NovelToon NovelToon
MONOLOG

MONOLOG

Status: sedang berlangsung
Genre:Cintapertama / Nikahmuda
Popularitas:436
Nilai: 5
Nama Author: Ann Rhea

Kenziro & Lyodra pikir menikah itu gampang. Ternyata, setelah cincin terpasang, drama ekonomi, selisih paham, dan kebiasaan aneh satu sama lain jadi bumbu sehari-hari.

Tapi hidup mereka tak cuma soal rebut dompet dan tisu. Ada sahabat misterius yang suka bikin kacau, rahasia masa lalu yang tiba-tiba muncul, dan sedikit gangguan horor yang bikin rumah tangga mereka makin absurd.

Di tengah tawa, tangis, dan ketegangan yang hampir menyeramkan, mereka harus belajar satu hal kalau cinta itu kadang harus diuji, dirombak, dan… dijalani lagi. Tapi dengan kompak mereka bisa melewatinya. Namun, apakah cinta aja cukup buat bertahan? Sementara, perasaan itu mulai terkikis oleh waktu.

Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Ann Rhea, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri

Hubungan Macam Apa Ini

Suara omelan Romeo dianggap radio butut sama Rania. Dia masih asik tidur tak peduli banyak suara mesin pembersih ruangan. Dari alat pel otomatis dan petugas kebersihan suruhan Romeo yang tengah menyikat toilet juga mengelap seluruh furniture di ruangan.

Pria itu sudah geram, awalnya ia ingin menunggu sebentar tapi ternyata wanita itu tidak kunjung bangun. Jadi ya dia membawa mangkuk lalu menyiram wajahnya sampai basah kuyup.

"Sudah waktunya jadwal kamu berobat, kamu mau sembuh kan dari penyakit menular itu?"

Rania menggeram kesal, ia langsung menonjok paha Romeo. "Bawel banget sih jadi orang? Ini hidup gue terserah gue."

"Tapi katanya kamu mau tidur sama saya."

"Sekarang gak mau."

"Tapi nanti?" Romeo pun mencubit jempol kaki Rania agar dia bangun. "Ayo bangun Rania, pergi ke rumah sakit. Obatin isi otak kamu jangan gitu terus. Gimana kamu bisa pantas bersanding sama saya kalo diri kamu saja seperti ini? Ibu saya membenci orang pemalas tau."

Rania pun menguap sangat lebar dia menggaruk kepalanya yang gatal lalu rebahan lagi, tapi keburu di gendong dan diceburkan ke bathup. Romeo menyalakan shower dan menyemprot wajahnya dengan air agar membuka mata.

"Mandi sendiri atau saya suruh pemandi janazah mandiin kamu?"

Mungkin dulu saat awal-awal Rania mau menjadi feminim dan berkelas tapi makin kesini setelah tahu dirinya hanya sebatas nikah siri, disembunyikan bahkan jadi rahasia. Sekedar status dan selebihnya ia kembali rugi. Jadinya makin malas juga melelahkan hidup di relasi yang menjaga citra nya di depan publik.

Romeo tahu apa yang Rania derita, dia menekannya untuk berobat sampai sembuh. Mengonsumsi setiap pil pahit itu agar katanya dirinya kembali waras.

"Rania, sudah berapa hari kamu gak minum pil?" teriaknya lagi dari luar. Saat menemukan botol pilnya masih banyak sejak terakhir ia mengeceknya.

"Kamu nanya?" sahutnya dari dalam toilet.

Romeo kelewat gedek, dia berasa ngerawat orang berkebutuhan khusus. Tapi emang sih, dia kan orang dalam gangguan jiwa. Yang sebenarnya menunjukkan kestabilan emosi, tapi jadi pemalas. Dan sudah beberapa bulan dia juga mogok ke dokter. Makanya jadi gitu.

"Rania, cepat mandinya. Saya udah jadwalkan kamu, lagian saya juga masih punya urusan lain selesain mengurus manusia menyusahkan sepertimu!"

Tak lama Rania keluar, dia pun malah duduk main handphone sampe benda itu direbut oleh Romeo.

"Pakai pakaian yang bagus, sopan, jangan yang asal pasang."

Rania berdiri, memakai pakaian pun rasanya males. Dia nyari baju yang gampang dipakai, gak gerah. Cuman pakai celana panjang dan kaos. Lalu mengeringkan rambutnya dan mengoleskan pelembab bibir. "Udah."

