NovelToon NovelToon
Pesona Cinta CEO Tampan

Pesona Cinta CEO Tampan

Status: sedang berlangsung
Genre:Cinta Terlarang / Cinta pada Pandangan Pertama
Popularitas:1.9k
Nilai: 5
Nama Author: Mira j

Maura, gadis lugu dari kampung dengan mimpi besar di kota, bekerja sebagai pengasuh nenek dari seorang milyader muda bernama Shaka Prawira. Tak disangka, Maura juga ternyata mahasiswi di universitas milik Shaka. Di balik sikap dinginnya, Shaka menyimpan perhatian mendalam dan mulai jatuh cinta pada Maura—meski ia sudah memiliki tunangan. Terjebak dalam cinta segitiga, Maura harus memilih antara impian dan perasaannya, sementara Shaka berkata,

"Aku sangat menyukaimu, Maura. Aku ingin kau ada saat aku membutuhkanku."

“ anda sudah bertunangan tuan ,saya tidak mau menyakiti hati wanita lain .”

“ Kau tidak akan menyakitinya sayang ,Thalita urusanku ”.

Namun, apakah cinta mampu mengalahkan janji dan status?

Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Mira j, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri

bab 18

 

Mobil hitam berhenti tepat di depan lobi. Maura segera turun, masih mengenakan jaket panjang dan menggenggam kotak P3K di tangannya. Sopir keluarga memandangnya dengan khawatir.

“Saya tunggu saja, Nona?”

Maura menggeleng sambil tersenyum kecil. “Nggak usah, Pak. Saya pulangnya naik taksi saja. Terima kasih ya.”

Sopir mengangguk dan berlalu, sementara Maura langsung masuk ke lift, menekan lantai tertinggi tempat Shaka tinggal. Hatinya gelisah.

Saat pintu lift terbuka, Maura melangkah cepat ke arah pintu apartemen Shaka. Ia tak perlu mengetuk lama—pintu langsung terbuka begitu ia tiba.

Dan disanalah Shaka berdiri.

Wajahnya bengkak, sudut bibirnya masih terlihat sedikit berdarah, namun matanya tetap dingin dan tenang seperti biasa. Ia mengenakan kaos hitam tipis dan celana training, menyembunyikan luka-luka lain yang mungkin tersembunyi di tubuhnya.

“Masuklah.” suaranya rendah.

Tanpa bicara, Maura melangkah masuk. Pintu tertutup otomatis di belakangnya. Ia segera meletakkan kotak P3K di meja kecil ruang tamu dan menatap Shaka.

“Duduk.” ucap Maura tegas, membuat Shaka sedikit terkejut tapi menurut.

Ia duduk di sofa, dan Maura mulai mengeluarkan kapas, alkohol, dan salep antiseptik.

“Apa yang sebenarnya terjadi?” tanya Maura pelan sambil membersihkan luka di sudut bibir Shaka dengan hati-hati.

Shaka mengerjap karena perih, tapi tetap tenang. “Ada yang coba menghalangi aku. Tapi gagal.” 

“Siapa?”

“Belum tahu. Tapi akan segera ketahuan.” jawabnya, matanya menatap tajam ke arah Maura, lalu melembut. “Tapi aku lebih tenang sekarang setelah kamu di sini.”

Maura berhenti sejenak, menatap mata pria itu. 

“Kamu nggak harus hadapi semuanya sendiri, Shaka.”

“Tapi aku memang harus.”

Maura tak menjawab. Ia hanya melanjutkan merawat luka dengan pelan. Malam itu menjadi sunyi, namun penuh dengan emosi yang menggantung di antara mereka.

Maura duduk di hadapan Shaka dengan kotak P3K terbuka di pangkuannya. Ia menuang cairan antiseptik ke kapas, lalu dengan perlahan menyentuhkan kapas itu ke luka di pelipis Shaka.

“Ini agak perih, tahan ya,” katanya pelan. Dan mulai mengusap luka itu.

Shaka hanya mengangguk. Tak sepatah kata pun ia keluarkan. Bukan karena menahan sakit, tapi karena jantungnya berdetak terlalu kencang. Matanya terpaku pada wajah Maura yang begitu dekat. Napas gadis itu hangat terasa di kulit wajahnya. Bulu mata lentik Maura berkedip pelan, bibirnya sedikit terbuka dalam konsentrasi penuh. Shaka menelan ludah. Ia tahu, ini salah—tapi ia tak bisa memalingkan pandangannya.

“Maura…” bisiknya nyaris tak terdengar.

Maura tak menjawab, masih fokus membersihkan sisa darah kering di sudut bibir Shaka. Tangannya begitu telaten, penuh perhatian. Ia mengambil salep luka, lalu dengan hati-hati mengoleskan di pipi kanan Shaka yang membiru.

