Anjani, gadis manis dari kampung, menikah dengan Adrian karena cinta. Mereka tampak serasi, tetapi setelah menikah, Anjani sadar bahwa cinta saja tidak cukup. Adrian terlalu penurut pada ibunya, Bu Rina, dan adiknya, Dita. Anjani diperlakukan seperti pembantu di rumah sendiri. Semua pekerjaan rumah ia kerjakan, tanpa bantuan, tanpa penghargaan.
Hari-harinya penuh tekanan. Namun Anjani bertahan karena cintanya pada Adrian—sampai sebuah kecelakaan merenggut janin yang dikandungnya. Dalam keadaan hancur, Anjani memilih pergi. Ia kabur, meninggalkan rumah yang tak lagi bisa disebut "rumah".
Di sinilah cerita sesungguhnya dimulai. Identitas asli Anjani mulai terungkap. Ternyata, ia bukan gadis kampung biasa. Ada darah bangsawan dan warisan besar yang tersembunyi di balik kesederhanaannya. Kini, Anjani kembali—bukan sebagai istri yang tertindas, tapi sebagai wanita kuat yang akan menampar balik mertua dan iparnya.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Mira j, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
bab 16
Bu Rina mondar-mandir di ruang tamunya dengan wajah tegang. Sudah beberapa minggu berlalu sejak ia menginvestasikan uang dalam skema yang ditawarkan Bu Mira, tetapi hingga sekarang, tidak ada kabar sama sekali.
Awalnya, Bu Mira meyakinkannya bahwa ini adalah investasi yang aman dan menguntungkan. Dengan janji keuntungan berlipat dalam waktu singkat, Bu Rina tergoda untuk menanamkan sebagian besar tabungannya.
Namun, kini, setelah sekian lama tanpa perkembangan, ia mulai merasa ada yang tidak beres.
Ia ingin meminta bantuan Adrian, anaknya, untuk mencari tahu apa yang terjadi. Namun, ia ragu. Adrian pernah memperingatkannya agar tidak mudah tergiur investasi tanpa kejelasan. Jika sekarang ia mengadu, Adrian pasti akan marah dan mencercanya habis-habisan.
Bu Rina menggigit bibir, berpikir keras. Akhirnya, ia memutuskan satu hal.Ia harus menemui Bu Mira.Namun, ada masalah lain—Bu Mira sudah pindah dari area perumahan mereka.
Setelah mendapatkan informasi dari beberapa tetangga lama, akhirnya Bu Rina berhasil menemukan rumah baru Bu Mira di daerah yang lebih sederhana. Perasaan kesal dan cemas bercampur di dadanya saat ia mengetuk pintu rumah itu.
Tidak lama kemudian, pintu terbuka, dan wajah Bu Mira muncul.
"Wah, Bu Rina?" Nada suaranya terdengar terkejut, tetapi ada sedikit kegugupan di matanya. "Tumben ke sini."
Bu Rina tidak membuang waktu. Dengan ekspresi serius, ia berkata, "Mira, aku mau bicara soal investasi yang kamu tawarkan waktu itu. Kenapa sampai sekarang tidak ada kabar?"
Bu Mira terdiam sejenak, lalu tersenyum kecil. "Masuk dulu, Bu. Kita bicara di dalam."
Bu Rina melangkah masuk dengan hati yang semakin gelisah. Ada sesuatu dalam ekspresi Bu Mira yang membuatnya tidak tenang.
Bu Rina duduk di sofa ruang tamu Bu Mira dengan perasaan tidak nyaman. Ruangan itu sederhana, jauh dari kemewahan yang dulu sering dipamerkan Bu Mira saat mereka masih bertetangga.
Ini saja sudah cukup membuatnya curiga—kalau investasi itu benar-benar menguntungkan, kenapa Bu Mira justru pindah ke tempat seperti ini?
Bu Mira menuangkan teh ke dalam cangkir dengan gerakan tenang, tetapi Bu Rina bisa melihat jelas bahwa wanita itu sedikit gelisah.
"Jadi, kenapa investasinya belum ada kabar?" tanya Bu Rina langsung, tanpa basa-basi.
Bu Mira tersenyum, tetapi senyumannya tidak setenang biasanya. "Sabar dulu, Bu Rina. Namanya investasi, kadang butuh waktu. Lagipula, saya sendiri juga belum menerima keuntungan saya."
Bu Rina mengernyit. "Belum juga? Tapi waktu itu kamu bilang hasilnya bisa keluar dalam beberapa bulan!"
