Kisah tentang para remaja yang membawa luka masing-masing.
Mereka bergerak dan berubah seperti bola kuning, bisa menjadi hijau, menuju kebaikan, atau merah, menuju arah yang lebih gelap.
Mungkin inilah perjalanan mencari jati diri.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Paffpel, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
bab 25
Arpa, Depa dan Rian pun bertarung dengan para kakak kelas berandalan di bangunan itu.
Karena jumlah mereka yang banyak, Arpa dan Rian kesusahan, mereka sering terkena pukulan. Sedangkan Depa, dia bisa menghindari beberapa pukulan, walaupun sesekali terkena pukulan.
Arpa, Depa dan Rian pun berhasil menumbangkan mereka semua. Arpa, Depa dan Rian berkeringat dan ngos-ngosan.
“Beraninya kalian lakuin ini ke PG, bang Aran pasti bakal menghajar kalian!” kata salah satu dari kakak kelas itu.
Arpa mengusap keringatnya. Dia memiringkan kepalanya. “Hah? PG? Apaan tuh? Aran? Siapa tuh?”
Depa nengok ke sekitar, dia mencari tempat yang bisa di dudukin. “PG itu Punch Group, bisa di bilang itu nama kelompok mereka. Aran itu ketua mereka kali, ngomong-ngomong gua udah pernah nyoba nyerang PG, tapi waktu itu ada si Aran, dan gua kalah, dia gila sih,” Depa duduk di atas kotak kayu.
Kepala Depa tersentak kecil. “Oh iya, waktu itu si Aran bilang gua menarik atau apapun itu deh, dan dia bilang jangan ada yang nyentuh gua, keren kan gua? Haha,” Depa nyengir.
Arpa dan Rian jalan ke arah Depa. Keringat Rian netes, dia mengusap keringatnya. “gimana kalau si Aran itu datang? Bukannya kita bakal mampus?” kata Rian.
Arpa dan Rian duduk di samping Depa. Depa ketawa kecil. “Hehe, dia bentar lagi datang kok,” Depa menatap pintu.
Arpa dan Rian langsung tersentak. Alis mereka naik, mata mereka melebar. Mereka menatap Depa. “Hah?” kata Arpa.
Tiba-tiba terdengar suara langkah kaki yang mendekat. Arpa dan Rian melirik ke arah pintu. Dan itu, adalah Aran.
Aran menatap sekelilingnya. Dia natap Depa. “Lu lagi ya, ya gua nggak peduli sih sama kumpulan orang bodoh ini.”
Aran jalan pelan ke arah Depa, Arpa dan Rian. Depa berdiri lalu tepuk tangan. “Wah, wah, kejam banget nih ketuanya, haha,” dia ketawa kecil.
Aran menghentak tanah dengan keras. “Woi! Bangun! Terus pergi dari sini!” teriak Aran kepada anggota PG.
Mereka semua pun bangun. Mereka semua langsung lari keluar. Sekarang di ruangan itu tersisa Arpa, Depa, Rian dan Aran.
Arpa dan Rian ikut berdiri. Mereka mengepalkan tangan. Aran memperhatikan mereka bertiga.
Aran menghela napas pelan sambil menggaruk kepalanya. “Santai dong, duduk aja dulu.”
Arpa, Depa dan Rian memiringkan kepalanya. Aran duduk di salah satu kotak kayu. Arpa, Depa dan Rian pun duduk lagi.
Aran menatap tanah. “Sebenarnya, gua ngebentuk PG itu buat mengendalikan murid bandel di sekolah ini.”
Aran menatap Depa, Arpa dan Rian. “Yah, kalian mungkin nggak tau, karena kalian baru di sekolah ini, tapi murid di sini bener-bener kacau kalau nggak ada yang mengendalikan. Karena mereka takut sama gua, jadi mereka lebih milih buat diam dulu.”
Aran meremas jari-jarinya. “Tapi… gua udah kelas 3, gua harus fokus sama masa depan gua, gua pengen bubarin PG, tapi gua juga nggak mau sekolah ini jadi lebih kacau lagi.”
Aran menunjuk Depa, Arpa dan Rian. “Diantara kalian, ada yang mau gantiin gua gak?”
Depa cuman nyengir dan diam aja. Arpa menatap tanah sambil menggenggam celananya. Rian ngelirik Arpa.
“Kalo nggak ada yang ngendaliin para berandalan di sekolah ini, pasti banyak yang di ganggu sama para berandalan itu, mungkin Juan, Rian, Mutia, Talita, Susi, atau Kela, bakal diganggu para berandalan itu,” kata Arpa di dalam hatinya.
Arpa menatap tajam Aran. Alisnya turun tipis. Dia mengangkat tangannya. “Gua, bang.”
Aran ngelirik Arpa. Dia menatap muka Arpa dengan serius. “Kenapa?”
“Karena keren… hehe… “ Arpa maksa senyumnya dan mengusap tengkuknya.
Mulut Aran terbuka sedikit dan langsung tersenyum. “Heh, dasar pembohong.”
