Aruna telah lama terbiasa sendiri. Suaminya, Bagas, adalah fotografer alam liar yang lebih sering hidup di rimba daripada di rumah. Dari hutan hujan tropis hingga pegunungan asing, Bagas terus memburu momen langka untuk dibekukan dalam gambar dan dalam proses itu, perlahan membekukan hatinya sendiri dari sang istri.
Pernikahan mereka meredup. Bukan karena pertengkaran, tapi karena kesunyian yang terlalu lama dipelihara. Aruna, yang menyibukkan diri dengan perkebunan luas dan kecintaannya pada tanaman, mulai merasa seperti perempuan asing di rumahnya sendiri. Hingga datanglah Raka peneliti tanaman muda yang penuh semangat, yang tak sengaja menumbuhkan kembali sesuatu yang sudah lama mati di dalam diri Aruna.
Semua bermula dari diskusi ringan, tawa singkat, lalu hujan deras yang memaksa mereka berteduh berdua di sebuah saung tua. Di sanalah, untuk pertama kalinya, Aruna merasakan hangatnya perhatian… dan dinginnya dosa.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Dewi Adra, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
TDT 9
Malam itu, sunyi terasa berbeda. Ponsel Aruna tiba-tiba bergetar di atas meja kayu panjang di ruang tamu, mengusik pikirannya yang sedang berkelana entah ke mana. Sebuah nama muncul di layar: Bagas.
Dunia seperti berhenti sejenak. Jari-jarinya kaku, enggan menyentuh layar. Tapi naluri sebagai istri atau entah sekadar kebiasaan bertahun-tahun membuatnya akhirnya mengangkat panggilan itu.
“Halo?”
Suara berat dan cuek itu langsung menyambar masuk, tanpa jeda, tanpa basa-basi.
“Aku udah sampai Jakarta. Baru landing.”
Aruna menahan napas. Matanya menatap kosong ke luar jendela.
“Sekarang?” tanyanya pelan.
“Hmm, iya. Tadi nemu flight kosong, langsung aja naik. Aku bosen nunggu di pedalaman.”
Nada suaranya seperti biasa dingin, seolah dunia hanya berputar di poros langkahnya sendiri.
“Kenapa nggak bilang dulu kalau pulang hari ini?”
Pertanyaannya lebih seperti gumaman, tak berharap dijawab.
“Baru bisa. Sinyalnya payah. Lagian juga, buat apa kasih kabar dulu? Yang penting udah nyampe, kan?”
Kalimat itu seperti hujan di tanah retak bukan menyegarkan, tapi menyakitkan. Aruna menunduk, mencoba menelan kecewa yang datang tanpa diundang.
“Mau aku jemput?” tawarnya, walau ia tahu jawabannya.
“Gak usah. Aku naik taksi aja. Udah malem juga. Besok kita ngobrol, ya.”
Klik. Sambungan terputus. Sesederhana itu. Segersang itu.
Aruna tetap memegang ponselnya, tak bergeming. Rasa sesak menjalari dadanya. Senyum yang tadi sore sempat menghias wajahnya kini perlahan luntur. Bagas pulang. Lelaki yang telah dua puluh tahun bersamanya namun belakangan ini lebih sering menjadi bayang-bayang daripada kenyataan.
Dan entah kenapa, pikirannya justru kembali melayang pada sosok lain. Pada tatapan teduh dan suara tenang Raka saat siang tadi berbicara tentang keraguan dan masa depan.
Ia menarik napas panjang, menatap langit-langit rumah yang tiba-tiba terasa asing.
"Aku harus kuat," bisiknya pada dirinya sendiri, walau ia sendiri tak yakin... kuat untuk apa, atau untuk siapa.
Jarum jam sudah melewati angka dua belas dini hari. Rumah itu sunyi, tenggelam dalam gelap dan desah malam yang hening. Tak ada suara kecuali dentingan halus jam dinding dan hembusan pendingin ruangan yang nyaris tak terdengar.
Pintu depan terbuka perlahan, nyaris tanpa bunyi. Seorang pria berperawakan tinggi, berambut kusut, dengan jaket lusuh dan ransel di punggungnya masuk begitu saja. Tak perlu membangunkan siapa pun ia punya kunci serep, dan ini rumahnya.
Bagas.
Wajahnya terlihat letih. Debu dari perjalanan panjang masih menempel di ujung celana dan kerah jaketnya. Ia melempar ranselnya ke lantai, menggerakkan bahunya perlahan untuk melepaskan pegal. Dari dapur, ia melangkah santai, membuka tudung saji. Matanya menatap isi piring: ayam rica, tinggal beberapa potong.
"Masih lumayan," gumamnya pelan. Tanpa basa-basi, ia mengambil satu potong, menggigitnya langsung tanpa piring, sambil membuka kulkas dengan tangan satu lagi. Botol susu dingin dikeluarkannya, dituangkan sembarangan ke gelas besar.
