NovelToon NovelToon
Terjerat Cinta Ceo Impoten

Terjerat Cinta Ceo Impoten

Status: sedang berlangsung
Genre:Cintapertama / CEO / Obsesi
Popularitas:898
Nilai: 5
Nama Author: Nona_Written

"Ta–tapi, aku mau menikah dengan lelaki yang bisa memberikan aku keturunan." ujar gadis bermata bulat terang itu, dengan perasaan takut.
"Jadi menurut kamu aku tidak bisa memberikanmu keturunan Zha.?"

**

Makes Rafasya Willson, laki-laki berusia 32 tahun dengan tinggi badan 185cm, seorang Ceo di Willson Company, dia yang tidak pernah memiliki kekasih, dan karena di usianya yang sudah cukup berumur belum menikah. Akhirnya tersebar rumor, jika dirinya mengalami impoten.
Namun Makes ternyata diam-diam jatuh cinta pada sekertarisnya sendiri Zhavira Mesyana, yang baru bekerja untuknya 5 bulan.

bagaimana kelanjutan ceritanya? nantikan terus ya..

jangan lupa Follow ig Author
@nona_written

Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Nona_Written, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri

17 saling menerima

Mentari pagi menyapa halaman vila dengan lembut. Embun masih menempel di ujung dedaunan, dan udara Puncak yang sejuk membuat suasana terasa begitu damai. Di teras belakang vila, meja sarapan sudah ditata dengan cantik. Aroma kopi hitam dan roti panggang berpadu dengan suara burung yang berkicau.

Zhavira duduk di salah satu kursi rotan, mengenakan kemeja putih longgar dan celana linen krem. Rambutnya yang dikepang satu terlihat santai dan manis. Ia sedang menyuap potongan kecil pancake ke mulutnya saat Makes muncul dari arah dapur dengan dua cangkir kopi.

"Untuk calon istriku yang suka kopi pahit dan suka nyinyir kalau cemburu,” goda Makes, menyodorkan satu cangkir.

Zhavira melirik tajam, lalu terkekeh. “Dan untuk calon suami yang selalu bikin aku senyum... meskipun kadang pengin aku cubit.”

Mereka tertawa kecil. Beberapa saat kemudian, orang tua Zhavira muncul dari kamar dengan pakaian santai. Pak Ramdhan mengenakan sweater abu dan celana panjang, sedangkan Bu Nuraeni tampak elegan dalam tunik hijau toska. Di belakang mereka, Ayunda Willson juga ikut bergabung, mengenakan outer putih dengan selendang batik.

“Pagi semua,” sapa Ayunda sambil menarik kursi dan duduk di samping Bu Nuraeni.

“Pagi, Ma,” sapa Makes dan Zhavira bersamaan.

“Aduh... suasana kayak gini bikin betah ya. Kayaknya Mama nggak pengin balik Jakarta dulu deh,” ujar Ayunda sambil menyeruput teh hangatnya.

Bu Nuraeni tersenyum. “Kalau gitu, ikut kami aja ke kampung sebentar, Bu Ayunda. Udara sana lebih segar. Bisa rehat dari hiruk-pikuk kota.”

Ayunda melirik sekilas ke arah Makes yang sedang mengoles selai stroberi ke roti Zhavira. “Kalau gitu... saya ikut, ya. Kapan lagi bisa menginap di rumah menantu masa depan?”

Zhavira yang sedang mengunyah langsung tersedak kecil. “Ma… Ma…”

Semua tertawa serentak.

Makes tersenyum, menepuk pelan punggung Zhavira. “Ya udah, nanti kita bagi dua mobil. Aku dan Zha balik ke Jakarta karena ada meeting Senin pagi. Mama bisa bareng Ayah dan Ibu Zha ke kampung.”

“Pas banget. Rumah kami juga nggak sempit, Bu. Bisa tinggal beberapa hari,” sambung Pak Ramdhan ramah.

Ayunda mengangguk senang. “Saya justru yang berterima kasih. Rasanya udah lama banget nggak tinggal di tempat yang tenang dan hangat seperti itu. Dulu waktu suami saya masih ada, kami sering ke desa-desa untuk program yayasan. Sekarang rasanya ingin kembali merasakan hal-hal sederhana.”

Bu Nuraeni tersenyum lembut. “Di kampung kami, sederhana itu justru yang paling membahagiakan.”

Zhavira menatap Makes dengan senyum kecil. Ia tak menyangka hubungan mereka akan membawa begitu banyak kehangatan bukan hanya di antara mereka berdua, tapi juga antar keluarga.

