Luna Arindya, pemanah profesional dari dunia modern, meninggal tragis dalam sebuah kompetisi internasional. Saat membuka mata, ia mendapati dirinya berada di dalam novel fantasi yang pernah ia baca—dan menempati tubuh Putri Keempat Kekaisaran Awan. Putri yang lemah, tak dianggap, hidupnya penuh penghinaan, dan dalam cerita asli berakhir tragis sebagai persembahan untuk Kaisar Kegelapan.
Kaisar Kegelapan—penguasa misterius yang jarang menampakkan diri—terkenal dingin, kejam, dan membenci semua wanita. Konon, tak satu pun wanita yang mendekatinya bisa bertahan hidup lebih dari tiga hari. Ia tak tertarik pada cinta, tak percaya pada kelembutan, dan menganggap wanita hanyalah sumber masalah.
Namun semua berubah ketika pengantin yang dikirim ke istananya bukan gadis lemah seperti yang ia bayangkan. Luna, dengan keberanian dan tatapan tajam khas seorang pemanah, menolak tunduk padanya. Alih-alih menangis atau memohon, gadis itu berani menantang, mengomentari, bahkan mengolok-olok
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon inda, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 16 Hari-Hari Sebagai Permaisuri Kekaisaran Kegelapan
Matahari tidak pernah benar-benar bersinar di langit Kekaisaran Kegelapan. Cahaya yang masuk hanyalah bias merah keunguan dari kabut pekat yang menyelimuti seluruh wilayah. Namun sejak Rui Zhi Han resmi menjadi permaisuri, istana hitam yang biasanya muram, justru mulai berdenyut dengan kehidupan baru.
Hari-hari pertamanya tidak berjalan seperti pengantin biasa. Tidak ada pesta bunga atau arak-arakan wanita istana. Sebaliknya, ia langsung masuk ke pusat kekuasaan yang selama ini tertutup bagi semua orang: Paviliun Kaisar Wang Tian Ze.
Para pejabat tinggi yang biasa berlutut dengan wajah dingin, kini sering kali curi pandang, mencoba memahami bagaimana mungkin seorang wanita dari Kekaisaran Awan bisa membuat Kaisar berubah.
Di balairung, Rui selalu hadir dengan gaun sederhana dibandingkan selir-selir bangsawan di istana lain, tetapi setiap kali ia bicara, bahkan para jenderal dan menteri berwajah garang hanya bisa terdiam.
---
Hari Pertama: Mengatur Istana
Pagi hari setelah malam ia resmi tinggal di paviliun Kaisar, Rui sudah bangun lebih cepat dari pelayan istana. Lan Mei berlari kecil sambil membawa pakaian baru.
“Permaisuri, anda tidak perlu repot bangun sepagi ini. Semua akan diurus pelayan—”
“Kalau aku tidur terus, siapa yang akan memastikan mereka tidak memutuskan menjatuhkan racun ke tehnya Permaisuri?” Rui meneguk teh dengan santai, tatapannya setajam pedang.
Lan Mei tercekat. “Anda pikir mereka berani meracunimu?”
Rui menatapnya sambil tersenyum tipis. “Keberanian itu bukan masalah. Masalahnya, apakah mereka cukup pintar melakukannya tanpa meninggalkan jejak? Itu yang harus kita periksa.”
Pagi itu, ia memerintahkan setiap makanan yang disajikan untuknya juga dibagikan ke anjing hitam besar penjaga istana. Ketika anjing itu tetap sehat, barulah ia menyentuh hidangan. Tindakan ini, yang awalnya membuat para pelayan gemetar, justru akhirnya memberi mereka rasa lega: tidak ada lagi ketakutan buta yang membebani.
Bahkan Kaisar sendiri, yang datang siang hari untuk menemaninya makan, terperangah melihat bagaimana Rui mengubah suasana.
“Kau benar-benar menganggap semua orang ingin membunuhmu?” tanya Kaisar sambil duduk.
Rui menjawab santai, “Bukankah di istana ini, jika aku tidak waspada, aku memang akan mati? Lagipula, Yang Mulia harusnya senang. Istrimu tidak bodoh.”
Kaisar hanya tertawa kecil, meski dalam hatinya ia mengakui: wanita ini berbeda.