Depa ngangguk sambil ketawa. “Hahaha, dia emang pembohong.”
“Gua ikut, gua bakal ngebantu Arpa, kayaknya seru,” kata Depa.
Rian mengepalkan pelan tangannya dan menatap Arpa. “Gua juga, gua bakal bantu lu, Rap.”
Aran berdiri sambil tersenyum lebar. “Kalau gitu, gua ngundurin diri, sekarang PG jadi punya kalian, dadah.” Aran pergi sambil melambaikan tangannya.
Depa berdiri sambil ngantongin tangannya. “Ayo pergi, ketua,” Depa ngeliat Arpa.
Rian ikut berdiri sambil nyengir. “Haha, Ayo ketua.”
Kepala Arpa mundur sedikit. Tangannya terangkat sedikit. Dia berdiri dengan cepat. “Hah?! Gua ketuanya nih?!”
Rian mukul pelan Arpa. “Ya iyalah, siapa lagi.”
Mereka bertiga pun jalan menuju kelas. Di sepanjang jalan, Arpa masih protes, dia nggak mau jadi ketua.
Alis Depa mengkerut tipis. “Berisik lu ah, lu kan tadi angkat tangan, yaudah berarti lu ketuanya.”
Arpa menggaruk kepalanya. “I-iya sih.”
Rian ketawa sambil mukul pelan Arpa. “Hahaha, kocak lu, Rap.”
Mereka pun lanjut jalan ke kelas. Sekarang Arpa jadi lebih tenang. Mereka ngobrol sedikit, dan tiba-tiba sampai di kelas.
Arpa, Depa dan Rian kembali ke kursinya masing-masing. Juan menatap Arpa dan Rian. Dia memiringkan kepalanya. “Kenapa lu berdua? Kok kotor gitu, guling-guling di tanah?”
Arpa nyenggol pelan Juan. “Si kocak, tadi seru banget, Jun.”
Mata dan mulut Juan terbuka lebar. Perlahan-lahan dia memalingkan mukanya. “Kalian seru-seruan tanpa gua?”
Air mata palsu Juan keluar. Dia menampar pelan Arpa dan Rian. “Tega kalian.”
Arpa dan Rian ketawa. “Hahaha, apaan dah, Jun,” kata Arpa sambil mukul meja.
Sedangkan Rian, dia ketawa sambil megangin perutnya. “Hahaha.”
Bel masuk pun berbunyi. Tawa mereka pelan-pelan berhenti. “Yah, udah masuk aja,” kata Arpa.
Nggak lama, guru langsung masuk ke kelas 10C. Pelajaran pun dimulai. Guru menjelaskan, dan murid-muridnya mendengarkan dengan serius. Kecuali Arpa, Juan dan Rian. Mereka malah tidur.
Guru menyadari mereka tidur. Guru itu memukul kepala mereka bergantian, mereka pun bangun. “Kalian di hukum! Berdiri di luar kelas sampai pelajaran saya selesai!” kata guru itu dengan nada lumayan tinggi.
Arpa, Juan dan Rian pun langsung lari ke luar kelas karena ketakutan. Mereka berdiri dan menutup pintu kelas pelan-pelan. “Serem amat tuh guru ya,” kata Juan.
Arpa menatap fokus jendela. Dia menyenggol Juan dan Rian. “Jun, Yan, cabut aja ga sih? Pelajaran si tua itu kan sampai pulang sekolah coy.”
Juan dan Rian nyengir sambil ngasih jempol. “Gas!” kata mereka berdua.
Mereka pun pergi entah kemana. Nggak ada yang ngeliat mereka pergi, kecuali Depa. Depa menghela napas sambil menggelengkan kepalanya. “Hadeh,” kata Depa dalam hatinya.
Arpa, Juan dan Rian pun keliling sekolah. Mereka ketawa-ketawa sambil ngobrol-ngobrol. Mereka ngintip kelas lain, Ngejailin guru yang lagi lewat, jajan di kantin, dan ngendap-ngendap biar nggak ketahuan guru.
Nggak kerasa bel pulang berbunyi. Tapi mereka masih lanjut jalan-jalan. Tapi tiba-tiba langkah Rian terhenti. Mata Rian langsung membesar dan alisnya melonjak cepat. “Waduh, Tas kita kan masih di kelas, kalau balik ke kelas, nanti ketahuan guru, gimana nih?”
Tapi tiba-tiba ada yang ngelempar tas mereka. Ternyata itu Depa. “Tuh tas lu semua, sama-sama.”
Arpa lompat-lompat dan langsung ngerangkul Depa. “Gokil juga lu Dep.”
Depa melepaskan tangan Arpa. “Yaudah, gua pulang dulu,” Depa pergi sambil melambaikan tangannya.
Juan ngelirik Arpa dan Rian. “Kita juga pulang yuk.”
Mereka bertiga pun pulang bareng sambil ketawa-ketawa, kadang mereka saling menyenggol. Tapi tetep nyengir.