Bu Mira menghela napas, meletakkan cangkirnya. "Memang seharusnya begitu. Tapi ada kendala di perusahaan tempat kita menanam modal. Mereka sedang mengalami masalah keuangan sementara. Tapi tenang, uang kita aman."
Bu Rina mencengkram tas tangannya erat. "Jangan bohong, Mira. Aku mulai merasa ada yang tidak beres di sini. Kamu bilang perusahaan itu besar dan terpercaya, tapi kenapa aku tidak bisa menghubungi siapa pun dari sana? Aku sudah coba menghubungi kontak yang kamu berikan, tapi tidak ada yang menjawab!"
Bu Mira menelan ludah, matanya melirik ke arah lain. "Mungkin mereka sedang sibuk..."
Bu Rina menatapnya tajam. "Atau mungkin memang tidak pernah ada perusahaan itu?"
Mata Bu Mira melebar. "Bu Rina, jangan berpikir yang macam-macam!"
"Jawab jujur, Mira!" suara Bu Rina meninggi. "Aku sudah menanamkan banyak uang di sana. Jangan bilang ini semua hanya tipu-tipu!"
Bu Mira menghela napas panjang, lalu menundukkan kepala. "Aku juga korban, Bu Rina... Aku juga kehilangan banyak uang di sana."
Jantung Bu Rina berdegup kencang. "Maksudmu... kita ditipu?"
Bu Mira tidak menjawab, tetapi diamnya sudah cukup menjadi jawaban.
Bu Rina merasakan tubuhnya melemas. Ia ingin berteriak, menangis, atau bahkan marah, tetapi yang bisa ia lakukan saat ini hanyalah menggenggam dadanya yang terasa sesak.
Apa yang akan ia lakukan sekarang? Bagaimana ia bisa mendapatkan kembali uangnya?
Dan yang lebih penting lagi... Bagaimana ia bisa menyembunyikan ini dari Adrian?
Bu Rina merasakan dadanya sesak. Ia tidak bisa mempercayai apa yang baru saja didengarnya. Ditipu? Itu hal yang sama sekali tidak pernah ia bayangkan.
"Ini tidak mungkin," katanya, suaranya bergetar. "Aku menanamkan banyak uang, Mira! Kamu bilang ini aman!"
Bu Mira masih menunduk, tidak berani menatap Bu Rina. "Aku juga percaya waktu itu, Bu. Aku juga menaruh tabungan yang aku kumpulkan bertahun-tahun."
"Tapi bagaimana bisa?! Kamu sendiri yang mengajakku!" Bu Rina menatap tajam, tangannya mengepal di atas pangkuan.
Bu Mira menghela napas panjang, lalu akhirnya mengangkat kepalanya. "Aku juga tidak tahu, Bu Rina. Orang yang menghubungi aku dulu, yang mengajak investasi ini, sekarang juga sudah hilang entah ke mana. Nomornya tidak bisa dihubungi, kantornya kosong. Aku sendiri sudah coba mencari tahu, tapi hasilnya nihil."
Bu Rina mulai panik. Jika Bu Mira yang lebih dulu masuk dalam investasi ini saja tidak bisa mendapatkan uangnya kembali, maka bagaimana dengan dirinya?
"Tidak! Aku tidak bisa kehilangan uang sebanyak itu!" Bu Rina berdiri, tubuhnya bergetar. "Aku harus melakukan sesuatu. Kita harus cari orang itu!"
Bu Mira menggeleng. "Aku sudah mencoba. Beberapa orang lain yang ikut investasi ini juga sudah berusaha mencari, tapi tidak ada hasil."
Bu Rina mencengkram dadanya, napasnya mulai tersengal. "Kalau Adrian tahu, aku bisa mati!"
Mata Bu Mira menatapnya penuh simpati. "Adrian memang tidak boleh tahu, Bu. Dia pasti akan marah besar."
Bu Rina menutup wajahnya dengan kedua tangan. Ini mimpi buruk. Selama ini, ia selalu membanggakan dirinya sebagai orang yang cerdas dalam mengatur uang. Tapi sekarang? Ia malah terjebak dalam penipuan.
"Kalau begitu, aku harus mencari cara untuk menutupi ini," gumamnya pelan, lebih kepada dirinya sendiri.
Bu Mira mengangkat alis. "Maksudnya?"