---
Hari Kedua: Menata Kehidupan Rakyat
Tidak hanya urusan dalam istana, Rui mulai menyentuh kehidupan rakyat. Ia meminta izin keluar dari paviliun, mengunjungi pasar utama yang selama ini dipenuhi pedagang bayangan dan makhluk kegelapan.
Semua orang terkejut ketika sang Permaisuri berjalan di antara mereka tanpa pengawalan ketat, hanya ditemani Lan Mei.
Di pasar, Rui melihat anak-anak kecil iblis kelaparan, duduk di tepi jalan, sementara bangsawan tinggi berjalan melewati mereka tanpa peduli.
“Apakah di sini tidak ada rumah makan rakyat?” tanya Rui kepada salah satu pengawal yang mengikutinya dari jauh.
Pengawal itu ragu-ragu menjawab. “Tidak ada, Permaisuri. Hanya bangsawan dan pejabat yang berhak menerima jatah makanan. Rakyat biasa mencari sendiri.”
Rui terdiam lama, lalu dengan langkah tegap masuk ke toko roti, membeli semua roti yang ada, lalu membagikannya kepada anak-anak.
“Apa yang kau lakukan, Permaisuri? Itu tidak… pantas—” seru salah satu pejabat yang kebetulan melihatnya.
Rui menoleh dengan senyum dingin.
“Kalau memberi makan rakyat dianggap tidak pantas, maka sistem yang pantaslah yang harus dipertanyakan.”
Kabar itu menyebar cepat. Dalam satu hari, rakyat mulai menyebutnya “Permaisuri Putih di Istana Hitam.” Nama yang membuat Kaisar Kegelapan mengernyit, tapi diam-diam ia merasa bangga.
---
Hari Ketiga: Menghadapi Para Selir Bayangan
Meskipun Kaisar tidak memiliki harem resmi seperti Kaisar lain, ia tetap dikelilingi wanita bangsawan yang dikirim oleh keluarga berpengaruh. Mereka tidak disebut selir, tetapi “Persembahan.”
Wanita-wanita ini jelas tidak senang dengan kehadiran Rui.
Di salah satu sore, seorang persembahan bernama Lady Hua berani datang ke paviliun Rui dengan wajah dingin.
“Permaisuri, anda mungkin baru di sini, tapi ingat, kami sudah lebih dulu menemani Yang Mulia.”
Rui sedang membaca gulungan laporan. Tanpa mengangkat wajah, ia menjawab, “Kalau begitu, terima kasih sudah memanaskan kursi. Sekarang kursi itu milikku.”
Lady Hua terperanjat. “Kau—!”
Rui menatapnya datar. “Aku hanya akan bilang sekali: di istana ini tidak ada harem. Kalau kau ingin tetap hidup, pastikan kau tahu batasmu. Kalau tidak, aku sendiri yang akan membuangmu ke jurang kegelapan.”
Lady Hua pucat pasi. Bukan hanya karena ancaman itu, tetapi karena ia tahu—Kaisar tidak pernah membantah ucapan Permaisuri barunya.
Kabar ini juga menyebar. Untuk pertama kalinya dalam sejarah, istana Kegelapan benar-benar bersih dari perebutan harem.
---
Hari Keempat: Bisikan dari Utara
Hari-hari tenang itu tidak berlangsung lama. Pada hari keempat, laporan mengerikan datang. Jenderal Bai, salah satu komandan terkuat, berlutut di balairung menghadap Kaisar dan Permaisuri.
“Yang Mulia, Permaisuri… pasukan iblis dari wilayah Utara mulai bergerak. Mereka menyerang desa-desa perbatasan. Sejauh ini, tiga desa telah hancur, dan ratusan jiwa hilang.”
Kaisar mengernyit, matanya berkilat merah. “Beraninya mereka merusak perbatasanku.”
Namun Rui mengangkat tangannya, menghentikan Kaisar yang hendak berdiri.
“Tunggu. Apa kau yakin hanya desa perbatasan yang diserang? Bukan markas militer?”
Jenderal Bai terdiam. “Benar, Permaisuri. Mereka tampaknya sengaja memilih desa kecil.”
Rui menatap Kaisar dalam-dalam.
