NovelToon NovelToon
Sang Pianis Hujan

Sang Pianis Hujan

Status: tamat
Genre:Cintapertama / Teen School/College / Diam-Diam Cinta / Enemy to Lovers / Rebirth For Love / Idola sekolah / Tamat
Popularitas:511
Nilai: 5
Nama Author: Miss Anonimity

Namanya Freyanashifa Arunika, gadis SMA yang cerdas namun rapuh secara emosional. Ia sering duduk di dekat jendela kafe tua, mendengarkan seorang pianis jalanan bermain sambil hujan turun. Di setiap senja yang basah, Freya akan duduk sendirian di pojok kafe, menatap ke luar jendela. Di seberang jalan, seorang pianis tua bermain di bawah payung. Jemari hujan menari di kaca, menekan window seolah ikut bermain dalam melodi.

Freya jatuh cinta pada seorang pemuda bernama Shani-seseorang yang tampak dewasa, tenang, dan selalu penuh pengertian. Namun, perasaan itu tak berjalan mulus. Shani tiba-tiba ingin mengakhiri hubungan mereka.

Freya mengalami momen emosional saat kembali ke kafe itu. Hujan kembali turun, dan pianis tua memainkan lagu yang pelan, seperti Chopin-sebuah lagu perpisahan yang seolah menelanjangi luka hatinya.

Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Miss Anonimity, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri

Chapter 4 : Pertemuan, Toko Musik Yang Menjadi Saksi

Suara kendaraan terdengar di kejauhan, bersatu dengan riuhnya para murid yang memenuhi trotoar di depan gerbang sekolah. Di tengah keramaian itu, dua gadis berjalan berdampingan, masing-masing membawa tas ransel yang tampak berat. "Aku heran deh, kenapa ya tiap kali aku bilang nggak suka matematika, pasti ada aja orang yang jawab, 'Matematika itu seni.' Seni dari mana coba?" keluh Azizi sambil menyeruput minuman dingin dari gelas plastik yang dibelinya di kantin tadi.

Freya tersenyum tipis. "Karena di dalam rumus itu ada simetri, keseimbangan, dan logika yang bisa mengajarkan kita cara berpikir... bukan cuma untuk menghitung, tapi untuk memahami."

Azizi menoleh cepat. "Oke, wow. Kamu habis baca Paulo Coelho atau baru aja ketempelan Pak Keenan, Fre?"

"Tidak juga," jawab Freya ringan, "Tapi kadang... angka pun bisa berbicara. Mereka bicara dalam keheningan yang hanya bisa kita dengar kalau kita benar-benar mendengarkan."

Azizi terdiam sebentar. Ada sesuatu dari kalimat itu yang membuatnya berpikir lebih dalam. Tapi tentu saja, ia tidak menunjukkannya. Ia memilih menenggak minumannya lebih cepat dan berkata, "Terserah kamu deh, Pengagum rahasia."

Mereka berjalan menyusuri trotoar yang mengarah ke toko buku langganan. Di sepanjang jalan, Freya tetap menyimpan senyum kecil itu. Bukan karena lelucon Azizi, tapi karena satu adegan sederhana di lapangan basket tadi masih terpatri jelas dalam benaknya. Cara Shani menatap bola, cara tubuhnya menyatu dengan gerak.

'Mungkin' pikir Freya, 'hidup ini seperti pertandingan. Penuh strategi, penuh kegagalan, penuh keberanian untuk mencoba lemparan yang tak pasti. Tapi pada akhirnya, kita hanya perlu satu momentum. Satu tembakan bersih ke dalam ring takdir'.

Toko buku itu berdiri tenang di ujung jalan. Jendela kacanya memantulkan cahaya senja, sementara pintu kayunya yang sudah agak usang tetap menyambut siapa saja yang ingin masuk. Lonceng kecil berdenting saat Azizi mendorong pintu.

"Selamat datang," sapa pemilik toko, seorang wanita paruh baya dengan kacamata tebal dan senyum hangat.

