NovelToon NovelToon
The Legend Of The Shadow Eater

The Legend Of The Shadow Eater

Status: sedang berlangsung
Genre:Horor / Misteri / Iblis / Kutukan / TKP / Hantu
Popularitas:541
Nilai: 5
Nama Author: Senara Rain

Bagi Lira, Yash adalah mimpi buruk. Lelaki itu menyimpan rahasia kelam tentang masa lalunya, tentang darah dan cinta yang pernah dihancurkan. Namun anehnya, semakin Lira menolak, semakin dekat Yash mendekat, seolah tak pernah memberi ruang untuk bernapas.
Yang tak Lira tahu, di dalam dirinya tersimpan cahaya—kunci gerbang antara manusia dan dunia roh. Dan Yash, pria yang ia benci sekaligus tak bisa dihindari, adalah satu-satunya yang mampu melindunginya… atau justru menghancurkannya sekali lagi.

Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Senara Rain, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri

2

Ratusan tahun lalu, pada malam panjang tanpa bulan, Lelepah datang ke Lematang. Satu demi satu warga desa ditemukan membujur kaku di jalan, di ladang, bahkan di ambang pintu rumah mereka. Tak ada teriakan, tak ada jejak perlawanan—hanya keheningan. Semua tanpa bayangan.

Hanya seorang gadis kecil yang selamat. Ia berlari menuju laut sebelum Lelepah menyentuhnya, dan hanyut entah ke mana. Sebelum hilang, ia meninggalkan satu pesan yang selalu dibisikkan turun-temurun:

> “Lelepah akan kembali… saat bayangan mulai bergerak tanpa tubuhnya.”

Sejak hari itu, pulau Lematang ditinggalkan. Namanya dihapus dari peta, rumah-rumahnya membusuk dimakan waktu. Tapi di antara tetua desa-desa pesisir, kisah Lelepah masih bergaung—bukan untuk menakut-nakuti anak-anak… melainkan untuk memperingatkan mereka yang berani menatap bayangannya terlalu lama.

 

Kai menutup buku bersampul kulit itu perlahan, debu tipis beterbangan dari tepinya. Sampulnya hitam, huruf-huruf emas di judulnya sudah pudar, tapi aroma kertas tua menguar kuat—campuran lembab dan garam laut, seolah buku itu sendiri pernah menginap di Pulau Lematang.

Ia membiarkan jemarinya mengusap permukaan sampul, lalu meletakkannya di meja kerja kecil di sudut apartemennya. Di layar laptop yang menyala redup, sederet berita terbaru terbuka: “Bunuh Diri Beruntun di Kota Pelabuhan”, “Korban Ditemukan Tanpa Bayangan”, “Polisi Masih Bungkam Soal Penyebab Kematian”.

Kai menggeser kursor, memperbesar salah satu foto TKP yang diunggah media. Seorang pria muda tergeletak di tengah jalan, mata menatap kosong langit yang kelabu. Tak ada bayangan di bawah tubuhnya, bahkan tiang listrik di sebelahnya memancarkan bayangan normal ke arah yang seharusnya… kecuali tubuh itu.

Jantung Kai berdetak sedikit lebih cepat. Ia meraih selembar foto tua dari tumpukan—gambar korban pembantaian di desa tepi laut puluhan tahun lalu. Posisinya, warna langitnya, bahkan tatapan kosong korban… nyaris identik.

“Lelepah…” gumamnya pelan, seolah memanggil nama yang seharusnya tetap terkubur di antara halaman-halaman usang.

Ia menutup laptop, menyelipkan foto-foto ke dalam map, dan meraih kamera yang tergantung di kursi. Besok ia harus menemui seseorang—satu-satunya orang yang mungkin bisa membuktikan ini bukan sekadar cerita rakyat. Lira.

Udara malam menggigit kulit. Lampu jalan memercikkan cahaya kuning pucat di trotoar yang masih basah sisa hujan. Beberapa mobil melintas di kejauhan, suara mesinnya bergema samar di antara deretan bangunan.

Lira mendorong pintu kaca kantor penyelidikan, langkahnya mantap tapi lelah. Jas kerjanya terlepas dari satu bahu, dan rambutnya sedikit berantakan setelah seharian penuh di lapangan. Ia baru saja ingin menekan tombol remote mobil ketika sebuah suara memanggilnya dari arah gerbang.

“Detektif Lira.”

Ia menoleh. Di bawah cahaya lampu jalan yang setengah redup, Kai berdiri bersandar pada tiang besi, kamera tergantung di lehernya. Tatapannya yang dulu pernah ia kenal baik—campuran rasa ingin tahu dan sedikit nakal—terlihat jelas meski separuh wajahnya tertutup bayangan.

Lira menarik napas, sudut bibirnya menegang. “Kalau soal wawancara, Kai, aku sedang tidak ada waktu.”