“Itu berarti mereka sedang menguji reaksi kita. Kalau Yang Mulia langsung turun tangan, mereka akan tahu kelemahan kita: bahwa serangan kecil saja sudah cukup membuat Kaisar bergerak.”
Kaisar menatap Rui tajam. “Lalu menurutmu apa yang harus dilakukan?”
Rui berdiri perlahan. “Kirim pasukan bayangan untuk menyelidiki. Jangan balas dulu. Kita harus tahu siapa dalang di baliknya. Kalau tidak, kita hanya akan bermain kucing-kucingan.”
Para pejabat terkejut. Belum pernah ada seorang wanita yang berani memberi strategi militer di hadapan Kaisar.
Namun Kaisar justru tersenyum tipis. “Kau benar. Baiklah. Aku akan menurunkan pasukan penyelidik. Tapi ingat, kalau strategi ini gagal, darah yang tertumpah akan menjadi tanggung jawabmu.”
Rui menatapnya balik dengan senyum dingin.
“Kalau gagal, aku sendiri yang akan maju ke medan perang.”
Balairung terdiam. Dan di saat itu juga, semua pejabat sadar: Permaisuri baru ini bukan sekadar perhiasan. Ia adalah ancaman sekaligus harapan.
---
Hari-Hari Berikutnya: Ketegangan Meningkat
Hari kelima hingga kedelapan dipenuhi kabar menegangkan. Pasukan bayangan melaporkan bahwa serangan-serangan kecil ternyata dipimpin oleh kelompok iblis yang selama ini tersembunyi, menyebut diri mereka “Sayap Hitam.”
Sayap Hitam dikenal kejam, tidak tunduk pada siapa pun, dan kini tampaknya mencoba mengguncang kekuasaan Kaisar Kegelapan.
Rui mendengarkan laporan itu sambil berpikir. “Mereka tidak sekadar ingin menyerang. Mereka ingin membuat rakyat percaya bahwa Kaisar tidak mampu melindungi mereka.”
Kaisar Wang Tian Ze menggebrak meja obsidian. “Beraninya mereka meragukan kekuasaanku!”
Rui menatapnya dalam-dalam. “Kalau kau membunuh mereka semua tanpa strategi, mereka akan mati sebagai martir, dan lebih banyak iblis akan bangkit menentangmu. Tapi kalau kita gunakan otak, kita bisa membuat mereka saling hancur sendiri.”
Kaisar mendekat, menatap Rui lekat. “Dan apa rencanamu, Permaisuri?”
Rui tersenyum samar. “Aku akan pergi ke desa perbatasan, menyamar sebagai rakyat biasa. Kalau aku bisa menemukan cara masuk ke inti kelompok itu, kita bisa menghancurkan mereka dari dalam.”
Semua pejabat berseru kaget. “Tidak mungkin! Itu terlalu berbahaya! Permaisuri tidak bisa”
Tapi Kaisar mengangkat tangannya. “Diam.”
Ia menatap Rui lagi, kali ini dengan ekspresi yang sulit dibaca. Antara marah, takut, dan kagum.
“Kau benar-benar ingin menantang maut, ya?”
Rui menatapnya balik, kali ini dengan senyum lembut. “Kalau aku hanya bersembunyi di balikmu, aku akan menjadi beban. Tapi kalau aku berdiri di sisimu, kita akan jadi kekuatan yang tak terkalahkan.”
Kaisar terdiam lama. Lalu akhirnya ia tertawa pelan. “Baiklah. Kalau itu yang kau inginkan, aku akan mengizinkanmu. Tapi ingat, Rui Zhi Han… jika terjadi sesuatu padamu, aku akan menghancurkan seluruh dunia.”
Rui hanya mengangkat alis. “Kalau begitu, pastikan kau tidak perlu melakukannya.”
---
Malam itu, kabar mengenai Sayap Hitam menyebar cepat. Rakyat resah, bangsawan gelisah, dan pasukan mulai bersiap.
Namun di tengah semua itu, hanya ada satu bisikan yang semakin keras di istana:
“Permaisuri Putih bukan hanya wanita Kaisar. Ia adalah cahaya baru yang bahkan kegelapan tidak bisa padamkan.”
Bersambung