NovelToon NovelToon
CINCIN TANPA NAMA

CINCIN TANPA NAMA

Status: sedang berlangsung
Genre:Action / CEO / Selingkuh / Romansa / Nikah Kontrak / Cintapertama
Popularitas:3.6k
Nilai: 5
Nama Author: Dri Andri

Alara Davina terpaksa menikah kontrak dengan Nathan Erlangga, CEO dingin yang menyimpan luka masa lalu. Saat cinta mulai tumbuh di antara mereka, Kiara Anjani—sahabat yang ia percaya—ternyata adalah cinta pertama Nathan yang kembali dengan niat jahat. Pengkhianatan demi pengkhianatan menghancurkan Alara, bahkan membuatnya kehilangan calon buah hati. Dalam pusaran air mata dan kepedihan, bisakah cinta sejati bertahan? Sebuah perjalanan emosional tentang cinta, pengkhianatan, dan penebusan yang akan mengguncang hati setiap pembaca hingga ending bahagia yang ditunggu-tunggu.

Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Dri Andri, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri

BAB 23: KETIKA KESALAHAN TIDAK BISA DIMAAFKAN**

# **

Alara pulang ke mansion dengan tubuh yang rasanya sudah tidak punya tulang. Begitu masuk, Bi Sari langsung menghampiri dengan wajah khawatir—sudah dengar kabar dari Nathan rupanya.

"Nona Alara—"

"Aku mau sendiri, Bi," potong Alara pelan. Suaranya datar—terlalu lelah untuk emosi lagi.

Bi Sari mengangguk dengan mata berkaca-kaca. "Baik, Nona. Kalau butuh apa-apa, panggil Bi ya."

Alara naik ke kamarnya—kamar yang semalam masih penuh kehangatan Nathan, sekarang terasa kosong dan dingin. Ia merebahkan diri di tempat tidur tanpa berganti pakaian, menatap langit-langit dengan pandangan kosong.

*Aku mengundurkan diri.*

Kata-kata itu terngiang terus. Kata-kata yang keluar dari mulutnya sendiri tapi terasa seperti orang lain yang ngomong.

Ponselnya—yang sudah ia nyalakan lagi—bergetar terus. Puluhan pesan masuk. Tapi ia tidak sanggup baca.

Sampai satu pesan membuat jantungnya berhenti.

**Nathan:** *Aku batalkan pengunduran dirimu. Kamu masih karyawan Erlangga Corp. Dan kamu akan selesaikan proyek Emerald Heights. Aku kasih kamu 5 hari. Aku percaya kamu bisa.*

Alara duduk tiba-tiba—menatap pesan itu dengan pandangan tidak percaya.

Jemarinya gemetar mengetik balasan.

**Alara:** *Nathan, aku sudah mengundurkan diri. Dewan direksi setuju. Kenapa kamu—*

**Nathan:** *Aku CEO. Aku punya final say. Dan aku bilang kamu BELUM resign. Kamu masih punya kesempatan. 5 hari. Buktikan.*

**Alara:** *Tapi file aku hilang semua. Desainnya—*

**Nathan:** *Kita mulai dari awal. Bareng. Aku akan bantu.*

Alara menatap pesan itu lama. Air matanya jatuh—tapi kali ini bukan air mata sedih. Ini air mata... campur aduk. Lega, takut, berterima kasih, tapi juga bersalah.

*Nathan mempertaruhkan kredibilitasnya lagi. Untuk aku. Padahal aku sudah gagal.*

Tapi di saat yang sama... ada sesuatu di dadanya yang bergetar. Sesuatu yang bilang: *Ini kesempatan terakhir. Kesempatan untuk buktiin—bukan ke orang lain, tapi ke diri sendiri—kalau aku BISA.*

Alara menghapus air matanya. Bangkit dari tempat tidur. Berjalan ke meja kerjanya yang masih berantakan dengan sketsa dan kertas.

Ia menyalakan laptop—menatap desktop yang kosong.

Lalu ia buka kertas sketsa baru. Ambil pensil.

Dan mulai menggambar dari nol.

---

**JAM 10 MALAM**

Nathan pulang ke mansion dengan tubuh yang lelah tapi pikiran yang tidak bisa tenang. Sepanjang hari setelah rapat, ia menghadapi tekanan dari dewan direksi, dari Pak Hendra yang terus protes, dari email Mr. Hartawan yang mengancam akan batalkan investasi.

Tapi ia tidak peduli.