"Celana warna biru tua terus kamu pakai baju merah menyala? Astaga Rania!" Romeo menepuk dahinya dan menggeram kesal. "Kamu lebih cocok disebut orang idiot dari pada saya. Ganti, pakai yang lebih bagus. Saya kan sering ngasih kamu pakaian yang baik. Kenapa malah kayak gembel."

Rania menghela napas panjang sepanjang perjalanan kereta, matanya setengah terpejam. Ia langsung menanggalkan kaosnya tanpa basa-basi, menggantinya dengan blouse putih lengan panjang. Celana jeans juga ikut ia selipkan seadanya.

"Udah, gue udah seger," gumamnya sambil mengacak rambutnya.

"Mobil yang akan mengantarmu sudah siap di bawah," Romeo terdengar hampir menyeringai di ujung telepon.

"Lo gak nemenin gue?" Rania menyahut malas, menaruh tasnya di bahu sambil menatap langit-langit kamar.

"Saya ada rapat," jawab Romeo datar, nada suaranya seperti orang yang hampir kehilangan kesabaran.

"Rapat lagi? Yaudah, gue gak mau," Rania membentak setengah menggerutu, menekuk tubuh ke depan.

"Rania…" Romeo menekankan namanya, suaranya semakin berat.

"Gue gak mau ke dokter kalau gak ditemenin sama lo," Rania menimpali, suaranya sengaja meledek.

"Saya buru-buru, udah telat. Lyodra pasti sudah nungguin saya," Romeo terdengar mulai tersulut emosi, jari-jarinya mengetuk meja telepon.

Rania mengerutkan dahi malas. "Lyodra? Dia lagi?" Suaranya tipis tapi menusuk, menunggu reaksi Romeo.

"Dia PA saya, gak lebih. Saya—" Romeo mulai menjelaskan dengan suara tegang.

"Gue gak mau denger apapun. Maksud lo lindungin gue itu sebenernya kenapa? Cuma karena hartanya Kev atau apa?" Rania menyela sambil menaruh dagu di tangan, menatapnya datar, jelas-jelas tak sabar.

"Saya rasa tidak perlu mengulang hal yang sudah sering dijelaskan. Itu sudah cukup, kan?" Romeo mencoba menahan nada gedegnya, menahan napas panjang.

Rania menatapnya dengan sorot mata malas tapi menantang. "Sejauh ini… lo cinta gak sama gue? Atau punya perasaan sama gue maybe, sayang?"

Romeo memijat pelipisnya keras, seolah seluruh kesabarannya habis tersedot. "Pergi sekarang, Rania. Kamu harus waras. Dan ingat… kamu harus membayar mahal kepada saya, yang sudah membantu menghapus jejak kematian Kev."

Rania menatap layar handphonenya, setengah malas, setengah kesal. "Ah, lebay banget lo, Romeo. Gue waras kok, gak usah ngomelin gue terus."

Romeo menahan napas, jari-jarinya mengepal. "Saya gak ngomel, saya… cuma ngingetin. Jangan bikin saya kehilangan kesabaran."

Rania mengangkat bahu, pura-pura santai sambil duduk di sofa. "Yah, tiap gue kemana-mana lo selalu ngejar gue, ngekontrol gue. Cape deh. Gimana kalau gue sendiri aja bisa urus diri gue?"

"Sendiri? Rania, kamu beneran gak ngerti bahaya yang mengintai kamu. Saya udah bantu kamu… semuanya! Ngurus rumah aja gak bisa gimana mau ngurus diri kamu sendiri." Romeo suaranya mulai meninggi, sedikit bergetar karena kesal.

"Yaudah, bantu lo bantu. Tapi jangan lebay, gue juga bukan anak kecil lagi!" Rania membentak, tangan menepuk sofa. Matanya menatap tajam, penuh amarah tapi juga setengah bercanda.

Romeo mendekat, tubuh tegap menahan emosinya. "Saya gak lebay! Saya cuma… saya nggak mau kamu jadi korban, Rania! Saya yang harus tanggung jawab sekarang, kamu ngerti gak?"

Rania menepuk jidatnya sendiri, terengah. "Gue ngerti lah! Tapi lo juga harus ngerti… gue cape, Romeo. Cape sama semua ini. Lo pikir gue seneng terus-terusan diikutin kayak anak TK?"

Romeo menarik napas panjang, menatapnya dengan mata yang hampir menembus. "Rania… saya serius. Jangan sampe kamu salah langkah, saya nggak bakal bisa nolong lagi kalo ada apa-apa."

Rania mendesis, menoleh menjauh sambil bersandar di sofa. "Hadeh, gue cuma mau ke dokter doang. Gak usah bikin drama kayak film action!"

