Lia, gadis desa Tanjung Sari, menemukan seorang pria pingsan di pematang sawah tanpa ingatan dan tanpa identitas. Ia menamainya Wijaya, dan memberi lelaki itu tempat pulang ketika dunia seolah menolaknya.
Tekanan desa memaksa mereka menikah. Dari pernikahan sederhana itu, tumbuh rasa yang tak pernah direncanakan—hingga Lia mengandung anak mereka.
Namun Wijaya bukan lelaki biasa.
Di kota, keluarga Kusuma masih mencari Krisna, pewaris perusahaan besar yang menghilang dalam kecelakaan misterius. Tanpa mereka sadari, pria yang dianggap telah mati kini hidup sebagai suami Lia—dan ayah dari anak yang belum lahir.
Saat ingatan perlahan mengancam kembali, Lia harus memilih: mempertahankan kebahagiaan yang ia bangun, atau merelakan suaminya kembali pada masa lalu yang bisa merenggut segalanya.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon indah yuni rahayu, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Retak di Balik Gemerlap Kota
Kota selalu punya cara sendiri untuk menyembunyikan kegelisahan setiap individu.
Lampu-lampu gedung tinggi menyala tanpa peduli jam menunjukkan hampir tengah malam. Di balik jendela apartemen mewah lantai dua puluh, seorang perempuan berdiri memandangi jalanan yang tak pernah benar-benar tidur.
Namanya Riri. Gaun tipis masih melekat di tubuhnya, meski acara makan malam yang seharusnya ia hadiri sudah lama ia tinggalkan. Ponsel di tangannya menyala, layar percakapan dengan satu nama yang tak pernah berubah sejak berbulan-bulan lalu.
Krisna.
Tidak ada balasan. Sudah terlalu lama tidak ada.
Gadis 25 tahun itu menghembuskan napas kasar. Ia bukan perempuan yang terbiasa menunggu tanpa kepastian. Selama ini, hidupnya berjalan rapi, hubungan yang jelas, masa depan yang terencana, pernikahan yang tinggal menunggu waktu.
Semuanya seharusnya sudah terjadi sekarang.
“Berapa lama lagi aku harus bersabar?” gumamnya kesal.
.
Di ruang keluarga besar rumah Kusuma, suasana tak kalah tegang.
Ana Kusuma duduk dengan punggung tegak, menatap layar televisi yang menayangkan berita malam. Tangannya terlipat di pangkuan, tapi jemarinya saling meremas tanpa sadar.
Tidak ada kabar baru.
Tetap tentang orang hilang. Tetap tentang pencarian yang menemui jalan buntu.
“Apa pun yang terjadi,” ucap Ana akhirnya, memecah sunyi, “aku ingin pencarian dilanjutkan.”
Ardian Kusuma menoleh. “Kita sudah mengerahkan semuanya.”
“Aku tidak peduli,” potong Ana. “Selama tidak ada jasad, Krisna masih hidup.”
Di sudut ruangan, Kevin Kusuma menyandarkan tubuhnya di dinding. Wajahnya tampak tenang, tapi sorot matanya tidak. Setiap kali nama Krisna disebut, ada sesuatu yang bergerak di balik dadanya, sesuatu yang ia tekan sekuat mungkin.
Riri datang ke rumah itu tanpa janji.
Ia mengenakan senyum sopan, tapi matanya lelah.
“Aku hanya ingin tahu, Tante Ana.” katanya pada Ana dengan suara dijaga, “Sampai kapan aku harus menunggu?”
Ana menatapnya lama. “Krisna akan kembali.”
“Dan kalau tidak?” tanya Riri, kali ini tak lagi menyembunyikan getar di suaranya. “Aku juga punya hidup, Tante.”
Kalimat itu menggantung di udara.
Kevin memperhatikan dari jauh.
Ia melihat kekecewaan di wajah Riri. Melihat retak kecil yang mulai terbuka. Dan ia tahu, retak seperti itu, jika disentuh di waktu yang tepat, bisa menjadi celah besar.
Ririana Prameswari adalah perempuan kota dengan tubuh tinggi semampai dan kaki jenjang yang membuat langkahnya selalu tampak percaya diri. Rambut hitamnya terawat rapi, sorot matanya tajam dan penuh perhitungan, seolah terbiasa menilai keadaan sebelum bertindak. Ia cantik tanpa terlihat lembut, lebih pada kesan elegan dan dingin, dengan senyum tipis yang sering menyimpan maksud lain. Riri tahu apa yang ia inginkan, dan ia tidak terbiasa menunggu terlalu lama untuk mendapatkannya.
.
Beberapa hari kemudian, Kevin sengaja bertemu Riri di sebuah kafe tenang.
Tidak mencolok. Tidak berlebihan.
“Kamu terlihat lelah,” ujar Kevin sambil menyerahkan secangkir kopi.
Riri tertawa hambar. “Menunggu seseorang yang mungkin tak akan kembali memang melelahkan.”
Kevin mengangguk pelan. “Krisna terlalu keras pada dirinya sendiri. Bahkan sebelum dia menghilang.”
Kalimat itu terdengar netral. Tapi cukup untuk membuat Riri terdiam.
“Dia selalu menjanjikan pernikahan,” lanjut Kevin, seolah tanpa maksud apa-apa. “Tapi selalu menundanya.”
