HARGA SEBUAH KESETIAAN
100% diambil dari kisah nyata
Dewanga hanya ingin diterima. Setelah ditolak berkali-kali karena miskin, ia menikahi Tini—janda delapan tahun lebih tua—dengan harapan menemukan pelabuhan. Yang ia dapat adalah badai tanpa henti. Enam tahun pernikahan menjadi neraka: bentakan setiap hari, hinaan di meja makan, ancaman diusir dari rumah yang bukan miliknya.
Ia terperangkap. Ingin pergi, tapi Aini—putri kecilnya—adalah satu-satunya cahaya dalam kegelapan. Ketika cinta berubah menjadi penjara, dan kesetiaan menjadi racun, Dewanga harus memilih: bertahan hingga hancur, atau berani menyelamatkan dirinya dan anaknya.
Sebuah kisah yang memilukan tentang cinta yang salah, kesetiaan yang keliru, dan keberanian untuk memilih hidup.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Dri Andri, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Tamu yang Tidak Dihargai
Dua minggu kemudian, Dewanga libur.
Ia duduk di teras—menikmati sore yang jarang ia rasakan. Aini tidur di gendongannya, wajah mungilnya tenang, napasnya teratur.
Dewanga mengusap pipi anaknya dengan lembut—senyum tipis di bibirnya. Ini adalah momen paling damai dalam hidupnya.
Tiba-tiba, dari ujung gang, terlihat seseorang berjalan mendekat.
Pria berusia sekitar tiga puluhan—tubuh tinggi, pakaian rapi, wajah ramah dengan senyum lebar.
"Dewa!"
Dewanga mendongak. Matanya membulat—tidak percaya.
"Bang Idon?!"
Bang Idon adalah teman lama Dewanga—teman sesama pekerja di proyek bangunan dulu, sebelum Dewanga memutuskan berjualan gorengan. Mereka sudah lama tidak bertemu—mungkin hampir tiga tahun.
"Anjir, Dewa! Susah banget nyari lo! Udah nanya ke sana kemari!" Bang Idon tertawa—suaranya riang, penuh kehangatan.
Dewanga berdiri, meletakkan Aini di keranjang rotan dengan hati-hati, lalu berjabat tangan dengan Bang Idon.
"Bang, dari mana? Kok tiba-tiba ke sini?"
"Gue lagi ada proyek deket sini. Terus iseng nanya-nanya sama orang, ternyata lo tinggal di gang ini." Bang Idon melirik ke dalam rumah. "Ini rumah lo? Boleh masuk?"
"Boleh, Bang. Masuk aja." Dewanga mempersilakan dengan senyum—senang ada teman yang datang.
Mereka masuk ke ruang tamu. Dewanga mempersilakan Bang Idon duduk di sofa—sofa tua dengan busa yang sudah kempes.
"Bang, tunggu sebentar ya. Gue bikinin kopi dulu." Dewanga berjalan ke dapur.
Tapi dari dalam kamar, suara Tini terdengar—keras, tajam, penuh sindiran.
"SOK-SOKAN TAWAR-TAWARIN KOPI! EMANGNYA ADA KOPINYA?!"
Dewanga terdiam. Wajahnya merah—malu, sangat malu.
Bang Idon di ruang tamu mendengar itu—senyumnya memudar, matanya melirik ke arah kamar dengan tatapan... tidak percaya.
Dewanga keluar dari dapur dengan tangan kosong—wajahnya menunduk, tidak berani menatap tamu.
"Maaf, Bang... kayaknya kopi abis. Teh biasa aja ya?"
Bang Idon tersenyum lemah—mencoba menutupi kecanggungan. "Iya, Dewa. Gak papa. Air putih aja juga gak papa."
Dewanga menuangkan air putih ke gelas plastik, menyerahkannya pada Bang Idon dengan tangan gemetar.
Mereka duduk dengan canggung—obrolan yang harusnya hangat kini terasa berat.
"Dewa... lo udah nikah ya? Tadi gue liat bayi—"
"Iya, Bang. Udah. Ini anak gue, Aini. Baru sebulan."
"Wah... selamat ya, Dewa." Bang Idon tersenyum—berusaha tulus meski suasana tidak mendukung.