Romeo menegakkan badan, suaranya menurun jadi dingin tapi tegas. "Drama? Ini nyawa kamu, Rania. Jangan sampe saya bilang lagi, saya bener-bener nggak mau ambil risiko. Kamu harus ikutin saya, ngerti?"

Rania mengangkat bahu, setengah kesal setengah menyerah. "Yaudah, yaudah… tapi nanti lo jangan sok ngatur terus!"

Romeo menatapnya sejenak, napasnya masih berat, tapi mata itu… penuh peringatan. "Nggak janji. Selama kamu masih ada di situasi ini… saya nggak bakal diam."

Begitu sampai di pintu, Rania menempel erat di lengan Romeo, mengangkat dagunya ke bahunya. "Jangan ninggalin gue, oke?" bisiknya manja.

Romeo menghela napas panjang, mencoba melepaskan genggaman tangannya yang menempel. "Rania, lepasin saya sebentar, saya mau buka pintu."

"Gamau!" Rania menolak, tangannya semakin erat melingkar di lengannya. "Gue takut, Romeo… gue nggak mau sendirian."

Romeo menggeram pelan, tubuhnya menegang karena kesal tapi juga setengah gemas. Ia mencoba mendorong tubuh Rania pelan ke samping, tapi Rania tetap menempel. "Rania… kamu berat, saya nggak bisa gini terus!"

Rania mendesah manja, menempelkan kepalanya ke dada Romeo. "Tolong… jangan tinggalin gue."

Romeo menatapnya frustrasi, mencondongkan tubuh untuk menyesuaikan posisi agar bisa membuka pintu. Ia akhirnya menggerakkan tangan Rania dengan lembut tapi tegas. "Dengerin saya, sebentar aja. Saya di sini kok, tapi lepaskan genggaman itu, biar saya bisa buka pintu."

Rania mengerutkan alisnya, ragu-ragu sejenak sebelum melepaskan sedikit genggaman. Matanya menatap Romeo penuh rasa takut tapi tetap clingy. "Hati-hati ya…"

Romeo menghela napas panjang, membuka pintu dengan satu tangan sambil menatap Rania yang masih menempel di lengannya. "Oke, ayo keluar. Tapi jangan nempel terus, nanti saya kesal beneran," ucapnya sambil setengah tersenyum, menahan gedeg.

Rania tetap menempel sedikit, menggandeng lengannya. "Gue cuma mau deket sama lo… itu aja," gumamnya lirih, tapi matanya penuh kepercayaan.

Romeo menggeleng, setengah frustasi, setengah lucu. "Hadeh… Rania ini emang nggak bisa jauh dari saya ya."

Seketika Romeo sadar. "Apa sebenarnya kamu mau bunuh saya?"

--✿✿✿--

"Kamu gak malu, Ken?" tanya Merin dengan nada julit, lipatan tangannya menegaskan sikapnya. Ia menatap rumah baru yang disewa anaknya seolah ingin menembus ke dalam Kenziro. "Masih cari kerja, gak ada pemasukan sama sekali. Sementara anak saya banting tulang ngurus kamu mati-matian. Gak ada sedikitpun inisiatif buat kerja?"

Kenziro menelan ludah, dadanya sesak. "Lyodra aja… gak mempermasalahkan kenapa Mama ikut campur banget sih?" suaranya bergetar, tapi tetap mencoba terdengar tegas.

Merin mengangkat dagu, tatapannya menusuk. "Berani kamu melawan Mama? Punya apa kamu sampai berani menentang saya?"

Sakit menusuk di dada Kenziro. Kata-kata itu membuat hatinya seolah dirobek perlahan. "Maaf, Ma… tapi Mama udah kelewatan telah mengolok-olok harga diri saya."

Merin tertawa, dingin dan mengejek. "Tersinggung kamu? Itukan fakta. Santai aja harusnya, sadar diri," bisiknya, nada penuh ejekan yang menusuk.

Kenziro menunduk, menahan pedih yang terasa menekan di dada. "Mama juga ngerasa kalo Lyly mulai punya ketertarikan sama pria lain. Yang lebih mapan, baik, tekun, dan tampan… daripada saya. Tampang pas-pasan, gak ada duitnya, apalagi punya warisan. Jujur sama Mama… saya cuman dimanfaatin kan?"

Jantungnya berdebar kencang, tangan mengepal tak sadar. Hatinya panas dan sakit, setiap kata seperti pisau yang menembus. "Engga! Saya cinta dan menyayangi Lyodra sepenuh hati," jawabnya serak, tapi suara hatinya terasa tak terdengar.

