"Nak!" panggil Pak Basuki. "Masih belum rela, ya. Calon suami kamu diambil kakak kamu sendiri?"
Sebuah senyum tersungging di bibir Sashi, saat ini mereka sudah ada di sebuah restoran untuk menunggu seseorang.
"Ya sudah, mending sama anak saya daripada sama cucu saya," kata sang kakek.
"Hah?" kaget Sashi. "Cucu? Maksudnya, Azka cucu eyang, jadi, anaknya eyang pamannya Mas Azka?"
"Hei! Jangan panggil Eyang, panggil ayah saja. Kamu kan mau jadi menantu saya."
Mat!lah Sashi, rasanya dia benar-benar tercekik dalam situasi ini. Bagaimana mungkin? Jadi maksudnya? Dia harus menjadi adik ipar Jendral yang sudah membuangnya? Juga, menjadi Bibi dari mantan calon suaminya?
Untuk info dan visual, follow Instagram: @anita_hisyam TT: ame_id FB: Anita Kim
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Kim99, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Fitnah Darinya
Dirga berdiri di dekat jendela kamarnya yang terbuka separuh. Angin malam Jakarta menyibak ujung tirai tipis, namun pikirannya tidak setenang udara itu. Ponsel di tangannya masih menyala, layar menampilkan panggilan terakhir, Sashi, yang terputus secara sepihak.
Suaranya yang tadi menangis… masih menggema di telinganya.
Ia hendak menekan tombol call kembali, dia ingin mengatakan kalau dia akan menjemputnya, tapi jarinya mengambang. Sudah lewat tengah malam. Dia tahu bagaimana keadaan rumah Sashi. Hubungan Sashi dan keluarganya jelas tidak sehat. Andai dia tiba-tiba muncul malam-malam, bisa-bisa malah memperkeruh keadaan.
Akhirnya, Dirga menghela napas dan mengetik pesan.
"Jangan overthinking. Besok aku jemput. Kita pindah ke rumah orang tuaku."
Namun, tidak ada balasan, Dirga menutup jendela dan berbaring, biasanya, dia hanya harus mengulang hafalan dan dia akan langsung terlelap, tapi kali ini, dia malah tidak bisa tidur, sudah mencoba berbagai posisi, tapi pikirannya terus melayang pada sosok itu.
"Astaghfirullah!" Ia kembali duduk dan mengusap wajahnya, Dirga kembali menyibak selimut berdiri untuk mengambil air wudhu.
** **
Pagi menjelang dengan langit mendung tipis. Di ruang makan keluarga besar Tjahaja Anggoro, meja penuh dengan makanan sehat buatan ahli gizi pribadi keluarga itu. Dirga duduk di dekat Pak Basuki dan Bu Farzana.
"Ayah makan yang ini, Yah." Dirga menyodorkan semangkuk bubur gandum dan menyingkirkan telur dadar.
"Aku udah tua, bukan berarti harus disiksa," gerutu Pak Basuki, tapi tetap menurut.
"Ya Ayah sendiri ngeyel terus. Aku udah bilang, jangan keluyuran, biar enggak jajan sembarangan dan enggak sakit perut." Dirga mengoceh kesal.
"Makanya, biar nggak keluyuran terus, cepat kasih cucu buat Ayah." Pak Basuki melirik tajam dan penuh harap, disambut senyum geli dari Bu Farzana.
"Kapan kamu mau jemput Sashi?" tanya ibunya tiba-tiba.
"Hari ini," jawab Dirga tenang.
"Oke, jangan sampe enggak." Bu Farzana menatap jam tangannya. "Ibu sama Ayah kamu mau ke Semarang. Tiga hari. Ada acara dari rumah sakit."
"Ibu, kan udah aku bilang, Ayah sebaiknya istirahat aja di rumah."
"Dirga," sahut Bu Farzana, sambil tersenyum penuh makna, "momennya belum tentu terulang. Kami mau menikmati waktu tua. Kalian juga, jangan lama-lama nunggu untuk—"
"Ibu..." Dirga tersenyum kecil, wajahnya menghangat begitu saja, dia sangat tahu obrolan ibunya akan beralih ke mana.
"Kamu kemarin pulang sendiri. Kenapa nggak ajak istrimu?" Pak Basuki tiba-tiba menatap sengit putranya.