Riri menatap cangkirnya. “Aku pikir… setelah proyek terakhir itu, semuanya akan jelas.”
“Dan sekarang?” tanya Kevin lembut.
Riri tidak menjawab. Diamnya lebih keras dari keluhan mana pun.
Sejak pertemuan itu, Kevin mulai sering hadir.
Tidak sebagai pengganti. Tidak pula sebagai penghibur yang berlebihan. Ia hadir sebagai pendengar. Sebagai seseorang yang mengerti, atau setidaknya berpura-pura mengerti.
“Aku tidak ingin menjadi perempuan yang ditinggalkan tanpa status,” ucap Riri suatu sore. “Aku ingin kepastian.”
Kevin menatapnya. “Setiap orang berhak atas kepastian.” Kalimat sederhana.
Tapi Riri merasakannya seperti pembenaran.
.
Di rumah Kusuma, Ana semakin sering terbangun di malam hari. Naluri itu tidak mau diam. Ia mulai memperhatikan perubahan kecil, Kevin yang sering keluar malam, Kevin yang jarang ikut pembahasan pencarian, Kevin yang terlalu tenang.
“Kevin,” panggilnya suatu malam. “Kamu tahu sesuatu?”
Kevin tersenyum tipis. “Aku hanya mencoba bertahan seperti yang lain, Ma.”
Jawaban itu terdengar benar. Tapi hati Ana tidak tenang.
Sementara itu, Riri mulai menyadari sesuatu yang membuatnya gelisah.
Perhatiannya pada Kevin tidak lagi sekadar nyaman. Ada rasa aman. Ada keyakinan. Dan yang paling berbahaya, ada masa depan yang kembali terasa mungkin.
Ia membenci dirinya sendiri karena itu. Namun rasa sepi sering kali lebih keras dari kesetiaan.
Di malam yang sama, Kevin berdiri di balkon apartemennya. Angin kota menyapu wajahnya.
Ia menatap jauh ke bawah, ke lampu-lampu yang tak pernah padam.
“Krisna,” gumamnya pelan. “Kalau kamu masih hidup… seharusnya kamu tidak pernah kembali.”
Di kepalanya, rencana lama berputar dengan wajah baru.
Kini bukan hanya tahta CEO yang terancam, melainkan rahasia yang mulai rapuh oleh perasaan orang lain.
Dan di antara semua itu, seorang perempuan yang kehilangan kesabaran tanpa sadar sedang melangkah ke dalam permainan yang salah.
Apartemen itu terasa lebih sunyi dari biasanya.
Lampu ruang tamu diredupkan, hanya menyisakan cahaya lembut yang memantul di dinding kaca. Riri berdiri di dekat jendela, memeluk dirinya sendiri, menatap kota yang berkilau seperti tak pernah lelah.
Kevin berdiri beberapa langkah di belakangnya.
“Aku tidak berniat membuatmu bingung,” katanya pelan. “Aku hanya tidak ingin kamu sendirian malam ini.”
Riri menoleh.
Tatapan mereka bertemu lebih lama dari yang seharusnya.
“Aku capek menunggu,” ucap Riri akhirnya. “Capek berharap pada seseorang yang bahkan tidak tahu aku masih ada.”
Kevin mendekat. Tidak menyentuh. Belum.
“Kamu tidak salah,” jawabnya tenang. “Kamu hanya ingin hidupmu berjalan.”
Kalimat itu seperti kunci.
Riri menarik napas panjang, lalu mengangguk kecil—sebuah keputusan tanpa kata.
Waktu berjalan tanpa mereka sadari.
Percakapan berubah menjadi diam yang berat. Gelas-gelas di meja sudah kosong, tapi suasana justru semakin penuh. Jarak di antara mereka menyempit dengan sendirinya, seolah malam mendorong keduanya untuk berhenti berpikir.
Ketika Kevin akhirnya menyentuh tangan Riri, tidak ada penolakan.
Sentuhan itu bertahan.
Lalu lebih dekat.
Riri memejamkan mata, seolah membiarkan dirinya jatuh, bukan pada Kevin sepenuhnya, tapi pada kelelahan yang terlalu lama ia simpan.
Lampu kamar dimatikan.
Kota tetap menyala di luar jendela, tapi di dalam ruangan itu, waktu melambat. Tidak ada janji. Tidak ada nama yang disebut. Hanya dua orang yang memilih diam bersama, mengabaikan konsekuensi yang menunggu di pagi hari.
Malam itu berlalu tanpa saksi.
Namun bekasnya tidak akan mudah dihapus.
Pagi datang dengan cahaya pucat.
Riri terbangun lebih dulu.
Ia duduk di tepi ranjang, menatap lantai, dadanya terasa sesak. Ada kehangatan yang belum sepenuhnya pergi, tapi juga rasa bersalah yang mulai merayap pelan.
Di belakangnya, Kevin terbangun, menatap punggung Riri tanpa ekspresi.
“Kita tidak sedang menggantikan siapa pun,” katanya pelan. “Kita hanya memilih.”
Riri menoleh.
Dan untuk pertama kalinya, ia tidak tahu apakah kalimat itu menenangkannya atau justru mengikatnya pada sesuatu yang lebih berbahaya.