Azizi langsung meluncur ke rak bagian belakang untuk mencari novel terbaru, sementara Freya melangkah perlahan, menyusuri lorong-lorong sempit yang dipenuhi buku-buku tua. Bau kertas dan tinta menyergap hidungnya, aroma nostalgia yang menenangkan. Ia menelusuri judul-judul di rak, filsafat, psikologi, dan sastra klasik. Satu buku kecil dengan sampul merah hati menarik perhatiannya. Judulnya sederhana, 'Tentang Hal-Hal yang Tidak Pernah Kita Katakan.' Freya mengambilnya perlahan dan membuka halaman pertama. Isinya kumpulan catatan pendek—semacam jurnal perenungan. Ia membaca satu kutipan yang membuat langkahnya terhenti:  "Ada kalimat yang tak pernah kita ucapkan, bukan karena tak penting, tapi karena kita belum punya keberanian untuk menyampaikannya. Padahal mungkin, di ujung keberanian itulah kebahagiaan kita menunggu". Freya menarik napas dalam. Matanya terpejam sesaat. Ada sesuatu dalam dirinya yang tersentuh. Ia tahu bahwa satu kalimat itu... seolah bicara langsung kepadanya. Kepada rasa yang ia simpan diam-diam selama ini. Kepada Shani—nama yang ia sembunyikan dalam lirik, dalam doa, dan dalam mimpi.

"Fre... ayo, udah dapat," panggil Azizi dari kasir.

Freya memeluk buku itu, membawanya ikut serta. "Aku juga sudah dapat," ucapnya pelan.

Saat hendak pulang, Freya tiba-tiba teringat sesuatu. Ia menghentikan langkahnya dan menoleh ke samping.

"Zee, duluan aja ya. Aku harus ke toko alat musik dulu," ucap Freya.

"Mau ngapain ke toko alat musik?" tanya Azizi, sedikit heran.

"Kamu lupa kalau Bu Veranda menyuruh semua murid membawa alat musik untuk pelajarannya besok?"

Azizi mengerutkan dahi. "Bukannya kamu udah punya gitar di rumah?"

"Gitarku dibawa pulang sepupuku, waktu dia berkunjung," balas Freya, nada suaranya ringan, tapi matanya menunjukkan sedikit kekesalan.

Azizi mengangguk pelan. "Oh... yaudah. Aku temenin, ya."

Freya cepat-cepat menolak. "Nggak usah. Nanti orang tuamu marah. Nggak ingat gimana galaknya Mamah kamu, waktu kamu pulang telat gara-gara keasyikan di warnet?"

Azizi terdiam sesaat, lalu menghela napas panjang. Ia masih ingat betul suara ibunya yang cempreng—tegas, dan tajam. Azizi bahkan tidak berani lagi membayangkan apa sudah ia lalui waktu itu. "Yaudah, aku pulang duluan. Kamu hati-hati, ya."

Azizi melambaikan tangan dengan senyum kecil, lalu berbalik dan berjalan pergi.

Freya menatap punggung sahabatnya itu hingga menghilang di tikungan. Lalu ia melanjutkan langkahnya, sendirian, menyusuri jalan yang kini mulai diselimuti warna jingga senja. Ada ketenangan yang aneh dalam kesendirian. Seolah dunia sedang memberi ruang baginya untuk berpikir, untuk meresapi hal-hal yang kerap terlewat di tengah kebisingan sehari-hari. Pada saat seperti ini, Freya menjadi teringat dengan kutipan yang pernah dia tulis, dikala gabutnya. 'Mungkin begini rasanya menjadi nada yang lepas dari barisan melodi—sendiri, tapi bebas. Tak selalu harus ditemani untuk merasa utuh. Kadang justru dalam sunyi, kita bisa benar-benar mendengar suara hati kita sendiri'.

Langkah Freya terus berlanjut. Di benaknya, sudah terbayang deretan alat musik yang menggantung rapi di toko langganannya—senar gitar yang berkilau, dentingan piano yang menyambut pelan, dan suara denting lonceng pintu toko yang sebentar lagi akan ia dengar. Sebuah tempat sederhana, yang membuatnya selalu ingin kembali lagi dan lagi.

...***...

Toko alat musik itu berdiri tenang di antara deretan bangunan yang mulai senyap ditelan senja. Plang kayu dengan tulisan 'Lestari's tone' menggantung sedikit miring di atas pintu kaca, yang dipenuhi stiker-stiker kecil bergambar not balok dan siluet gitar. Cahaya keemasan dari dalam toko membentuk semburat hangat di trotoar.

Freya mendorong pintu perlahan. Lonceng kecil di atasnya berdenting nyaring, sudah menjadi sebuah sapaan yang lembut.

"Ada yang bisa saya bantu?" suara ramah menyambut dari balik etalase kaca, tempat biola dan harmonika disusun rapi. Pemilik toko, pria tua dengan rambut memutih dan kemeja flanel yang digulung hingga siku, menatap Freya dengan sorot mata teduh.

Freya mengangguk pelan. "Aku... mencari gitar akustik. Yang sederhana saja."

