suaranya seperti dua manusia bicara bersamaan, satu dalam bahasa manusia, satu dalam bahasa yang tak bisa dikenali.

Langit di atas altar mendadak menghitam total.

Kabut menyebar cepat, menelan pepohonan, mengalir ke bawah, ke desa tempat Kang Ujang dan warga.

Teriakan mulai terdengar dari bawah gunung.

Ibu-ibu menjerit. Anak-anak menangis. Langit tak punya warna lagi.

Gunung Gede berubah jadi neraka terbuka.

Sasmita berdiri perlahan. Napas berat. Luka-luka di tubuh belum sepenuhnya sembuh. Tapi ia berdiri. Mata merah karena amarah.

Kenan masih tak sadar. Tapi masih hidup.

Sasmita menurunkan tubuh Kenan ke bawah pohon besar, menumpuk jaket dan kain untuk mengganjal kepala anak itu. Ia menyentuh rambut Kenan sebentar... lalu bangkit.

Trench coat-nya berkibar pelan saat angin dari Manglayang Merah makin kuat.

Dia menyelipkan keris Larang di pinggang.

Memeriksa shotgun dan memastikan peluru mantra masih ada.

MP5-nya sudah rusak. Hancur. Yang tersisa hanya peluru, keris, dan...

Kepala dingin.

Sasmita menghela napas.

Tangannya merogoh ke saku coat-nya. Mengambil bungkus rokok Dji Sam Soe lusuh.

Menarik sebatang. Diselipkan ke bibir.

Lalu... dia menggesek konset gas kecil, menyulut api.

Rokok terbakar. Dia hisap pelan. Asap mengepul dari bibirnya.

Mata tak berkedip menatap monster di hadapannya.

“Jadi lo beneran bangkit juga, ya. Si anjing berdarah dari neraka.”

Manglayang Merah menoleh. Tertawa. Tapi tawanya bukan tawa. Lebih mirip suara tulang patah ditarik paksa.

“Anak si Wibisana... datang sendiri. Dengan keris mainan dan rokok basi.”

Suara Manglayang menghentak udara seperti gong baja.

Sasmita melempar puntung rokok ke tanah.

Menginjaknya.

“Gue nggak butuh banyak senjata buat ngelawan bangkai.”

Dan dia menyerang.

Langkah cepat. Tubuh melesat rendah, seperti silat Harimau yang menyelinap.

Manglayang mengangkat tangannya yang besar — penuh luka terbuka yang masih mengucur darah. Dia menghantam ke bawah.

Tapi Sasmita melompat ke kiri, dan menembak dua kali dari shotgun-nya ke sisi dada Manglayang.

DOR DOR!

Api suci membakar sisi tubuh monster itu.

Manglayang meraung, tapi tidak terluka parah. Hanya mundur sedikit.

Dia membalas. Dari perutnya keluar lidah panjang yang menyembur ke arah Sasmita, membelah udara seperti cambuk.

Sasmita membungkuk, lalu meluncur ke depan, menusuk paha kiri Manglayang dengan keris Larang.

Tapi saat keris menusuk, darah dari luka itu keluar seperti air bah. Darah yang hidup. Darah yang bersuara.

“AKU LIHAT MATINYA AYAHMU...”

Sasmita terpental mundur.

“AKU DENGAR DIA MENYEBUT NAMAMU... SEBELUM AKU CABUT NYAWANYA DARI MULUTNYA SENDIRI.”

Sasmita terdiam. Tubuhnya membeku.

“Berhenti...”

Manglayang mengangkat tangannya. Menyentuh kepala sendiri.

Lalu Sasmita melihat.

Bukan dengan mata, tapi dengan pikirannya. Seperti mimpi buruk yang ditayangkan di otaknya sendiri.

Ia melihat ayahnya — Pak Wibisana — berdiri di altar. Sendiri. Berdarah-darah. Dikepung siluman. Di hadapannya... Manglayang Merah. Dengan wajah muda, lebih kecil, tapi mata tetap sama. Merah.

“Lari, Sasmita... LARI!!!” teriak ayahnya.

Dan kemudian...

Lehernya dicabut. Bukan ditebas. Dicabut.

Dengan tangan. Perlahan. Darah menyembur. Wajah ayahnya tetap menatap ke langit. Matanya terbuka.

Sasmita menjerit.

Tapi itu di masa lalu. Tapi sekarang... ia merasakannya lagi.

Trauma.

Manglayang tersenyum. “Aku tak hanya membunuh dia. Aku mencicipi jiwanya... dan itu enak.”

Sasmita terhuyung.

Dan di momen itu — Manglayang menyerang.

Tangan kanan raksasa itu menghantam dada Sasmita.

BRAGGGHH!!

Tubuh Sasmita mental sejauh lima meter, membentur batu. Tulang rusuk patah. Darah keluar dari mulut.

Dia mencoba bangkit... tapi kaki kirinya tak bergerak. Lututnya terpelintir.

Manglayang menghampiri. Langkahnya berat, membuat tanah bergetar.

Sasmita tertatih, berusaha merangkak, tangan mencari keris Larang yang terlepas.

Tapi Manglayang menginjak punggungnya. Menekan.

“Sekarang... kamu ikut ayahmu...”

Tulang belakang Sasmita berbunyi retak.

Dia menggigit bibir menahan teriak. Tapi air matanya keluar.

Bukan karena sakit. Tapi karena marah. Karena... dia lengah.

“Aku... belum... selesai...”

Manglayang mengangkat tubuhnya seperti boneka.

Tapi tiba-tiba, dari kejauhan...

Klakson mobil.

Suara mesin mendekat.

Dari arah jalan setapak menuju altar...

Sebuah mobil SUV mendekat cepat, lampu depannya menyorot wajah Manglayang.

Manglayang menoleh.

Sasmita terlepas dari tangannya, terjatuh ke tanah, tak bergerak.

Debu naik. Asap menebal.

Sasmita terbaring, tubuhnya hancur, darah membasahi tanah. Matanya terbuka... tapi kosong.

Tak ada yang tahu apakah dia masih hidup...

1
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!