Lalu ia merogoh saku celana—mengeluarkan amplop cokelat, menyerahkannya pada Dewanga.
"Ini buat lo. Gue lagi ada rejeki lebih. Semoga berguna."
Dewanga membuka amplop itu—di dalamnya ada dua ratus ribu rupiah. Matanya langsung berkaca-kaca.
"Bang... ini terlalu banyak—"
"Ambil aja. Lo temen gue. Gue tau lo lagi berjuang. Buat anak lo."
Dewanga memeluk Bang Idon—pelukan erat penuh terima kasih. "Terima kasih, Bang... terima kasih banyak..."
Bang Idon menepuk punggung Dewanga. "Sama-sama, Dewa. Kita kan temen."
Mereka berbincang sebentar—tentang pekerjaan, tentang kehidupan, tentang kenangan lama.
Tapi tiba-tiba, dari arah dapur, terdengar suara keras—suara langkah kaki yang dihentak-hentakkan sekeras mungkin.
THUD! THUD! THUD!
Bang Idon menoleh—matanya menatap ke arah dapur dengan tatapan bingung.
Lalu terdengar suara barang jatuh—
PRANG!
Gelas pecah. Serpihan berserakan.
Dewanga langsung berdiri—wajahnya pucat. "Bang, tunggu sebentar ya—"
Ia berlari ke dapur—melihat Tini berdiri dengan wajah merah, gelas pecah di lantai, serpihan berserakan.
"Tini, kenapa—"
"LO NYURUH GUA CUCI PERABOTAN SENDIRIAN, BANTUIN KEK,LO LIBUR TUH GA ADA ARTINYA?! ENAK BANGET LO NGOBROL SAMA TEMEN! GUA?! GUA KERJA KAYAK PEMBANTU!"
"Tini, pelanin suaranya... ada tamu—"
"GUA GAK PEDULI ADA TAMU! INI RUMAH GUA! GUA MAU TERIAK JUGA HAK GUA!"
Dewanga menunduk—tidak berani menjawab lagi.
Tini berjalan cepat ke kamar—langkahnya dihentak sekeras mungkin, membuat seluruh rumah bergetar.
THUD! THUD! THUD!
Lalu—
BRAK!
Pintu kamar dibanting keras—sangat keras sampai foto di dinding hampir jatuh.
Dewanga berdiri sendirian di dapur—menatap serpihan gelas, menatap lantai yang basah, menatap kehidupannya yang hancur.
Ia kembali ke ruang tamu dengan wajah menunduk—tidak berani menatap Bang Idon.
Bang Idon sudah berdiri—wajahnya datar, tapi matanya penuh... kekecewaan.
"Dewa... gue pulang dulu ya. Kayaknya lo lagi sibuk."
"Bang, tunggu—"
"Gak papa. Gue ngerti." Bang Idon tersenyum lemah—senyum yang dipaksakan. "Lo jaga diri ya, Dewa. Kalau ada apa-apa... hubungi gue."
Lalu ia berbalik—berjalan keluar rumah dengan langkah cepat.
Dewanga mengikuti dari belakang—melihat punggung temannya yang semakin menjauh.
Bang Idon tidak menoleh lagi.
Tidak ada lambaian tangan. Tidak ada senyum. Hanya punggung yang kaku—pertanda ia marah, kecewa, dan tidak akan kembali lagi.
Dewanga berdiri sendirian di teras—menatap gang kosong tempat temannya menghilang.
Uang dua ratus ribu masih tergenggam di tangannya—tapi hatinya kosong.
"Maafin aku, Bang..." bisiknya parau. "Maafin aku..."
Dari dalam rumah, terdengar suara Aini menangis—tangis keras, mungkin lapar, mungkin popoknya basah.
Tapi Tini tidak keluar.
Tidak ada yang menghampiri Aini.
Hanya Dewanga yang masuk—mengangkat anaknya dengan lembut, menenangkannya dengan bisikan pelan.
"Ssstt... Aini jangan nangis... Ayah di sini... Ayah sayang Aini..."
Dan malam itu, Dewanga menangis sambil menggendong anaknya—menangis untuk persahabatan yang hilang, untuk kehormatan yang diinjak-injak, untuk kehidupan yang tidak pernah ia inginkan.