Alana tak percaya pada cinta—bukan sejak patah hati, tapi bahkan sebelum sempat jatuh cinta. Baginya, cinta hanya ilusi yang perlahan memudar, seperti yang ia lihat pada kedua orang tuanya.
Namun semuanya berubah saat Jendral datang. Murid baru yang membawa rasa yang tak pernah ia harapkan. Masalahnya, Naresh—sahabat yang selalu ada—juga menyimpan rasa yang lebih dari sekadar persahabatan.
Kini, Alana berdiri di persimpangan. Antara masa lalu yang ingin ia tolak, dan masa depan yang tak bisa ia hindari.
Karena cinta, tak pernah sesederhana memilih.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Candylight_, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 16 — Beasiswa dan Ancaman yang Tidak Terucap
SMA Bina Cita Mandala kembali dibuat heboh. Kali ini bukan karena kedatangan murid baru, melainkan karena salah satu murid unggulan di sekolah mereka—Nisya—dikeluarkan dari daftar penerimaan beasiswa. Padahal, Nisya bisa berada di sekolah itu murni berkat prestasinya.
"Ini seriusan Nisya dikeluarin dari daftar beasiswa?"
"Padahal, nilainya nggak mengalami penurunan sama sekali. Kenapa tiba-tiba dikeluarin?"
"Makanya! Kenapa coba sekolah ini ngeluarin murid pinter dari daftar beasiswa?"
Murid-murid mulai berbisik dan mempertanyakan apa yang sebenarnya terjadi. Jika Nisya dikeluarkan dari beasiswa, itu sama saja dengan mengusirnya dari sekolah. Karena semua orang tahu dari keluarga mana Nisya berasal—anak dari asisten rumah tangga dan sopir di rumah keluarga Astareyna.
"Menurut gue sih, ini ada hubungannya sama Kaluna. Kalian tahu sendiri Nisya pernah ada urusan sama Kaluna."
"Tapi kan kita juga tahu Kaluna selalu pake cara nindas murid lain biar keluar sendiri, jadi mungkin bukan Kaluna."
"Iya juga sih, mungkin ada alesan lain."
Asumsi demi asumsi murid terus terdengar setelah Nisya resmi dikeluarkan dari daftar beasiswa. Banyak yang tampak tidak setuju, karena menurut mereka, keputusan ini tidak adil.
Di antara murid-murid yang berbisik dan berasumsi, ada Kaluna yang menampilkan senyuman. Ia merasa menang karena berhasil menyingkirkan Nisya dari sekolah dengan cara cerdas—tanpa perlu mengotori tangannya.
Sejak Alana mempermalukannya satu bulan yang lalu, Kaluna menjalani harinya dengan rasa dendam yang membara. Ia tidak terima, dan menyingkirkan Nisya adalah bentuk pelampiasannya.
"Lo udah nggak deket sama Jendral, tapi lo udah jadi penyebab gue dipermalukan sama Alana," gumam Kaluna, berharap Nisya mendengar itu. Meski sekarang ia hanya bicara dalam hati.
Liona dan Savana, yang tahu bahwa ini adalah ulah Kaluna, hanya saling menatap dan tersenyum. Mereka seakan ikut menikmati kemenangan Kaluna.
***
Nisya yang mengetahui dirinya dikeluarkan dari daftar beasiswa menangis sejadi-jadinya di kelas. Suara tangisnya terdengar keras, meskipun ia dikenal sebagai murid pendiam.
"Lo kenapa?" tanya Alana saat memasuki kelas dan melihat Nisya menangis. Ia mengira ada yang mengganggu atau membuli Nisya, seperti yang pernah terjadi. Alana belum tahu soal penghapusan nama Nisya dari daftar beasiswa, karena terkadang ia memang tidak terlalu memedulikan bisik-bisik yang beredar di sekolah.
Jendral yang juga baru tiba bersama Alana ikut bingung melihat Nisya menangis. Namun, ia tidak bertanya langsung apa yang terjadi pada Nisya. Ia hanya menunjukkan gestur bertanya kepada teman sekelas mereka yang lain dengan dagunya.
"Nisya dikeluarkan dari daftar beasiswa," jawab salah satunya. Ia seakan mewakili Nisya menjawab, karena Nisya masih terus menangis tanpa mengucapkan sepatah kata pun.
"Kenapa?" tanya Alana, berusaha untuk tidak langsung marah setelah mengetahui hal itu.
"Kita juga nggak tahu, nggak ada penjelasan apa pun dari pihak sekolah," jelas murid yang sama.
Alana langsung tahu ada yang tidak beres. Ia keluar dari kelas tanpa melepas atau menyimpan tas yang masih tergantung di punggungnya.
"Eh, tunggu," ujar Jendral yang tidak ingin ketinggalan apa pun, lalu menyusul Alana. Ia khawatir Alana akan melakukan hal gila lagi hari ini.
