Selama tiga tahun menikah, Elena mencintai suaminya sepenuh hati, bahkan ketika dunia menuduhnya mandul.
Namun cinta tak cukup bagi seorang pria yang haus akan "keturunan".
Tanpa sepengetahuannya, suaminya diam-diam tidur dengan wanita lain dan berkata akan menikahinya tanpa mau menceraikan Elena.
Tapi takdir membawanya bertemu dengan Hans Morelli, seorang duda, CEO dengan satu anak laki-laki. Pertemuan yang seharusnya singkat, berubah menjadi titik balik hidup Elena. ketika bocah kecil itu memanggil Elena dengan sebutan;
"Mama."
Mampukah Elena lari dari suaminya dan menemukan takdir baru sebagai seorang ibu yang tidak bisa ia dapatkan saat bersama suaminya?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Archiemorarty, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
BAB 2. MAMA?
Pagi itu, udara masih lembap oleh sisa hujan malam tadi. Langit kelabu, dan sinar matahari pun enggan menampakkan diri.
Di balik kaca mobil, Elena duduk diam dengan wajah tanpa ekspresi. Matanya sembab, tapi tidak ada lagi air mata yang keluar. Mungkin karena sudah habis semalam, semua tangisan, semua perih, sudah mengering bersama hati yang patah.
Elena menggenggam erat tas kecil di pangkuannya, jari-jarinya gemetar setiap kali kenangan semalam terlintas.
"Aku akan menikahi wanita lain."
"Kau mandul."
"Tidak ada pria yang mau menerima perempuan sepertimu."
Kalimat-kalimat itu terus terngiang di kepalanya seperti gema yang tak mau pergi.
Tiga tahun pernikahan, dan hanya dengan beberapa kalimat, Raven menghancurkan segalanya.
Mobil berhenti di depan rumah besar bergaya klasik di pinggiran kota. Rumah yang dulu selalu menjadi tempat Elena pulang setiap kali dunia luar terasa terlalu kejam.
Ia menarik napas panjang, menenangkan dirinya sebelum turun.
Begitu kakinya melangkah ke halaman, pintu rumah langsung terbuka. Dari dalam, Ibu Elena, Clara Alverez, muncul dengan wajah khawatir.
"Elena!" serunya, langsung berjalan cepat menghampiri putrinya. "Oh Tuhan, Baby. Wajahmu kenapa? Kau menangis semalaman, ya?"
Elena berusaha tersenyum, tapi senyum itu lebih mirip guratan luka. "Aku ... aku ingin bicara, Mom. Dengan Dad juga."
Clara menatapnya cemas. "Masuk dulu, sayang. Ayahmu sedang di ruang kerja."
Begitu mereka masuk, aroma kopi hitam langsung menyambut. Di ruang kerja besar di sisi kanan rumah, Mr. Gerald Alverez, ayah Elena, sedang membaca koran sambil mengenakan kacamata baca. Pria itu berwibawa, berumur lima puluhan, dengan rambut yang mulai memutih di sisi pelipis, tapi masih memancarkan aura kuat seorang pebisnis yang disegani.
"Elena?" suara sang ayah dalam, sedikit terkejut. "Kenapa datang pagi-pagi begini? Bukannya kau biasanya baru datang saat akhir pekan?"
Elena berdiri di depan pintu, menunduk, dan air mata kembali menggenang di matanya.
Gerald langsung menaruh korannya, berdiri, dan berjalan cepat mendekati putrinya.
"Sweetheart, ada apa ini?" suara sang ayah lembut namun tegas.
Elena menggeleng, mencoba menahan tangis. Tapi bibirnya bergetar saat berkata, "Dad ... Mom ... Raven ...."
Clara langsung memeluknya. "Astaga, apa yang dilakukan Raven? Katakan padaku, Elena."
Dan di ruang kerja itu, Elena menceritakan segalanya.
Tentang Raven yang pulang membawa kabar kalau ia akan menikahi wanita lain bernama Jessy, dengan alasan keturunan. Bahwa dia sudah berselingkuh dengan wanita itu setahun belakangan.
Tentang bagaimana Raven mengaku kalau wanita itu sedang mengandung anaknya.
Tentang bagaimana Raven menyebut dirinya mandul, dan bahwa tak ada pria lain yang akan mau menerima perempuan seperti dirinya.
Dan tentang bagaimana Raven dengan kejam menolak perceraian, seolah semua ini hanya keputusan bisnis.
Setiap kata yang keluar dari mulut Elena membuat wajah Gerald dan Clara semakin tegang.
Hingga akhirnya, setelah Elena selesai, keheningan panjang memenuhi ruangan.
Clara menatap suaminya, matanya memerah. "Gerald ...."
Namun sang ayah sudah menggertakkan rahangnya, menahan amarah yang meletup-letup. Tangannya mengepal begitu kuat hingga buku-buku jarinya memutih.
"Anak itu ... berani memperlakukan putriku seperti ini?" suaranya serak tapi penuh tekanan. "Setelah semua yang keluarga kita lakukan untuknya?"