“Jangan bicara dulu. Kalau kamu bicara otot wajahmu bergerak, nanti makin sakit,” ucapnya pelan, sedikit menegur dengan nada lembut.

Shaka tersenyum miring. “Tapi kamu terlalu dekat. Gimana aku bisa tenang?” katanya jujur, tapi nyaris terdengar seperti keluhan.

Maura berhenti sejenak, menatap mata Shaka, dan baru menyadari betapa tipis jarak mereka. Nafas mereka nyaris saling bersentuhan. Ia bisa mendengar detak jantung Shaka yang tak beraturan… dan jantungnya sendiri pun sama tak terkendalinya.

“Maaf,” lirih Maura. Ia ingin menjauh, tapi Shaka menahan pergelangan tangannya, lembut, tanpa memaksa.

“Aku tahu aku salah… aku punya tunangan. Tapi hatiku kayak pengkhianat, Maura. Dia selalu lari ke kamu.”

Maura terpaku. Matanya berkaca-kaca. Ia tahu kalimat itu tak boleh membuatnya bahagia, tapi ia juga tak bisa memungkiri bahwa hatinya ikut bergetar.

“Jangan bicara seperti itu, Shaka,” katanya pelan. “Karena kalau kamu terus bilang begitu, aku bisa lupa batas. Padahal aku yang selama ini paling menjaganya.”

Shaka menghela napas, menurunkan tangan yang tadi menahan Maura. “Maaf… Aku cuma butuh kamu tahu, bahwa kamu berarti.”

Maura tak menjawab. Ia hanya mengalihkan pandangan, menutup kotak P3K perlahan, dan berdiri.

“Aku sudah selesai. Lukamu sudah ku obati. Sekarang waktunya kamu istirahat.”

Ia hendak melangkah pergi, tapi sebelum itu, ia menatap Shaka sekali lagi—mata mereka bertemu, penuh rasa, penuh luka yang tak diungkapkan.

“Jangan terluka lagi, Shaka. Karena setiap kamu terluka, aku juga ikut sakit. Tapi aku gak punya hak untuk merawatmu seperti ini… terus-menerus.”

Langkah Maura terhenti saat tangan Shaka meraih lengannya.

"Aku antar," ucap Shaka pelan tapi tegas. Matanya masih menatap lekat ke arah Maura, seolah tak rela gadis itu meninggalkannya malam itu juga.

Maura tersenyum tipis, lalu perlahan melepaskan tangannya dari genggaman Shaka.

"Nggak usah, Shaka. Kamu butuh istirahat. Lukamu masih baru, dan kamu juga pasti capek," katanya lembut tapi penuh penekanan.

Shaka menghela napas. "Aku gak akan tenang kalau kamu pulang sendiri malam-malam begini."

"Aku naik taksi. Sopir tadi udah tak kasih tahu untuk  pulang kasian nanti kemalaman. kalau disuruh jemput lagi  jaraknya cukup jauh, aku gak tega nyuruh dia bolak-balik. Tapi aku udah pesan taksi online. Tenang aja." Maura menjawab sambil tersenyum, berusaha menenangkan Shaka yang masih terlihat enggan.

Shaka berjalan pelan mendekat ke pintu, menatapnya lekat-lekat. Wajahnya yang masih lebam tampak murung. "Aku cuma… gak mau kamu pergi begitu aja."

Maura menunduk sejenak, lalu mengangkat wajahnya dengan senyum tulus.

"Aku tidak bisa di sini, Shaka. Aku cuma pulang ke rumah Oma. Dan kamu juga harus belajar terbiasa dengan hal ini."

Shaka akhirnya mengangguk pelan. Ia membuka pintu apartemen dan berdiri di ambang pintu , menatap punggung Maura yang melangkah menuju lift.

"Hati-hati , Maura," ucapnya, setengah berbisik tapi cukup terdengar.

Maura menoleh sambil tersenyum kecil. "Kamu juga. Jangan buat aku datang lagi karena kamu terluka."

Pintu lift tertutup, dan Shaka berdiri terpaku di tempatnya. Lalu ia memejamkan mata sejenak, menahan gejolak yang makin kuat di dada.

Dalam diam, ia berbisik pada dirinya sendiri, “Kenapa bukan kamu yang jadi tunanganku, Maura…”

*

*

*

Di salah satu sudut gedung Darmawan Group, tersembunyi di balik pintu logam berteknologi tinggi, terdapat ruangan pribadi Shaka Prawira Darmawan. Ruangan itu bukan sekadar tempat kerja, tapi markas kecil penuh strategi, data, dan masa depan perusahaan. Tak sembarang orang bisa masuk ke sana. Bahkan para staf terdekat pun hanya sampai di batas luar, tak lebih dari ruang resepsionis yang menghadap pintu utama ruangan itu.