"Tapi buktinya masih nganggur. Pekerjaan itu harga diri pria. Itu artinya kamu gak punya itu semua."

Kenziro menunduk lebih dalam, dadanya sesak, mata mulai basah. Ia merasa lemah, terhina, dan tak berdaya. Setiap kata ibunya memukulnya lebih keras dari yang ia bayangkan. Rasa rendah diri dan frustrasi menumpuk, membuatnya hampir tak bisa menahan emosi.

Tanpa berkata apa-apa lagi, Kenziro melengos pergi. Jalanan terasa berat di setiap langkahnya. Begitu Nadeo menawarinya pergi ke klub, Kenziro langsung mengiyakan karena ia butuh melarikan diri, menenggelamkan sakitnya dalam minuman, bahkan jika harus menenggak dosis tinggi untuk meredakan luka di hatinya.

Nadeo iba, tapi mau membantu pun terasa sulit. Larut malam, Kenziro masih belum mau pulang. Akhirnya Nadeo mengantarnya sampai rumah, tubuh Kenziro masih sempoyongan.

Begitu pintu terbuka, Lyodra langsung menatapnya dengan mata membesar, panik. "Ken… kamu kenapa?" suaranya setengah berteriak, setengah menangis.

"Dia mabuk, Ly. Gue taro di kursi dulu ya," kata Nadeo lembut, mencoba menenangkan situasi.

Lyodra mengangguk, namun kepanikannya belum mereda. Setelah Nadeo pergi, ia mengunci pintu dan duduk di samping Kenziro. "Aku pulang telat hari ini, sayang. Aku kira kamu udah nungguin aku… ternyata malah kayak gini," suaranya lirih, menyayat hati.

Tak lama kemudian, Kenziro muntah ke lantai.

Lyodra menggeram kesal, tapi air matanya menahan sakit hatinya. "Ken! Tuhkan… kamu kenapa sih? Bukannya diem di rumah tunggu aku pulang, malah kayak gini. Jangan-jangan kamu… minum obat?"

"Diem!" seru Kenziro dengan suara berat. "Nyokap lo tuh mulutnya gak pernah di sekolahin!"

Tubuhnya goyah, dan ia berjalan sempoyongan ke pintu keluar.

"Ken, kamu mau kemana?" Lyodra mengejarnya, suaranya tercampur khawatir dan panik. "Kamu lagi kondisi kayak gini… mending istirahat aja!"

"Balik ke rumah nyokap gue," jawabnya ketus, seraya mencoba membuka kunci yang tak kunjung bergerak. Tubuhnya merosot jatuh, dada terasa sesak.

Lyodra segera memapahnya ke kamar, menanggalkan pakaian basah dan kotor. "Stop mabuk, aku gak suka cowok pemabuk," katanya tegas, namun hatinya perih.

"Terus?" tanya Kenziro sambil menatapnya lemah.

"Mending kamu pergi kalo mau mabuk terus!" ujar Lyodra, suaranya meninggi, campur amarah dan kepedihan.

Kenziro menatapnya sendu, mata merah dan berkaca-kaca. "Oke… gue bakalan pergi!" jawabnya, menepis tangan Lyodra. Ia berjalan cepat, meski kepala masih pusing, dan jatuh lagi di lorong tangga.

Dari kejauhan, Lyodra menatapnya gusar. "Sana pergi! Pergi yang jauh!" serunya, kesal tapi hatinya bergejolak. Ia sama sekali tidak ingin Kenziro pergi, hanya bingung, takut, dan merasa tak berdaya.

Begitu Kenziro keluar, Lyodra tersadar dia sudah berlebihan. Ia segera mengejarnya, tapi terlambat Kenziro sudah pergi entah kemana. "Ken!" teriaknya, suaranya pecah oleh kepanikan. Ia menggigit jarinya sendiri, cemas saat motor Kenziro tak terlihat di parkiran.

Ia mengusap wajahnya dengan gugup, jari-jarinya gemetar saat menekan handphone, berulang kali menelpon Kenziro. Tapi tak ada jawaban.

"Ken… perasaan aku gak enak. Kamu kemana sih, Ken?" suaranya pecah, hati hancur.

1
douwataxx
Seru banget nih cerita, aku gk bisa berhenti baca! 💥
Ann Rhea: makasihh, stay terus yaa
total 1 replies
menhera Chan
ceritanya keren banget, thor! Aku jadi ketagihan!
Ann Rhea: wahh selamat menemani waktu luangmu
total 1 replies
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!