Kedua bahunya terangkat, Dirga hanya tersenyum, misterius membuat Ibunya geleng-geleng kepala, sementara ayahnya semakin menyipitkan mata, curiga.
"Ga ... Ayah minta tolong sama kamu, jangan jahil sama menantu ayah."
"Heumm."
** **
Di tempat lain, satu dunia yang berbeda dari hangatnya rumah keluarga Dirga—Sashi baru saja selesai menyajikan sarapan di meja makan rumah Bu Azizah. Wajahnya pucat, tubuhnya lelah, tapi seperti biasa, dia tetap tersenyum sopan meski tidak ada yang benar-benar menyambut.
Tiba-tiba dari atas terdengar suara gaduh. Teriakan, Tangisan tertahan. Lalu langkah cepat yang mengguncang tangga.
Sashi menoleh, tepat saat Amara turun dengan mata memerah. Dia menggenggam tangan Pak Hartono yang tampak murka dan hendak turun menjemput neraka.
"Ayah, jangan!" Amara menahan lengan ayahnya. "Jangan marah, Ayah, tolong..."
Namun Pak Hartono sudah lepas kendali. Langkahnya panjang penuh tekanan. Begitu sampai di lantai bawah, matanya langsung menyala menatap Sashi.
"Perempuan tak tahu diuntung!" pekiknya.
Plak!
Sebuah tamparan keras mendarat di pipi kiri Sashi.
Tubuh perempuan itu terguncang. Kepalanya menoleh ke samping. Sebelum sempat berkata, tamparan kedua menghantam sisi wajah yang sama.
"Mas!" Bu Azizah berteriak dan buru-buru merentangkan tangan di depan Sashi. Tapi gerakan itu hanya membuat Pak Hartono makin murka.
"Kamu juga! Kamu bela dia? Setelah semua yang dia lakukan?" Tangannya kembali terangkat, mengayun dengan begitu cepat.
Namun, yang terkena tamparan adalah Amara yang berdiri di antara mereka.
Plak!
Amara terhuyung membuat Semua orang terdiam.
Pak Hartono menatap putri lekat, wajahnya langsung berubah cemas. "Amara… Sayang … Ayah nggak sengaja…"
Sashi berdiri terdiam. Darah menetes dari sudut bibirnya. Tak ada satu pun yang memperhatikannya, hanya Amara, memang selalu Amara.
Tak berselang lama, Azka berlari menghampiri Amara yang sedang ditenangkan Bu Azizah. Dia membawa inhaler milik istrinya dan memberikannya tepat waktu.
Melihat kacaunya situasi, Pak Hartono berbalik lagi, matanya menyala seperti bara dan tangannya dengan enteng menunjuk wajah Sashi.
"Kamu benar-benar anak kurang ajar! Sudah ditampung di sini, dikasih makan, dikasih tempat tinggal, tapi malah menggoda suami kakakmu sendiri?!"
"Aku...?" tanyanya kaget. "Kapan aku—?"
"Amara lihat semua yang terjadi di dapur semalam!" bentak Pak Hartono. "Azka juga sudah mengaku. Kamu yang menggoda dia. Perempuan tak tahu malu!"
Sashi menahan napas. Dadanya terasa sangat sesak setelah mendengar penjelasan itu, Dunia seperti terbalik.
Dia memandang ke arah Amara yang memeluk pipinya. Perempuan itu hanya menunduk, tidak bicara. Tidak membela, tidak menyangkal. Lalu ke arah Azka, yang berjongkok kaku… tak satu kata pun keluar dari mulutnya.
"Jadi, maksudnya, Amara memutar balikan fakta!"
"Enggak usah nyangkal, Sashi!" kata Bu Azizah. "Kurang baik apa Amara sama kamu. Bahkan, saat ayahnya marah, dia malah berusaha untuk membelamu, setidaknya tunjukan sikap yang pantas. Minta maaf sama Amara!" titah Bu Amara sambil menatap tajam anaknya. "Bilang kalau kamu enggak akan ngulangin hal memalukan seperti itu."
apa fpto ibu mbak ika dan bapaknya dirga???
penasarannnn...
❤❤❤❤❤
foto siapa ya itu?
❤❤❤❤❤❤
apa yg dibawa mbak eka..
moga2 dirga segera naik..
❤❤❤❤❤
😀😀😀❤❤❤❤
mending pulang ke rumah mertua yg sayang banget ama sashi..
❤❤❤❤❤