Yang ia peduli adalah Alara.

Begitu masuk, Bi Sari berbisik, "Nona Alara di kamarnya sejak tadi sore. Belum makan malam, Tuan. Bi sudah coba tawarin tapi Nona bilang nggak lapar."

Nathan menghela napas panjang—campuran lega karena Alara di rumah, tapi khawatir karena Alara tidak makan.

Ia naik ke lantai dua dengan langkah cepat. Berhenti di depan pintu kamar Alara—pintu yang tertutup tapi ada cahaya dari celah bawah pintu.

Nathan mengetuk pelan. "Alara? Boleh masuk?"

Tidak ada jawaban.

Ia buka pintu perlahan—dan yang ia lihat membuat dadanya sesak.

Alara duduk di meja kerjanya—dikelilingi tumpukan kertas sketsa, pensil berserakan, laptop menyala, mata merah karena terlalu fokus. Rambutnya berantakan diikat asal. Wajahnya pucat.

Tapi tangannya tidak berhenti bergerak—menggambar, menghapus, menggambar lagi.

"Alara," panggil Nathan pelan sambil melangkah masuk.

Alara mengangkat wajah—matanya sembab tapi ada sesuatu di sana. Tekad. Tekad yang rapuh tapi tetap ada.

"Nathan..." Suaranya serak. "Aku... aku lagi coba buat ulang desainnya. Dari awal. Tapi aku nggak tahu—" Suaranya bergetar. "—aku nggak tahu apakah ini akan cukup bagus. Apakah lima hari cukup. Apakah—"

Nathan berjalan mendekat, berlutut di samping kursi Alara. Tangannya menggenggam tangan Alara yang dingin dan gemetar.

"Lima hari cukup," bisiknya. "Karena kamu nggak sendirian. Aku di sini."

Alara menatapnya dengan mata berkaca-kaca. "Tapi kamu sudah... kamu sudah banyak bantu. Dewan direksi marah sama kamu gara-gara aku. Kredibilitasmu—"

"Fuck kredibilitas," Nathan mengumpat—jarang sekali ia kasar di depan Alara. "Aku nggak peduli apa kata mereka. Yang aku peduli adalah kamu. Dan kamu akan selesaikan ini. Aku tahu kamu bisa."

"Tapi bagaimana kalau aku gagal lagi—"

"Kamu nggak akan gagal." Nathan berdiri, menarik kursi lain, dan duduk di samping Alara. "Karena kali ini, kita kerja bareng. Dari awal sampai akhir."

Ia membuka laptop-nya sendiri—yang selalu ia bawa—dan mulai membuka file referensi.

"Sekarang," katanya sambil menatap Alara dengan senyum kecil yang menenangkan. "Cerita ke aku, visi kamu untuk Emerald Heights itu seperti apa. Dari awal. Aku mau dengar."

Alara terdiam—menatap Nathan yang duduk di sampingnya, yang merelakan waktunya—waktu CEO yang sangat berharga—untuk duduk di sini, mendengarkan, membantu.

Dan sesuatu di dadanya... hangat.

"Aku..." Alara menarik napas dalam. "Aku mau bikin desain yang... yang menggabungkan luxury tapi tetap eco-friendly. Seperti oasis di tengah kota. Taman vertikal di setiap lantai, rooftop garden, solar panel yang integrated ke desain—bukan cuma diletakkan begitu aja tapi jadi bagian dari estetika—"

Alara mulai bicara—awalnya terbata-bata, tapi semakin lama semakin lancar. Matanya mulai berbinar saat menjelaskan visinya. Tangannya bergerak—menunjuk sketsa, menjelaskan konsep.

Nathan mendengarkan dengan seksama—sesekali bertanya, memberikan input, memberikan ide. Mereka brainstorming bareng—tidak ada gap antara CEO dan designer. Hanya dua orang yang bekerja untuk satu tujuan.

---

**JAM 12 MALAM**

"Alara, kamu harus makan," kata Nathan sambil berdiri. "Kamu belum makan dari siang."

"Aku nggak lapar—"

"Bohong." Nathan sudah berjalan keluar kamar. "Tunggu di sini."

Sepuluh menit kemudian, Nathan kembali dengan nampan—sandwich sederhana dan segelas susu hangat.

"Aku nggak bisa masak yang ribet," katanya sambil tersenyum malu. "Jadi... sandwich aja."