**

Setelah sarapan, mereka mulai bersiap. Koper disusun, oleh-oleh dikemas rapi, dan vila dibereskan.

Di parkiran vila, dua mobil sudah terisi. Satu untuk Makes dan Zhavira yang akan langsung kembali ke Jakarta, dan satu lagi untuk orang tua Zhavira bersama Ayunda yang akan menuju kampung halaman mereka di Jawa Barat.

Sebelum berangkat, Ayunda menghampiri Makes.

“Makes,” panggilnya pelan sambil merapikan kerah kemeja putih anaknya.

“Hm?”

“Jaga Zhavira baik-baik, ya. Kamu sudah terlalu banyak kehilangan, jadi jangan pernah sia-siakan orang yang mau tinggal dan bertahan.”

Makes menatap ibunya dengan lembut, lalu mengangguk. “Aku nggak akan sia-siakan dia, Ma. Bahkan kalau bisa, aku mau jaga dia setiap detik.”

Ayunda tersenyum, lalu menepuk pipi Makes. “Mama bangga sama kamu.”

Zhavira datang menghampiri, lalu memeluk Ayunda erat. “Titip salam buat warga kampung nanti ya, Ma.”

“Pasti, Sayang. Nanti Mama kirim foto-foto,” balas Ayunda sambil tertawa kecil.

Setelah perpisahan hangat, kedua mobil akhirnya berangkat meninggalkan vila. Satu menuju Jakarta, satu lagi menuju kampung halaman yang tenang.

**

Di dalam mobil menuju Jakarta, Makes menggenggam tangan Zhavira.

“Capek?” tanyanya sambil melirik sejenak.

Zhavira menggeleng. “Enggak. Aku cuma lagi mikirin... semuanya terjadi cepat ya.”

“Maksudnya?”

“Kita dulu cuma atasan dan sekretaris. Lalu jadi pasangan. Sekarang tunangan. Dan entah kenapa, aku nggak ngerasa takut lagi buat ngadepin masa depan.”

Makes tersenyum. “Karena kita saling jaga. Karena kamu bukan sekadar pasangan, Zha. Kamu rumah buat aku. Dan aku rumah buat kamu.”

Zhavira tersenyum sambil memejamkan mata, bersandar di bahu Makes yang hangat.

Di tengah perjalanan panjang menuju Jakarta, mereka tahu... ini bukan akhir dari perjalanan mereka.

Ini baru permulaan menuju hidup yang lebih dewasa, lebih dalam, dan lebih berarti—bersama.

**

Mobil melaju pelan menyusuri jalanan menurun dari kawasan Puncak. Pemandangan luar terlihat seperti lukisan hidup—kebun teh terhampar hijau, kabut tipis menyelimuti sisi bukit, dan sinar matahari pagi menyinari lembut pepohonan pinus di kejauhan.

Di dalam mobil, suasana cukup tenang. Zhavira masih bersandar di bahu Makes, sementara tangan mereka tetap saling menggenggam.

Beberapa menit berlalu dalam keheningan yang damai sebelum Makes akhirnya membuka suara.

“Zha…” panggilnya dengan suara pelan, hampir ragu.

“Hm?” sahut Zhavira tanpa membuka mata.

“Kamu mau... kalau kita nikahnya nggak terlalu lama dari sekarang?”

Zhavira membuka mata perlahan dan menoleh. “Maksud kamu?”

“Aku tahu, selama ini kita banyak adaptasi. Tapi setelah kemarin, setelah kita bisa menyatukan dua keluarga dan lihat betapa nyamannya semua orang... aku jadi ngerasa, untuk apa ditunda-tunda kalau kita udah yakin?”

Zhavira memandangi wajah Makes. Matanya serius, tapi tidak terburu-buru. Ada ketulusan di sana. Sebuah kepastian yang hangat.

“Jadi... kamu mau kita langsung siapin pernikahan?” tanyanya pelan.

“Kalau kamu setuju, iya. Aku mau cuti sebulan. Biar fokus urus semua. Dan kita bisa nikah paling lambat akhir tahun ini.”

Zhavira terdiam sejenak. Ada degup kencang di dadanya. Ini nyata. Ini bukan wacana lagi. Ia menatap jalanan di depan, melihat hamparan langit biru yang cerah. Lalu kembali menatap Makes.

“Kalau Mama kamu tahu kamu minta nikah tahun ini, pasti langsung sibuk nyari WO, catering, dan nyuruh kamu fitting jas,” ujarnya, mencoba meredakan deg-degan lewat candaan.