Bu Rina menurunkan tangannya, ekspresi wajahnya sudah berubah—dari panik menjadi penuh tekad. "Aku harus cari uang dari tempat lain. Aku tidak bisa membiarkan Adrian tahu tentang ini."
Bu Mira tampak ragu. "Tapi, Bu... kita akan cari uang sebanyak itu di mana?”
"Saya tidak tau !" potong Bu Rina tajam. "Saya akan cari cara. Entah dengan meminjam uang atau... atau apa pun!"
Dalam hati, Bu Rina sudah mulai menyusun rencana. Jika uangnya tidak bisa kembali, maka ia harus mencari sumber lain untuk menutupinya.
Ia tidak peduli bagaimana caranya. Yang terpenting, Adrian tidak boleh tahu.
Bu Rina pulang ke rumah dengan langkah gontai, wajahnya penuh ketakutan dan kekecewaan. Sepanjang perjalanan, pikirannya kalut, mencari cara untuk menyembunyikan kebodohannya dari Adrian.
Saat ia masuk ke dalam rumah, ia melihat Dita sudah duduk di sofa ruang tamu, menyandarkan tubuhnya dengan ekspresi cemberut.
"Kamu kenapa, Nak? Kok cemberut gitu?" tanya Bu Rina, mencoba mengalihkan pikirannya sendiri dengan permasalahan anaknya.
Dita mendengus kesal. "Mama tahu nggak? Ternyata Anjani juga kerja di tempat Dita kerja! Dan dia jadi asisten sekretaris!"
Bu Rina yang tadinya ingin duduk langsung menegakkan punggungnya. "Apa? Anjani? Mantan kakak iparmu?"
"Iya, Ma!" suara Dita meninggi. "Dita malu banget! Masak Dita kalah sama perempuan itu? Dia yang dulu Dita hina-hina, yang Mama bilang nggak ada masa depan setelah cerai sama Mas Adrian, sekarang malah punya jabatan lebih tinggi dari Dita!"
Bu Rina terdiam, hatinya semakin terasa sesak. Ia sudah cukup pusing dengan masalah investasinya, dan sekarang ditambah kabar ini?
"Dia pasti sengaja, Ma," lanjut Dita dengan nada membenci. "Pasti dia mau pamer di depan Dita, nunjukkin kalau dia bisa hidup lebih baik setelah cerai sama Mas Adrian!"
Bu Rina mengepalkan tangannya. Sejujurnya, ia juga merasa tidak terima. Bagaimana mungkin Anjani, yang sudah mereka anggap tidak ada harganya, sekarang justru lebih baik dari Dita?
"Tidak bisa dibiarkan!" gumam Dita penuh emosi. "Dita nggak mau kalah dari dia, Ma. Dita harus cari cara biar dia keluar dari perusahaan itu!"
Bu Rina menatap putrinya. Sebagian dirinya ingin fokus menyelesaikan masalah investasinya terlebih dahulu, tetapi melihat Dita yang begitu marah membuatnya sadar—ia tidak bisa membiarkan Anjani terus naik sementara mereka justru terpuruk.
"Nak, kita harus pintar menghadapi ini," kata Bu Rina akhirnya, suaranya pelan tapi penuh makna. "Kalau kamu ingin menyingkirkan Anjani dari tempat kerja, jangan gegabah. Kita harus cari cara yang lebih halus... dan efektif."
Dita menyeringai kecil. "Mama punya rencana?"
Bu Rina menatap putrinya dalam-dalam. Jika ia kehilangan uangnya, setidaknya ia masih bisa memastikan Anjani tidak lebih bahagia dari mereka.
"Percayalah, Nak," katanya sambil tersenyum tipis. "Mama selalu punya cara."
Malam itu, setelah makan malam yang dipenuhi dengan amarah dan kekecewaan, Bu Rina dan Dita duduk di ruang tamu untuk membicarakan langkah selanjutnya.
"Dita nggak terima, Ma. Masa Dita cuma jadi cleaning service, sedangkan Anjani malah jadi asisten sekretaris?" Dita menekankan suaranya.
Bu Rina menyesap teh di tangannya dengan wajah berpikir. Ia harus menjatuhkan Anjani tanpa kelihatan mencolok.
"Kamu bilang dia asisten sekretaris, kan?" Bu Rina akhirnya bersuara. "Itu berarti dia bekerja langsung dengan atasan."
Dita mengangguk. "Iya, Ma. Dia kerja di bawah Pak Wiliam, pemilik perusahaan."