Alara menatap Nathan—CEO yang biasanya dilayani orang, sekarang membuatkan sandwich untuknya dengan tangan sendiri—dan air matanya jatuh lagi.

"Kenapa nangis?" Nathan panik.

"Karena kamu... kamu terlalu baik sama aku," bisik Alara. "Padahal aku sudah bikin kamu kecewa—"

"Kamu nggak pernah bikin aku kecewa." Nathan duduk lagi, mengusap air mata Alara dengan ibu jari. "Yang bikin aku kecewa adalah orang yang sabotase kamu. Dan aku akan cari tahu siapa."

Alara terdiam—pertanyaan itu juga ada di kepalanya. Siapa? Siapa yang benci padanya sampai segitunya?

Tapi sekarang bukan waktunya mikirin itu. Sekarang waktunya untuk fokus.

"Makan dulu," kata Nathan sambil menyodorkan sandwich. "Terus kita lanjut lagi."

Alara makan—walau setiap suapan terasa berat. Tapi Nathan memerhatikannya dengan tatapan yang... peduli. Tatapan yang membuat Alara merasa... tidak sendirian.

---

**3 HARI BERIKUTNYA**

Alara dan Nathan bekerja siang malam. Nathan mengatur jadwalnya—menolak meeting yang tidak urgent, delegasi tugas ke direktur lain—supaya bisa ada untuk Alara.

Setiap malam, Nathan pulang dengan membawakan makanan. Kadang nasi goreng dari resto favorite Alara. Kadang pizza karena mereka terlalu lelah untuk makan yang berat. Kadang hanya kopi—dua gelas, satu untuk Alara, satu untuk Nathan.

Mereka kerja sampai dini hari—duduk berdampingan di meja kerja yang mulai penuh dengan sketsa baru, print-out desain, notes brainstorming.

Kadang Alara frustasi—menghapus desain yang sudah setengah jadi karena merasa belum pas. Nathan tidak marah. Ia hanya duduk di sana, mengelus punggung Alara, membisikkan "kamu bisa, coba lagi".

Kadang Nathan yang lelah—mata yang mulai merah karena kurang tidur, tapi ia tidak pernah komplain. Alara yang memaksanya istirahat—"Nathan, kamu harus tidur. Besok kamu masih harus ke kantor."

Tapi Nathan menggeleng. "Aku tidur nanti. Sekarang kamu lebih penting."

Malam ketiga, Alara tertidur di meja kerja—kelelahan yang tidak tertahankan. Nathan menatapnya lama—menatap wajah yang lelah tapi damai dalam tidur.

Ia mengangkat Alara dengan hati-hati—bridal style—membawanya ke tempat tidur. Menyelimutinya dengan lembut.

Lalu ia kembali ke meja kerja—melanjutkan bagian yang Alara belum selesaikan. Membuat technical drawing, menghitung budget, menyusun presentation deck.

Ia bekerja sampai subuh—sampai matanya perih, sampai punggungnya sakit.

Tapi ia tidak berhenti.

Karena ini untuk Alara.

Untuk wanita yang ia cintai.

---

**PAGI HARI KE-5**

Alara terbangun dengan tubuh yang masih lelah. Tapi begitu ia lihat meja kerjanya—ia terdiam.

Semua sudah selesai.

Desain finalized. Technical drawing completed. Presentation deck ready.

Dan di samping laptop—selembar note dengan tulisan tangan Nathan:

*"Kamu sudah kerja keras. Sisanya aku yang selesaikan. Sekarang istirahat. Nanti sore kita presentasi bareng. Aku percaya kamu. - N"*

Air mata Alara jatuh—tapi kali ini air mata berterima kasih yang tidak bisa diungkapkan dengan kata-kata.

Ia meraih ponselnya, mengetik pesan.

**Alara:** *Terima kasih. Untuk semuanya. Aku nggak tahu harus balas gimana.*

Balasan datang cepat.

**Nathan:** *Kamu nggak perlu balas apa-apa. Kamu cuma perlu percaya diri presentasi nanti. Dan aku akan ada di sampingmu. Selalu.*

Alara memeluk ponselnya—memeluk erat seolah memeluk Nathan.

*Aku nggak layak untuk kamu. Tapi aku akan buktiin—aku akan buktiin kalau kepercayaanmu tidak salah.*

---

**[BERSAMBUNG KE BAB 24]**

1
Nunung Nurasiah
kok lemah banget ya ci alara...
Dri Andri: belum saat nya jadi kuat
makasih dah mampir
total 1 replies
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!