Shaka menyimpan semua dokumen penting, rencana investasi, dan jaringan dalam satu sistem terenkripsi khusus di ruangan itu. Hanya dirinya yang tahu isi lemari arsip tersembunyi di balik panel kayu dan hanya ia yang tahu kombinasi akses ke brankas digital yang tertanam di lantai marmer.

Meski banyak rumor beredar tentang apa yang ada di dalam ruang itu, satu hal yang pasti: tidak ada satupun wanita, termasuk tunangannya, yang pernah diizinkan masuk. Tidak juga Maura.

Informasi sekecil  apapun sudah sampai di tangan  Hendra Wiraguna, perhatian bukan pada ruangan—melainkan pada siapa yang memengaruhi pemilik ruangan itu.

Di ruang kendali yang gelap di markas Wiraguna Corp, Hendra mendengarkan laporan dari anak buahnya yang tengah mengawasi aktivitas Shaka.

“Gadis bernama Maura. Mahasiswa, bekerja paruh waktu sebagai perawat pribadi Oma Shaka. Belum pernah masuk ke ruang kerja atau ruang pribadi Shaka, tapi... belakangan ini gadis ini cukup dekat dengan Shaka selain tunangan nya .”

Hendra menyipitkan mata. “Sejauh apa kedekatan mereka?”

“Secara fisik tidak pernah masuk ke ruang strategis, tapi hubungan emosional mereka tampaknya sudah melampaui batas profesional. Bahkan saat serangan terakhir, Shaka tidak menghubungi siapa pun, kecuali Maura.”

“Padahal dia punya tunangan,” gumam Hendra dengan suara dingin.

“Betul. Tapi tunangannya lebih sering terlihat dalam acara formal atau publikasi media dan saat ini sedang di Paris menjalani pekerjaan nya sebagai model. Sementara Maura… diam-diam punya tempat khusus di kehidupan pribadi Shaka.”

Hendra mengangguk pelan. “Kalau begitu kita tidak perlu menembus ruang pribadi Shaka. Kita cukup menyentuh seseorang yang tidak pernah masuk ke sana—tapi mampu mengacaukan seluruh isi kepala pemiliknya.”

Ia berdiri dan menatap layar di depannya, menampilkan foto candid Maura di kampus dan saat keluar dari apartemen Shaka malam itu.

“Amati dia. Tapi jangan ganggu… belum saatnya. Biarkan Shaka berpikir Maura aman.”

Senyumnya menyeringai. “Nanti, kita akan gunakan dia… sebagai umpan paling halus untuk menjatuhkan tembok paling kuat.”

Salah satu anak buahnya melapor dengan suara pelan namun penuh ketegasan.

“Target bernama Maura. Saat ini berada di kampus, selesai kelas dan akan menuju kediaman Oma Darmawan.”

Rendra menyeringai.

“Bagus. Teruskan. Jangan terlalu dekat. Pastikan dia merasa aman, tapi jangan pernah lepas dari pengawasan.”

Ia berbalik menghadap meja dan menekan satu tombol.

“Aku tahu Shaka terlalu pintar untuk diserang secara langsung. Dia juga terlalu protektif terhadap neneknya. Penjagaan di sekitar Oma itu seperti benteng militer.”

Ia menunjuk layar lain, menampilkan penjaga berpakaian jas rapi dan bersenjata tersembunyi, berjaga di sekitar rumah Oma Darmawan.

“Mustahil menyentuh Oma. Tapi Maura… dia celahnya.”

Anak buah: “Tapi Maura tidak memiliki  hubungan keluarga atau status apapun untuk Shaka tuan, apakah ia bisa di targetkan untuk menekan Shaka ?

Rendra menoleh tajam. “Justru karena itu. Karena dia bukan siapa-siapa, tak akan ada yang curiga kalau kita mulai dari dia. Dia lemah, polos, dan yang terpenting... punya pengaruh emosional yang besar terhadap Shaka. Karena Shaka  diam diam punya hubungan khusus pada wanita itu.”

Ia mengambil berkas dari laci, menampilkan foto-foto Maura, riwayat kampus, pekerjaan sampingan, hingga aktivitas sehari-hari.

“Pantau semua. Mulai dari kafe tempat dia suka duduk, jalan pintas ke kampus, bahkan waktu ia belanja kebutuhan harian. Kalau dia mulai merasa curiga, tukar tim. Tapi jangan sampai hilang dari radar.”

Ia menatap tajam layar monitor yang menampilkan Maura tengah berjalan sambil tersenyum kecil, tak sadar dirinya kini menjadi target permainan.

“Saat waktunya tiba... kita akan buat Shaka bertekuk lutut. Bukan karena perusahaan... tapi karena perempuan.”

1
Petir Luhur
lanjutkan
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!