Makes tertawa pelan. “Ya memang itu yang akan terjadi. Tapi aku nggak masalah. Yang penting kamu ada di sampingku.”

Zhavira tersenyum, lalu mengangguk. “Oke. Kita lakuin bareng-bareng.”

Senyum di wajah Makes melebar. Ia mengecup punggung tangan Zhavira lembut.

**

Sore harinya, mereka sudah tiba kembali di Jakarta. Apartemen Zhavira terasa lebih hangat dari biasanya, mungkin karena hati keduanya kini dipenuhi harapan baru.

Zhavira menaruh koper di kamar dan langsung merebahkan diri di sofa ruang tengah, menghela napas panjang.

“Pundak kamu lelah nggak, hm?” goda Makes sambil duduk di sampingnya.

Zhavira mendelik manja. “Lelah. Tapi bahagia.”

Makes menggenggam tangan Zhavira lagi. Kali ini dengan lirih ia berkata, “Aku pernah takut aku nggak akan bisa ngelepas masa sendiri aku. Tapi kamu bikin semuanya jadi lebih ringan.”

Zhavira membalas genggaman itu, suaranya pun lirih, “Dan aku pernah takut kamu nggak akan benar-benar memilih aku. Tapi kamu datang, kamu bawa aku ke rumah kamu, kamu genggam tangan aku di depan mamamu. Itu... lebih dari cukup.”

Sejenak, tak ada suara. Hanya detak jam di dinding dan suara AC yang mendesis pelan.

Sampai akhirnya Makes berkata dengan nada dalam, “Setelah ini, kita cari tanggal, ya? Kita mulai siapin semuanya.”

Zhavira menatapnya. “Kamu yakin?”

“Kamu lihat sendiri kan, Ibu kamu dan Mama aku udah cocok banget. Ayah kamu pun keliatan lega. Sekarang giliran kita yang gerak.”

Zhavira tersenyum sambil menunduk. “Aku nggak pernah membayangkan menikah dengan CEO—dengan masa lalu rumit, karakter keras kepala, dan senyum nyebelin. Tapi aku juga nggak pernah nyangka kalau aku bisa sebahagia ini.”

Makes tertawa kecil. Ia memeluk Zhavira erat. “Aku juga nggak pernah nyangka bisa jatuh cinta sama sekretarisku sendiri yang sukanya nyolot kalau marah, tapi... di balik itu, hatinya selembut sutra.”

Zhavira terkekeh dalam pelukan itu.

**

Sementara itu, di kampung halaman Zhavira...

Ayunda Willson berdiri di halaman rumah sederhana dengan pagar kayu. Ia mengenakan daster batik dan sandal jepit, menikmati udara segar yang belum pernah ia hirup selama bertahun-tahun. Di sebelahnya, Bu Nuraeni sedang menjemur kain sambil mengobrol.

“Bu Nuraeni,” ujar Ayunda pelan, “terima kasih sudah ajak saya ke sini.”

“Ah, Bu Ayunda, ini rumah sendiri sekarang. Anggap aja rumah anak mantu.”

Ayunda tersenyum. “Saya lihat Zhavira itu kuat sekali. Dan saya ngerti sekarang kenapa Makes jatuh cinta sama dia.”

“Dan saya lihat Makes itu sebenarnya lembut. Meskipun terlihat dingin, tapi dia punya hati yang besar.”

Keduanya saling tersenyum, dan seperti dua ibu yang paham, mereka tahu bahwa kini masa depan anak-anak mereka akan dibentuk bersama oleh cinta, pengertian, dan restu tulus dari keluarga.

**

Malam harinya, Makes dan Zhavira duduk berdua di balkon apartemen, mereka memandangi gemerlap lampu kota.

Tanpa kata, Zhavira menyandarkan kepalanya di bahu Makes. Dan dengan tenang, pria itu berbisik,

“Setelah semua ini... kita bangun rumah ya, bukan cuma tempat tinggal. Tapi rumah... yang selalu ingin kita pulangin.”

Zhavira menatapnya dan mengangguk.

Karena kini, cinta mereka bukan lagi sekadar rasa—tapi rumah yang akan mereka bangun, selamanya

1
Kei Kurono
Wow, keren!
Nona_Written: ❤️❤️ terimakasih
total 1 replies
ladia120
Ceritanya keren, jangan sampai berhenti di sini ya thor!
Nona_Written: makasih, bantu vote ya 😘
total 1 replies
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!