Murid lain tidak ikut menyusul. Mereka memutuskan untuk tetap berada di dalam kelas. Meskipun dikenal sebagai murid ambis yang tidak suka gosip atau drama, mereka cukup solid jika terjadi hal seperti ini.
"Lo tenang dulu, pasti ada solusi kok," ungkap salah satu dari mereka.
Mereka tahu keluarga Nisya tidak mungkin mampu membayar biaya sekolah jika Nisya memutuskan tetap bersekolah di sana. Namun, mereka juga tahu bahwa orang yang berdiri di belakang Nisya bukan orang sembarangan. Alana pasti tidak akan tinggal diam setelah mengetahui Nisya dikeluarkan dari daftar beasiswa tanpa penjelasan.
Nisya berharap itu benar—bahwa akan ada solusi untuk masalahnya. Namun, solusi yang dibutuhkan saat ini adalah uang, dan keluarganya tidak memilikinya. Jadi, Nisya hanya bisa menangisi nasibnya.
"Kayaknya ini salah deh, mending kita tunggu Alana dulu," ucap salah satu dari mereka, dan diangguki oleh yang lain. Mereka tampak percaya bahwa Alana akan bisa menyelesaikan semuanya.
Alana dan Jendral berjalan di koridor menuju ruang kepala sekolah seperti sepasang kekasih yang siap menghadapi dunia bersama. Alana yang dikenal di sana sebagai yang paling berkuasa di antara yang berkuasa, dan Jendral, si murid yang baru satu bulan pindah, namun memiliki latar belakang yang kuat. Mereka terlihat serasi.
Namun sayangnya, kehadiran mereka bukan untuk membuat orang kagum, melainkan untuk mempertanyakan sesuatu kepada orang yang bisa diminta pertanggungjawaban.
Setibanya di depan ruang kepala sekolah, Alana langsung masuk tanpa mengetuk pintu ataupun melakukan basa-basi lainnya.
"Kenapa Nisya dikeluarkan dari daftar beasiswa?" tanya Alana tanpa memperdulikan reaksi kepala sekolah yang terkejut dengan kedatangannya.
Jendral masih mengikuti di belakang Alana hingga mereka tiba di ruang kepala sekolah. Dia akan memastikan Alana tetap berada dalam perlindungannya.
"Kamu seharusnya mengetuk pintu terlebih dahulu," ucap kepala sekolah berusaha tenang menghadapi Alana. Bagaimanapun, dia seorang pemimpin sekolah, harus memiliki wibawa, dan tidak boleh mentolerir sikap kurang ajar murid.
"Kenapa saya harus peduli dengan itu kalau pihak sekolah bisa mengeluarkan murid dari daftar beasiswa tanpa kejelasan?" balas Alana tajam.
Jendral merasa bangga dengan cara Alana menanggapi kepala sekolah. Tenang, tapi membuat lawan bicara menelan ludah gugup.
"Bukan tanpa penjelasan, sebenarnya kami sudah berniat memberitahu alasannya," ucap kepala sekolah beralasan. Namun, itu tidak cukup membuat Alana puas.
"Berniat memberitahu alasan? Atau masih mencari-cari alasan?" tanya Alana sedikit menyindir. Ia tahu pihak sekolah hanya sedang mencari-cari alasan.
"Kami benar-benar memiliki alasan, Alana," ucap kepala sekolah meyakinkan.
Alana memutar mata, tak percaya pada perkataan kepala sekolah. "Kembalikan beasiswa Nisya, atau rahasia gelap sekolah ini akan tersebar di media."
Kepala sekolah mulai berkeringat dingin. Sementara itu, Jendral masih menyimak dengan tenang di belakang Alana. Meski tidak tahu rahasia gelap apa yang dimaksud Alana, Jendral tahu satu hal—Alana-nya keren sekali hari ini.
"Kembalikan beasiswanya hari ini juga, atau rahasia gelap sekolah ini akan tersebar sebelum matahari muncul besok," ucap Alana lagi. Ia bukan sedang bernegosiasi, tapi sedang melontarkan peringatan keras.
Setelah mengatakan itu, Alana berjalan pergi begitu saja dari ruang kepala sekolah. Ia yakin kepala sekolah pasti akan mempertimbangkan perkataannya. Tidak mungkin kepala sekolah membiarkan rahasia gelap sekolah mereka tersebar.
Jendral kembali mengikuti Alana. Tanpa pamit ataupun berbasa-basi kepada kepala sekolah. Jika mendengar perkataan Alana dan melihat reaksi kepala sekolah tadi, rasanya rahasia gelap itu cukup kelam sampai bisa membuat kepala sekolah ketakutan.
"Curang banget sih, gue makin jatuh cinta sama Alana, tapi Alana masih belum buka hatinya," batin Jendral sambil terus mengikuti ke mana kaki Alana melangkah.