Si pemilik toko tersenyum dan menunjuk ke arah rak paling kanan, di mana beberapa gitar bergelantungan. "Silakan lihat-lihat dulu. Ambil waktu sebanyak yang kamu butuhkan. Gitar yang cocok itu... seperti sahabat. Bukan yang paling mahal, tapi yang paling bisa mendengarkan."

Freya melangkah perlahan ke arah rak itu. Deretan gitar berbaris rapi. Ia memandangi masing-masing, mengamati warna kayunya, bentuk lekukannya, bahkan senar yang terentang rapi. Tangannya berhenti pada satu gitar berwarna cokelat muda dengan goresan halus di permukaannya. Tak sempurna, tapi justru itu yang membuatnya terasa hidup. Freya duduk di bangku kecil yang disediakan di pojok toko, lalu mencoba memetik senar satu per satu. Suaranya jernih, hangat, dan tidak terburu-buru.

Freya memejamkan mata. Ujung jarinya menari perlahan di atas senar. Bibir tipis Freya mulai terangkat membentuk senyum kecil. Ia mulai menyanyikan sebuah lagu.

Shani, Shani~

Jantungku berdebar tiap kuingat padamu~

Shani, Shani~

Mengapa ada yang kurang saat kau tak ada~

Shani, Shani~

Melihatmu, menyentuhmu, itu yang kumau~

Kau tak sempat tanyakan aku

Cintakah aku padamu~

Tiap kali aku berlutut, aku berdoa

Suatu saat kau bisa cinta padaku

Tiap kali aku memanggil di dalam hati~

Mana Shani, mana Shani-ku~

Mana Shani-ku~

Di pojok ruangan, pria tua pemilik toko terpaku. Namun bukan karena keindahan suara Freya. Bukan pula karena harmonisasi petikan gitarnya. Yang membuat pria tua itu terpesona adalah penghayatannya—cara nada dan lirik itu menyatu, mengalir dari hati tanpa dipaksa. Lagu itu bukan sekadar lagu. Ia seperti surat yang tak pernah dikirim, doa yang tak pernah disampaikan. Nada-nada yang berbicara melebihi kata-kata.

Di tengah ketenangan itu, denting kecil terdengar lagi dari arah pintu.

Lonceng di atasnya berdenting ringan. Seorang pemuda masuk.

Pemilik toko langsung menoleh, lalu menyambut dengan ramah seperti biasa.

"Ada yang bisa saya bantu?" tanyanya.

"Aku... mencari sebuah biola," jawab pemuda itu perlahan.

Namun langkah dan pandangannya segera terhenti. Telinganya menangkap suara lembut yang masih mengalun dari sudut ruangan. Ia menoleh. Dan di sana, ia melihatnya—seorang gadis duduk memeluk gitar, mata terpejam, larut dalam dunia yang ia ciptakan sendiri. Pemuda itu mengenali gadis tersebut. Mereka satu sekolah, walau tidak sekelas. Ia tau kalau gadis itu sering memperhatikannya dalam diam. Dan terakhir, ia juga tau kalau gadis itu memperhatikannya dari lantai dua, saat ia sedang bermain basket. Dan sekarang, lagu yang di mainkan gadis itu, seperti tertuju padanya.

Shani, Shani~

Apa kabarmu? Kabarku baik-baik saja~

Shani, Shani~

Begitu banyak cerita, tak habis tentangmu~

Shani, Shani~

Salamku untukmu dari hati yang terdalam~

Kau tak sempat tanyakan aku

Cintakah aku padamu~

Tiap kali aku berlutut, aku berdoa

Suatu saat kau bisa cinta padaku

Tiap kali aku memanggil di dalam hati~

Mana Shani, mana Shani-ku~

Tiap kali aku berlutut, aku berdoa

Mana Shani, mana Shani-ku~

Shani-ku~

Lagu itu usai. Tapi gema suaranya masih menggantung. Senar gitar perlahan berhenti bergetar, dan hanya keheningan yang tersisa.

Pemuda itu tanpa sadar berjalan mendekat. "Suara dan permainan gitarmu sangat indah. Tidak heran anak-anak di sekolah menjulukimu sebagai 'Peri Musik'," ucap pemuda itu, suaranya berat tapi berwibawa.

Freya tersentak pelan. Ia segera mendongak. Matanya membulat, membeku di tempat. Ia tidak percaya—sosok yang selama ini hanya berani ia perhatikan dari kejauhan, kini berdiri di depannya, dan berbicara padanya. "Shani?" ucapnya nyaris tak bersuara. Dan dalam sekejap, dunia terasa berhenti. Waktu tak bergerak. Seolah semesta tahu, bahwa ada dua jiwa yang akhirnya saling bersitatap, setelah begitu lama hanya saling menduga dari kejauhan.

1
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!