Mengisahkan mengenai Debby Arina Suteja yang jatuh cinta pada pria yang sudah beristri, Hendro Ryu Handoyo karena Hendro tak pernah jujur pada Debby mengenai statusnya yang sudah punya istri dan anak. Debby terpukul sekali dengan kenyataan bahwa Hendro sudah menikah dan saat itulah ia bertemu dengan Agus Setiaji seorang brondong tampan yang menawan hati. Kepada siapakah hati Debby akan berlabuh?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Serena Muna, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Masih Belum Usai
Reksa tak bisa lagi tinggal diam melihat Hendro semakin kehilangan akal sehatnya. Kematian Nirmala, istrinya, yang tak sedikit pun membuat Hendro bergeming, ditambah serangkaian teror yang dilakukan putranya, sudah menjadi batas kesabaran Reksa. Ia tahu, Hendro membutuhkan pertolongan profesional.
Dengan hati berat, Reksa membuat janji dengan sebuah rumah sakit jiwa terkemuka. Pagi itu, ia mendatangi Hendro di apartemennya, ditemani beberapa perawat rumah sakit jiwa yang sudah ia hubungi sebelumnya.
"Hendro, kita harus bicara," kata Reksa, mencoba bersikap tenang meskipun hatinya berdebar.
Hendro yang sedang asyik bermain ponsel menoleh dengan malas. "Ada apa lagi, Ayah? Aku sibuk."
"Kamu tidak sibuk, Hendro. Kamu sakit," ujar Reksa. "Kita akan pergi ke rumah sakit."
Mendengar kata 'rumah sakit', Hendro langsung mendengus. "Aku tidak sakit! Aku baik-baik saja!" Ia mulai merasakan ada yang tidak beres.
"Kamu sakit, Nak. Kamu butuh bantuan. Ini demi kebaikanmu," Reksa berusaha membujuk.
"Tidak! Aku tidak mau ke mana-mana! Aku baik-baik saja! Kalian semua yang gila!" teriak Hendro, mulai menunjukkan perlawanan. Ia melihat dua perawat yang berdiri di belakang Reksa dan langsung menyadari niat ayahnya. "Jangan mendekat! Aku tidak mau! Aku akan telepon polisi!"
Hendro mencoba berlari, namun perawat dengan sigap menghalanginya. Perlawanan sengit pun terjadi. Hendro berteriak, meronta, dan mencoba memukul para perawat. Ia tidak ingin dibawa ke rumah sakit jiwa.
"Lepaskan aku! Kalian tidak tahu siapa aku! Aku anak Reksa! Kalian akan menyesal!" teriak Hendro dengan mata melotot.
Namun, para perawat sudah terlatih menghadapi situasi seperti ini. Dengan sigap dan hati-hati, mereka berhasil mengamankan Hendro. Reksa hanya bisa menatap putranya dengan tatapan pilu, hatinya remuk melihat Hendro berjuang seolah-olah ia adalah musuh.
Setelah pergulatan yang cukup menegangkan, Hendro akhirnya berhasil dibawa ke rumah sakit jiwa. Ia diperiksa oleh dokter ahli kejiwaan. Dokter melakukan serangkaian tes dan observasi. Beberapa jam kemudian, hasil pemeriksaan keluar.
"Pak Reksa, setelah kami periksa, putra Anda memang mengalami gangguan kejiwaan," jelas dokter dengan nada serius. "Ada indikasi obsesi kompulsif yang parah dan delusi. Kondisinya membutuhkan penanganan serius dan intensif."
Reksa hanya bisa menghela napas panjang. Meskipun sedih, ada sedikit kelegaan karena akhirnya ia tahu apa yang terjadi pada putranya. "Bisakah dia sembuh, Dok?" tanya Reksa penuh harap.
Dokter mengangguk. "Dengan penanganan yang tepat dan dukungan keluarga, ada kemungkinan besar kondisinya bisa membaik. Tapi ini akan menjadi proses yang panjang."
Reksa hanya bisa pasrah. Ia tahu, jalan untuk menyembuhkan Hendro tidak akan mudah. Namun, ia bertekad untuk melakukan apa pun demi putranya, meskipun Hendro telah menyakiti banyak orang dan menyebabkan penderitaan yang luar biasa. Ia berharap, suatu hari nanti, Hendro bisa kembali menjadi putranya yang dulu, sebelum obsesi dan kegilaan menguasai dirinya.