Kai melangkah keluar dari bayangan, senyum tipisnya muncul. “Kamu selalu bilang begitu kalau ingin menghindar dariku.” Nada suaranya ringan, tapi matanya fokus, penuh hitungan. “Aku dengar… kasus bunuh diri beruntun itu tak sepenuhnya murni bunuh diri, kan?”

Lira menatapnya datar. “Kami masih menyelidiki. Tolong jangan bikin berita fiksi.”

“Bayangan korban hilang, bukan?” ucap Kai, kali ini lebih pelan, seolah berbagi rahasia. “Bahkan benda mati pun punya bayangan… bagaimana manusia tidak?”

Lira merasakan tarikan di dadanya—campuran antara rasa kesal dan penasaran. “Aku tidak tahu dari mana kamu dapat informasi itu.”

Kai mendekat setengah langkah. Bau kopi dingin dan parfum kayu yang dulu akrab menusuk hidungnya. “Apa kamu pernah dengar nama… Lelepah?”

Lira menyipitkan mata. “Lelepah?”

Kai melirik mobil lira tangannya dimasukkan ke saku jaket. “Kita bicara di dalam mobil,” katanya, suara rendah namun tegas.

Dengan helaan nafas lira berjalan lebih dulu ke arah mobilnya. Kai mengikuti di belakang dan ikut masuk kedalam mobil. Kemudian Lira menoleh meminta penjelasan pada Kai.

Kai menarik napas. “Lelepah adalah makhluk dalam cerita rakyat tua. Pemakan bayangan. Mereka menelan sisa hidup manusia lewat bayangannya… lalu meninggalkan tubuh kosong. Aku sudah mencari tahu beberapa bulan terakhir. Dan kasusmu sekarang—” ia menatap Lira lurus-lurus, “punya pola yang sama.”

Lira mendecak pelan, memalingkan wajah ke jendela. “Omong kosong apa ini? Kau jurnalis atau penulis novel horor?”

Tidak tersinggung, Kai justru merogoh tas selempangnya. Ia mengeluarkan beberapa lembar foto kusam, tepiannya sobek, warnanya menguning. “Kau tahu Pulau Lematang? Pulau terpencil di timur, bahkan jarang muncul di peta. Dulu pernah ada kematian massal di sana. Semua korban ditemukan tanpa bayangan, bahkan batu nisan mereka pun tak berbayang di bawah matahari. Warga menyebut pelakunya Lelepah.”

Lira menerima foto-foto itu dengan gerakan enggan. Matanya menelusuri gambar: tubuh-tubuh terbujur kaku di tanah terbuka, wajah pucat, mata kosong menatap langit. Di bawah sinar matahari, tanah di sekitar mereka tak menunjukkan bayangan sedikit pun—seolah mereka melayang, atau dunia di bawah mereka terpotong.

Jari Lira menegang di tepi foto. Kilasan kejadian semalam menyeruak di kepalanya—di jembatan, sosok pria berjas hitam itu berjalan pergi, dan bayangannya… bergerak seperti cairan, merayap berlawanan arah dari tubuhnya.

Ia mengembalikan foto itu tanpa banyak bicara, mencoba menutup rapat ekspresi wajahnya. “Aku tidak bisa menangkap pelaku hanya dengan dongeng.”

Kai tersenyum tipis, seolah sudah tahu itu akan menjadi jawabannya. “Tentu saja kau tak akan langsung percaya. Tapi kalau kau penasaran…” Ia menyalakan lampu dalam mobil sebentar, membuat matanya terlihat jelas—serius, tanpa gurauan. “Besok pagi-pagi sekali aku akan berangkat ke sana. Aku tunggu di pelabuhan sampai jam enam pagi.”

Lira menatapnya lama. Ada banyak alasan untuk mengabaikan tawaran itu—prosedur, logika, harga dirinya sebagai penyelidik. Tapi bayangan yang bergerak salah itu kembali mengusik pikirannya, seperti bisikan yang tak mau diam.

Ia mengalihkan pandangan, “Jangan berharap terlalu banyak.”

Namun Kai tahu, nada suaranya bukan penolakan. Kai membuka pintu mobil dan meninggalkan Lira.

 

Menjelang subuh, langit masih setengah pekat dengan semburat biru pucat di ujung timur. Udara dingin menusuk kulit, membawa aroma asin laut yang samar. Kai berdiri di depan cermin kecil di penginapan murah, menyampirkan tas kamera di pundak kiri dan mengangkat ransel hitamnya ke punggung.

Ia memastikan kamera tergantung aman, lalu meraih jaketnya. Setelah menarik napas panjang, ia memesan ojek online lewat ponselnya.

Motor yang menjemputnya melaju membelah jalanan kota yang masih lengang, lampu-lampu jalan bergoyang tertiup angin dini hari. Deru mesin motor bercampur suara ombak dari kejauhan. Saat sampai di pelabuhan, waktu menunjukkan pukul 05.55.

