Dua Jiwa Yang Tertukar

"Apa? Trauma? Sejak kapan Arka punya trauma pada hujan,ya? Kayaknya anggota yang lain pun gak ada yang tahu sama sekali, deh," gumam Anya penasaran.

Ia terdiam sejenak, mencoba mengingat kejadian-kejadian sebelumnya. Anya baru menyadari, beberapa kali Arka selalu membuat masalah setiap kali hujan turun.

Saat mereka akan pergi ke suatu tempat, dan hujan tiba-tiba datang, Arka sama sekali tidak mau keluar dari gedung sampai hujan benar-benar berhenti.

Dulu, Anya hanya mengira Arka tidak ingin basah. Bahkan, jika terpaksa, Arka akan meminta payung dan menutup rapat-rapat matanya. Anya tidak pernah menghiraukan hal itu sebelumnya.

Ia hanya berpikir Arka terlalu berlebihan. Dan sekarang, dia baru mengerti bahwa Arka yang dikenalnya tegas dan galak itu memiliki sisi lain, sisi yang membuatnya sama seperti orang lain pada umumnya.

Anya duduk terpaku di kursi. Kedua tangannya menggenggam di atas meja.

"Bi, ingat nggak kenapa aku bisa punya trauma dengan hujan?" tanya Anya sedikit ragu, khawatir Bi Lisa akan curiga.

Bi Lisa, yang tengah mengiris sayuran, seketika menghentikan pekerjaannya. Ia mendelik ke arah Anya dengan tatapan penuh tanya.

Keningnya mengkerut. "Apa Tuan lupa kenapa Tuan bisa trauma dengan hujan? Saya juga tidak ingat pasti. Tapi, saat saya baru bekerja, Tuan kan masih SMA, dan Tuan sudah punya trauma itu."

"Tapi Tuan hebat, bisa menyembunyikan itu selama ini. Kadang saya juga heran bagaimana Tuan bisa menahannya agar tidak ketahuan," tambahnya.

Anya terdiam, tatapannya jauh menerawang, memikirkan betapa menderitanya Arka selama ini, apalagi tidak ada yang tahu soal traumanya itu.

Tiba-tiba ia teringat bahwa Arka sedang berada di kantor dan tidak membawa mobil. Anya langsung berlari ke kamar untuk mengganti pakaiannya.

...ΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩ...

Sementara itu, Arka tengah berkutat dengan tumpukan berkas di atas meja, sambil menjawab semua panggilan telepon dari media.

Mereka meneror agensi, meminta klarifikasi tentang jadwal tur Rhapsody. Arka harus menjawab panggilan itu dan mengatakan bahwa jadwal tersebut adalah kesalahan.

Bahkan, semua karyawan mulai membicarakannya di belakang dan menyalahkannya atas kesalahan yang tidak pernah ia perbuat.

Arka tertelungkup di atas meja, di antara berkas-berkas yang berserakan. "Anya sialan! Lihat, gara-gara ulahmu, aku harus menanggung semua ini."

"Akh... lelahnya," keluh Arka.

Bruak!

Suara pintu yang didorong kuat dari luar membuat Arka terperanjat.

Di ambang pintu, Cloe berdiri dengan amarah yang meluap-luap.

"Kenapa perasaanku jadi gak enak, ya? Adegan ini seperi ini kayaknya pernah terjadi, tapi dimana, ya?" gumam Arka sambil menaikkan sebelah alisnya.

Tanpa ia sadari adegan itu persis seperti saat dia datang untuk memarahi Anya.

Cloe mendekat dengan kedua tangan mengepal. Tangannya terayun ke arah pipi Arka.

Seketika, Arka menangkisnya dan mengibaskan tangannya dengan kuat.

Cloe menunjuk Arka dengan tangan bergetar, berusaha menahan amarah. "Kau! Berani sekali kau melawanku, ya? Kau lupa siapa aku, hah!"

Arka hanya menatapnya dingin tanpa ekspresi. Ia tahu betul Cloe pasti ingin memberikan pelajaran pada Anya karena sudah membuat masalah untuknya.

Mereka berdua berasal dari SMA yang sama dan sama-sama berhasil meraih impian mereka.

Namun, sikap Cloe yang terus menempel membuat Arka sedikit risih.

Cloe selalu terang-terangan menyatakan cintanya, yang membuat Arka terus menghindar.

"Aku tau kok siapa kau. Tapi semua hukuman dan tugas ini sudah cukup untuk kesalahan yang kulakukan, jadi kau tidak perlu semarah ini, kan?" sergah Arka.

"Apa? Tidak perlu semarah ini, katamu? Kau sudah membuat lelaki yang kucintai menderita, tahu! Mana mungkin aku diam aja!"

Arka terdiam sejenak. Ia sadar bahwa Cloe begitu mencintainya dan sangat protektif padanya. Ia juga merasa sedikit menyesal karena terus mengabaikannya.

"Iya, maaf! Lain kali aku tidak akan membuat masalah untuk Arka," ungkapnya, mencoba menenangkan Cloe.

Cloe mendengus. "Huh! Awas saja kau, ya! Aku akan terus mengawasimu."

Arka kembali menegakkan badannya dan menatap layar komputer, mengabaikan Cloe.

Cloe, yang kesal, meremas tangannya kuat-kuat dan meninggalkan ruangan itu.

Waktu pulang kantor tiba. Arka langsung keluar menuju lobi. Namun, langkahnya terhenti saat melihat hujan.

Tangannya gemetar, matanya berkaca-kaca menatap ke arah luar. Ia tidak berani melanjutkan langkahnya dan terpaku diam di depan pintu kaca.

"Anya!" teriakan itu menggema di dalam lobi.

Namun, Arka hanya mematung, tidak mendengar panggilan itu. Suara itu memanggilnya beberapa kali hingga akhirnya Rangga menarik paksa tangannya.

Arka berbalik ke arah Rangga. "Kau berani mengabaikan aku sekarang, hah!"

Arka menarik tangannya dengan paksa karena suasana hatinya sedang tidak baik.

Ia menatap Rangga dengan heran. "Siapa kau? Berani-beraninya menarik tanganku."

Rangga, kekasih Anya, langsung mengerutkan dahinya. "Aku kan pacarmu, bagaimana sih! Oh, kau mau pura-pura lupa dan tidak mau memberiku uang, ya? Jangan-jangan karena kau sudah dekat dengan pria lain, kan?"

'Apa-apaan sih. Dia ini pacar apa preman, enak aja minta-minta uang!' batin Arka kesal.

Arka, yang sedang malas berdebat, lebih memilih mengabaikannya. Namun, Rangga semakin kesal dan meraih tangannya dengan kasar.

"Mana uang yang kau janjikan itu? Aku butuh sekarang!" Rangga berusaha meraih tas yang Arka bawa.

"Apaan sih! Aku bilang tidak ada, ya tidak ada!" bentak Arka, menarik perhatian banyak orang yang ada di sana.

Rangga menoleh ke sekeliling, mulai panik. Ia terpaksa menarik tangan Arka keluar. Arka menolak dan berusaha memberontak, tapi dengan kekuatannya sekarang, ia kalah kuat.

Arka merasa tubuhnya lemah. Ia menarik tangannya sambil menutup mata. Di luar mendung gelap dan hujan lebat.

Dadanya seketika berdetak cepat saat Rangga menariknya keluar hingga sampai di teras kantor. Pendengaran Arka tiba-tiba berdenging, dadanya sesak. Ia menatap ke atas, pandangannya kabur.

Tiba-tiba tubuhnya lemas dan limbung.