"Gerald, tenang dulu," kata Clara cepat, takut melihat wajah suaminya yang memerah karena marah.
"Tenang?!" bentak Gerald. "Bagaimana aku bisa tenang, Clara?! Elena adalah putri semata wayang kita! Dan pria itu-" ia menunjuk udara, nadanya bergetar oleh emosi, "-pria itu anak dari teman baikku sendiri! Aku sudah menganggapnya seperti anak sendiri sejak kecil! Dan sekarang dia menghancurkan hidup putriku!"
"Gerald ...." Clara mencoba menenangkan, tapi suaminya sudah berjalan ke arah pintu.
"Aku akan ke rumahnya sekarang! Aku akan ajarkan dia arti menghormati perempuan!"
"Dad?!" seru Elena cepat, menahan lengan ayahnya sebelum sempat melangkah keluar. "Dad, jangan!"
Gerald menatap Elena, matanya masih menyala oleh amarah. "Kau ingin aku diam saja melihat dia mempermalukanmu begini, Elena? Menghina kau mandul di depan wajahmu sendiri?!"
Air mata Elena jatuh lagi, tapi ia menggeleng kuat. "Dad, please. Aku tidak mau Dad marah-marah ke rumah Raven. Aku tidak mau orang tahu. Aku tidak mau keluarga kita ikut tercoreng karena orang sepertinya."
Gerald terdiam, menatap putrinya lama. "Tapi, Sweetheart-"
Elena menatap ayahnya dengan mata basah. "Harga diriku sudah hancur, Dad. Jangan biarkan harga diri Dad ikut hilang karena dia."
Kata-kata itu menampar kesadaran Gerald dengan halus tapi keras. Ia menatap Elena yang kini berusaha tegar, meski seluruh tubuhnya masih bergetar karena luka batin yang belum sembuh.
Perlahan, kemarahan di wajah Gerald mulai mencair menjadi kesedihan yang dalam.
Ia menghela napas panjang, lalu menarik Elena ke dalam pelukannya.
Anak perempuannya yang dulu ia gendong dengan penuh kebanggaan kini menangis di dadanya seperti anak kecil. Gerald memeluknya lebih erat.
"Maafkan Daddy, Sweety," ucapnya pelan, menahan emosi. "Aku tidak menyangka Raven ... anak itu ... bisa setega ini. Ayah benar-benar tidak menyangka."
Elena hanya menangis dalam pelukan ayahnya, tanpa suara, tapi air matanya tak berhenti.
"Tenanglah, Sweety," lanjut Gerald. "Ayah janji, Ayah akan bantu urus perceraianmu. Kau tidak perlu menghadapi ini sendirian."
Clara yang berdiri di samping mereka ikut menitikkan air mata. Ia kemudian berkata dengan lembut, tapi penuh ketegasan, "Dan mulai hari ini, kau tidak usah kembali ke rumah Raven. Kau pulang saja ke rumah ini. Rumah orang tuamu. Kau tidak pantas tinggal di rumah pria yang sudah mengkhianatimu seperti itu."
Elena menatap ibunya, suaranya serak. "Tapi, Mom ... semua barang-barangku masih di sana."
"Ambil yang perlu," jawab Clara cepat. "Tapi jangan pernah lagi kau menetap di sana. Kami tidak ingin kau menanggung malu di bawah atap yang sudah ternoda oleh pengkhianatan."
Gerald menatap istrinya lalu mengangguk setuju. "Ibumu benar. Kembalilah ke rumah ini, Elena. Mulai hari ini, kau bukan lagi istri yang menunggu di rumah besar itu. Kau adalah putriku, Elena Alverez, dan Daddy akan pastikan nama baikmu tidak ternodai."
Elena mengusap air matanya, mencoba tersenyum walau lemah. "Terima kasih, Dad, Mom. Aku janji, aku akan kuat."
Clara menggenggam tangan putrinya erat. "Kau selalu kuat, Baby. Hanya saja kali ini ... jangan terlalu menahan diri. Kalau kau ingin menangis, menangislah. Tapi jangan biarkan air mata itu membuatmu lupa siapa dirimu."
Elena mengangguk. Ia menarik napas panjang, berusaha mengumpulkan keberanian.
Setelah berbincang cukup lama, ia memutuskan untuk kembali ke rumah Raven sebentar, hanya untuk membereskan barang-barangnya.
"Aku tidak akan lama," katanya sambil berdiri. "Aku hanya ingin mengambil semua barangku dan pergi. Aku tidak akan menatap wajahnya lagi."
Gerald memegang bahunya. "Kau mau Daddy antar?"
Elena tersenyum lemah. "Tidak usah, Dad. Aku bisa sendiri."
Clara mengusap pipi putrinya lembut. "Hati-hati, ya. Dan kalau dia mencoba bicara atau menahanmu, jangan dengarkan. Kau tidak berutang apa pun pada pria seperti dia."
Elena mengangguk pelan, lalu berpamitan.