Bu Rina mengangkat alis. "Menarik. Kalau begitu, kita harus buat dia terlihat buruk di mata atasannya."
Dita menyeringai. "Mama maksudnya jebak dia?"
Bu Rina tersenyum penuh arti. "Bukan menjebak, tapi memperlihatkan kelemahannya. Kalau dia terlihat tidak kompeten, pasti akan mudah menyingkirkannya."
Dita mulai berpikir. "Tapi gimana caranya?"
Bu Rina menatap putrinya tajam. "Kamu cleaning service di sana, kan? Itu artinya kamu bisa masuk ke ruangan mana pun tanpa dicurigai. Ada banyak cara untuk membuatnya terlihat buruk. Salah satunya... pastikan dia melakukan kesalahan besar di depan Pak Wiliam."
Dita mulai tersenyum licik. "Misalnya dokumen penting hilang atau dia salah kirim laporan?"
"Persis," kata Bu Rina. "Kalau dia sampai melakukan kesalahan fatal, posisinya akan terancam. Bahkan mungkin dia akan dipecat."
Dita terkekeh puas. "Oke, Ma. Dita akan cari cara. Kita lihat berapa lama Anjani bisa bertahan di Megantara Group!"
Malam itu, keduanya mulai menyusun rencana. Mereka akan memastikan Anjani tidak akan bertahan lama di perusahaan itu.
Keesokan harinya, Dita mulai menjalankan rencananya. Seperti biasa, ia datang lebih awal ke kantor sebagai cleaning service. Tapi kali ini, ia bukan hanya datang untuk bekerja, melainkan juga untuk menghancurkan reputasi Anjani.
Saat membersihkan ruangan rapat, ia memperhatikan meja kerja Anjani dari jauh. Beberapa berkas tersusun rapi di atasnya. Itu pasti dokumen penting yang akan digunakan dalam rapat pagi ini.
"Kalau dokumen ini hilang atau rusak, pasti Anjani kena masalah," pikir Dita sambil menyeringai licik.
Dengan cepat, ia melirik sekeliling. Ruangan masih sepi. Ini kesempatan bagus. Ia segera melangkah ke meja Anjani dan mengambil salah satu map berisi dokumen. Bukan untuk mencurinya, tapi untuk menukarnya dengan berkas lain yang tidak ada hubungannya dengan rapat.
Tuk!
Dita tersenyum puas saat menutup kembali map itu. Sekarang, Anjani pasti akan terlihat ceroboh dan tidak kompeten.
Setelah selesai, ia kembali bekerja seperti biasa, menunggu momen ketika kekacauan akan terjadi.
Beberapa jam kemudian, Anjani melangkah ke ruang rapat dengan penuh percaya diri. Ia sudah memastikan semua dokumen yang dibutuhkan siap. Pak Wiliam, pemilik perusahaan, sudah duduk di kursinya, siap untuk mendengarkan laporan.
Anjani mulai mempresentasikan data yang sudah ia siapkan, tetapi saat ia membuka map dan membagikan dokumen ke hadapan semua orang, wajahnya langsung berubah pucat.
"Ini… ini bukan dokumen yang saya siapkan," suaranya terdengar panik.
Pak Wiliam mengernyit, mengambil salah satu berkas dan membacanya. "Apa ini? Ini laporan stok barang dari bulan lalu! Ini tidak ada hubungannya dengan proyek yang sedang kita bahas, Anjani!"
Anjani merasakan keringat dingin mengalir di pelipisnya. Ia yakin sudah menyiapkan dokumen yang benar. Tapi kenapa yang ada di tangannya justru dokumen yang salah?
"Maaf, Pak, saya tidak tahu bagaimana ini bisa terjadi. Saya—"
"Saya butuh laporan terbaru, bukan dokumen lama! Ini sangat tidak profesional!" suara Pak Wiliam terdengar tegas dan tajam.
Anjani menelan ludah, mencoba tetap tenang. Ia harus berpikir cepat.
"Saya bisa mengambil dokumen yang benar di meja saya sekarang juga, Pak," katanya segera.
Anjani segera keluar dari ruang rapat dengan langkah cepat, dadanya berdebar. Sesuatu tidak beres. Seseorang pasti sudah menukar dokumen ini!
Sementara itu, di balik pintu ruangan, Dita berdiri dengan senyum puas.
"Satu langkah berhasil. Tapi ini baru permulaan."
hrs berani lawan lahhh