Setelah itu, langkahnya menuju kamar. Ia membuka pintu pelan. Cahaya remang dari lorong menyorot wajah istrinya yang tertidur lelap di sisi ranjang.
Ia diam sejenak. Pandangannya mengamati sosok itu. Wajah yang dulu ia rindukan, kini terasa... biasa. Datar. Seolah perasaan sudah tertinggal di tahun-tahun lampau, entah di hutan mana terakhir kali.
Bagas menggaruk kepalanya. Ia tak ingin mengusik. Dengan napas berat, ia menutup kembali pintu kamar, lalu menjatuhkan tubuhnya di sofa ruang tengah. Jaket masih menempel, sepatu tak dilepas, bahkan gelas susunya masih tersisa di meja.
Dan seperti malam yang menelannya perlahan, ia pun tertidur sendirian, di rumahnya sendiri yang kini terasa asing.
Sejak kehadiran Raka dalam hidupnya, Aruna mulai terbiasa menyetel alarm pukul 06.30 setiap pagi. Ia tak ingin terlihat kusut, bau, atau berantakan di depan pria muda itu. Ia ingin tetap tampil anggun rapi dan terjaga.
Begitu dering alarm berbunyi, Aruna langsung terbangun. Dengan langkah ringan, ia masuk ke kamar mandi, menyegarkan tubuh, memilih pakaian, lalu berdandan seperti menyambut pagi yang penuh kemungkinan.
Namun, langkahnya terhenti ketika ia membuka pintu kamar.
Di sofa ruang tengah, Bagas masih terbaring dengan posisi tak karuan. Jaketnya belum dilepas, sepatunya masih menempel, dan aroma keringat campur debu perjalanan memenuhi udara.
Aruna menghela napas panjang. Matanya menatap lelaki yang pernah membuatnya jatuh cinta dulu. Tapi kini, yang tertidur di sofa itu seperti pria asing lusuh, acuh, tak peduli penampilan, bahkan seolah lupa caranya hadir sebagai seorang suami.
Ia mendekat perlahan.
"Mas... pindah ke kamar, yuk. Tidur di sofa bikin pegal," ucapnya pelan, setengah hati.
Bagas hanya bergumam, “Hmm... iya...” tanpa membuka mata. Tak ada usaha untuk bangun. Hanya gerakan kecil seperti menggeser bantal sofa. Aroma tubuhnya menusuk hidung Aruna, membuat perutnya seketika mual. Mood-nya langsung runtuh.
“Mas... hari ini ada tamu datang ke rumah,” katanya mencoba memberi alasan agar Bagas bergerak. Tapi tetap, tak ada tanggapan berarti. Hanya dengusan napas dan punggung yang kini membalik ke sisi lain.
Aruna berdiri mematung sejenak, sebelum akhirnya berbalik. Di balik wajahnya yang tetap tenang, ada satu perasaan yang menyeruak pelan-pelan:
Kecewa.
Dan mungkin... kesepian.
Pagi itu, seperti biasa, Raka datang tepat waktu. Mobilnya berhenti di halaman, dan ia duduk santai di teras, memainkan ponsel sambil menunggu Aruna keluar. Hanya berselang beberapa menit, Aruna muncul dengan tampilan rapi dan aroma segar yang menyapa pagi.
"Selamat pagi, Bu Aruna," ucap Raka sembari berdiri.
“Pagi, Mas Raka,” jawab Aruna dengan senyum yang tak bisa disembunyikan.
Tanpa banyak basa-basi, Raka segera menyampaikan kabar dari lapangan. Ia sudah menelepon mandor di perkebunan sejak pagi tadi, dan hasil pengamatan awal menunjukkan perkembangan yang positif di sektor C. Pengendalian hama mulai menunjukkan dampak.
“Mulai besok saya akan langsung ke lokasi, Mbak. Jadi nggak perlu mampir ke sini dulu. Biar waktunya lebih efisien,” kata Raka sambil membuka catatan kecilnya.
Aruna mengangguk pelan. Entah kenapa, ada sedikit ruang kosong di dadanya mendengar kalimat itu.
Namun, di dalam rumah, terdengar suara gesekan dan langkah berat. Bagas terbangun oleh suara di teras. Matanya menyipit karena cahaya pagi, tubuhnya masih lelah akibat perjalanan semalam. Ia mengangkat tubuhnya dari sofa, berjalan dengan langkah gontai menuju jendela, mengintip dari sela tirai.
Pandangan matanya tertumbuk pada sosok pria muda yang duduk bersama istrinya.
Dahi Bagas mengernyit. Ia tidak mengenal pria itu. Pakaian rapi, bahasa tubuh percaya diri, dan cara istrinya menyambut tamu itu membuatnya bertanya-tanya.
Tanpa mengucap sepatah kata, ia berbalik dan melangkah ke kamar.
prosanya sip...mkin skbma novel mu thor