Sebelum keluar dari rumah, ia menatap kedua orang tuanya sekali lagi. Dalam hati, ia merasa sedikit lebih tenang. Setidaknya, kali ini ia tidak sendirian.
Perjalanan menuju rumah Raven terasa panjang dan menyesakkan. Setiap bangunan, setiap jalan yang mereka lalui dulu bersama terasa asing sekarang. Seperti kota yang sama sekali berbeda, karena cinta yang dulu menghiasi setiap sudutnya telah lenyap.
Begitu sampai di rumah, Elena masuk dengan kunci cadangan yang masih ia pegang. Rumah itu sunyi, hanya suara jam di dinding yang terdengar. Aroma parfum Raven masih samar di udara, membuat dadanya perih.
Tanpa membuang waktu, ia langsung masuk ke kamar. Ia membuka lemari dan mulai memasukkan pakaian ke koper. Beberapa foto pernikahan mereka masih tergantung di dinding, wajah mereka tersenyum bahagia dalam balutan jas dan gaun putih.
Elena menatap foto itu lama, lalu mengambilnya. Ia merobeknya perlahan, potongan demi potongan, hingga hanya serpihan kecil yang tersisa di lantai.
"Cukup sudah," ucap Elena. "Aku tidak mau mengingatmu lagi."
Ia menatap ruangan itu untuk terakhir kalinya, memastikan tak ada lagi barang penting tertinggal. Setelah semuanya selesai, Elena menutup koper dan menarik napas panjang.
Ini bukan rumahnya lagi.
Sebelum pulang ke rumah orang tuanya, perutnya tiba-tiba terasa kosong.
Elena sadar belum makan apa pun sejak malam sebelumnya. Kepalanya mulai pusing, dan perutnya terasa melilit. Ia tidak ingin tumbang. Tidak sekarang, ketika ia harus tetap kuat.
Maka ia memutuskan untuk singgah di sebuah kafe terbuka yang berada di pinggir taman kota. Tempat itu sederhana, dengan meja-meja kayu dan aroma kopi yang menenangkan.
Ia memilih duduk di sudut, di bawah payung besar. Pelayan datang membawakan menu, dan Elena memesan seporsi sup jagung dan roti panggang.
Sambil menunggu, ia memejamkan mata sejenak, mencoba menikmati hembusan angin yang lembut. Suara tawa anak-anak di taman terdengar samar, membuat dadanya terasa hangat, sekaligus perih.
Elena membuka mata, menatap ke arah taman kecil di depan kafe. Ada anak-anak kecil berlarian sambil membawa balon.
Salah satu dari mereka tersandung, lalu bangkit lagi sambil tertawa. Elena tersenyum tipis melihatnya.
"Menjadi ibu ... aku juga sangat ingin, Raven," gumam Elena.
Matanya mulai berair lagi, tapi sebelum air mata itu sempat jatuh, suara kecil memotong lamunannya.
"Mama?"
Elena terkejut. Suara tersebut lembut, polos, tapi cukup jelas untuk membuat Elena menoleh spontan.
Di samping kursinya berdiri seorang bocah laki-laki berusia sekitar lima tahun. Rambutnya pirang keemasan, kulitnya pucat, dan matanya biru jernih, memandang Elena dengan ekspresi bingung sekaligus senang.
Elena memandangnya heran. "A-apa? Kau bilang apa tadi, Kid."
Bocah itu tersenyum lebar, menatapnya tanpa ragu. Tangannya yang mungil memegang ujung mantel Elena dengan erat.
"Mama ...," kata sang bocah lagi, suaranya lembut tapi yakin.
Elena membeku di tempat. Seluruh tubuhnya terasa dingin seketika, jantungnya berdetak tak beraturan.
"Mama?" ulang bocah itu sambil menarik sedikit mantelnya, seperti takut Elena akan pergi. "Kau ... Mama, kan?"
Elena menatap anak itu dengan mata membesar. Ia tidak mengenali wajahnya, tapi ada sesuatu dalam tatapan bocah itu yang anehnya terasa ... familiar.
"Kau siapa, Kid?” tanya Elena akhirnya, suaranya bergetar.
Anak itu tidak menjawab. Ia hanya tersenyum kecil, lalu menatap Elena dengan mata yang tiba-tiba berkaca-kaca. "Mama, aku kangen ...."
Elena terdiam, lidahnya kelu, tidak tahu harus berkata apa. Sementara angin siang berhembus pelan, membawa aroma kopi dan bunga yang tiba-tiba terasa begitu asing.
Dan di detik itu, Elena tahu ... hidupnya yang semula hancur karena pengkhianatan Raven, baru saja akan berubah arah, sekali lagi.
masih penasaran sm mlm pertama mereka berdua, othor nih bikin penasaran aja deh 😁
kalau Elena gak mandul, semoga yg mandul Raven dan ternyata Jessy hamil dgn pria lain, pasti aku akan bersorak kegirangan 🤣
selamat atas pernikahan Hans dgn Elena dan selamat untuk Theo akhirnya Elena jadi Mama nya beneran 😍
jangan jadi hama😤.