Kai melangkah ke dermaga, papan kayu tua di bawah kakinya berderit setiap kali ia menapak. Ia berhenti di sisi sebuah kapal kayu berwarna biru kusam yang siap berlayar. Tali-tali tambatannya terikat longgar, berkibar pelan oleh ombak kecil.

Ia menunggu sambil menatap air laut yang berkilau redup, sesekali menoleh ke arah pintu gerbang pelabuhan.

Jarum jamnya menunjuk tepat pukul 06.00 ketika suara serak seorang nelayan memecah kesunyian.

“Mas, jadi ikut nggak?” tanya pria paruh baya itu, kulitnya legam, rambutnya sudah dipenuhi uban, sarungnya terikat di pinggang.

Kai mengangkat tangan. “Sebentar, Pak. Beri saya waktu lima menit.”

Tak lama kemudian, suara langkah kaki terdengar dari ujung dermaga. Dari balik kabut tipis dan cahaya pagi yang redup, Lira muncul. Jaket kulit hitamnya tertutup rapat, kedua tangan terselip di saku, ransel hitam tergantung di punggungnya. Wajahnya dingin, matanya hanya menatap lurus ke arah kapal.

Kai tersenyum tipis. “Akhirnya. Satu tahun bersama cukup membuatku mengenalmu.”

“Tutup mulutmu,” ucap Lira singkat, tanpa melambatkan langkah.

Ia langsung menaiki papan sempit menuju kapal, tubuhnya bergerak luwes seolah sudah terbiasa dengan dermaga licin. Kai mengikuti dari belakang, menyadari aroma parfum Lira yang samar tertiup angin laut.

Begitu kaki mereka menapak di geladak, nelayan tadi mulai melepas tali tambatan. Mesin kapal tua itu menggeram pelan, menghasilkan getaran halus di papan geladak.

Kai duduk di bangku panjang dekat sisi kapal, sementara Lira memilih berdiri di dekat pagar, matanya menatap ke laut yang mulai membelah kabut.

 

Langit siang itu cerah, biru muda dengan semburat keemasan di tepiannya. Laut berkilau memantulkan cahaya matahari, dan dari jauh Pulau Lematang terlihat seperti surga tropis—garis pantainya memanjang dengan pasir putih, pepohonan kelapa bergoyang perlahan, dan beberapa atap rumah kayu mencuat di antara rimbunnya dedaunan.

Lira berdiri di sisi kapal, memandang siluet pulau yang semakin jelas. Semuanya tampak… normal. Bahkan, samar-samar ia mendengar tawa anak-anak bercampur bunyi ayam berkokok yang terbawa angin.

Namun semakin dekat, sesuatu berubah. Langit yang tadi cerah perlahan meredup, seperti warna-warnanya tersedot keluar. Ombak mengecil, tapi bukan karena angin mereda—lebih seperti laut itu sendiri sedang menahan napas.

Udara di sekitarnya mulai berat, dingin merayap pelan di kulit, lalu menyusup ke tulang. Lira menyipitkan mata. Dari jarak ini, ia bisa melihat bayangan pepohonan di tepi hutan… bergeser pelan, meski batangnya sama sekali tidak bergerak.

Kai, yang berdiri tak jauh sambil mengangkat kamera, memperhatikan raut wajah Lira. Ia menurunkan kameranya lalu berbisik pelan, suaranya nyaris tenggelam oleh bunyi mesin kapal.

“Jangan bilang kalau kamu polisi. Kita cuma fotografer, tak lebih. Jangan menarik perhatian… penduduk di sini masih banyak yang primitif.”

Lira menoleh sekilas, tatapannya singkat namun penuh arti. Ia mengangguk pelan.

“Ayo,” ucap Kai, matanya tak lepas dari dermaga kayu yang mulai tampak di depan.

Kapal perlahan merapat, dan bau asin bercampur aroma tanah basah menyambut mereka. Dari jauh, beberapa sosok berdiri di tepi dermaga—tak bergerak, hanya menatap. Mata mereka gelap, seperti tak memantulkan cahaya.

Begitu kaki Lira menjejak papan dermaga, ia merasa seolah tatapan-tatapan itu menembus kulitnya, mencari sesuatu yang tersembunyi. Angin laut berhembus, namun anehnya, suara ombak terdengar jauh… terlalu jauh.

Kai mengangkat kameranya, pura-pura memotret pemandangan. “Ingat,” bisiknya, “senyum saja… meski mereka tidak.”

Di ujung dermaga, seorang pria tua dengan wajah keriput menunggu. Tangannya menggenggam tongkat kayu, dan di lehernya tergantung kalung dari gigi-gigi hewan. Senyumnya tipis, tapi matanya… sama seperti yang lain, hitam dan dalam.

Misteri pulau ini baru saja mulai membuka pintu, dan mereka berdua sudah berdiri di ambangnya.

1
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!