****
Setelah kunjungan yang cukup menegangkan di rumah orang tua Debby, keduanya kembali ke apartemen mereka yang bersebelahan. Suasana di dalam mobil terasa campur aduk: lega karena telah melewati "ujian" pertama, namun juga sedikit cemas memikirkan reaksi Lukman dan Rena terhadap perbedaan usia mereka.
Sesampainya di depan pintu apartemen Debby, wanita itu menoleh pada Agus dengan senyum tipis. "Agus, terima kasih banyak ya sudah mau menemaniku dan menemui orang tuaku."
Agus tersenyum lembut. "Tidak masalah, Mbak Debby. Aku senang bisa bertemu mereka." Ia melihat kelegaan di mata Debby, dan itu membuatnya merasa lebih yakin dengan langkah yang diambilnya.
"Aku tahu mungkin ini tidak mudah bagi mereka, terutama dengan perbedaan usia kita," ujar Debby, sedikit merenung. "Tapi setidaknya, mereka sudah tahu tentangmu."
Agus mengangguk. "Itu awal yang baik. Sekarang giliran aku."
Debby menatap Agus dengan tatapan penasaran. "Giliranmu bagaimana?"
Agus meraih tangan Debby, menggenggamnya erat. "Aku akan segera membawamu menemui orang tuaku."
Mendengar ucapan Agus, Debby sedikit terkejut, namun hatinya dipenuhi kebahagiaan. Ia tidak menyangka Agus akan secepat ini mengambil langkah serius. "Kamu serius, Agus?"
"Tentu saja aku serius, Mbak Debby," jawab Agus dengan tatapan mantap. "Aku ingin hubungan kita berjalan ke arah yang lebih serius. Aku ingin orang tuaku mengenalmu, dan aku ingin mereka tahu bahwa aku sudah menemukan wanita yang aku cintai."
Pipi Debby merona mendengar kata-kata tulus dari Agus. Ia merasakan gelombang kebahagiaan yang meluap-luap. Ancaman dari Hendro, kekhawatiran tentang usia, semua seolah lenyap untuk sesaat digantikan oleh harapan baru ini.
"Tapi... apa orang tuamu akan menerima?" tanya Debby, sedikit ragu. Ia tahu tidak semua orang tua bisa menerima perbedaan usia yang cukup signifikan.
Agus mengusap punggung tangan Debby dengan lembut. "Aku akan meyakinkan mereka, Mbak Debby. Aku percaya mereka akan mengerti. Yang terpenting, kita berdua saling mencintai dan yakin dengan pilihan kita."
Debby tersenyum tulus. "Terima kasih, Agus. Terima kasih karena sudah begitu pengertian dan memberiku keyakinan ini."
"Sama-sama, Mbak Debby. Aku hanya ingin kita bahagia," balas Agus.
Mereka berdiri di depan pintu apartemen Debby, menikmati momen kebersamaan dan harapan yang baru saja mereka bangun. Meskipun tantangan mungkin masih menanti, Debby merasa tidak sendirian lagi. Ada Agus di sampingnya, pria yang tulus mencintainya dan siap berjuang bersamanya. Langkah serius untuk memperkenalkan Debby kepada keluarga Agus menjadi bukti nyata keseriusan pemuda itu dalam menjalin hubungan, membawa mereka satu langkah lebih dekat menuju masa depan bersama.
****
Naura dan keluarganya akhirnya bisa sedikit bernapas lega. Setelah berhari-hari terlunta-lunta, mereka berhasil mendapatkan sebuah rumah kontrakan sederhana yang baru. Meskipun kecil, tempat itu terasa seperti surga setelah sekian lama hidup dalam ketidakpastian. Naura mulai kembali mencari pekerjaan, sementara Subeni dan Haryati sibuk menata barang-barang seadanya.
Namun, ketenangan itu tak bertahan lama. Fathia, si sepupu pendengki, rupanya berhasil mengendus keberadaan mereka lagi. Dari kejauhan, ia melihat Naura dan keluarganya sudah memiliki tempat tinggal baru. Hatinya kembali membara, dendamnya seolah tak ada habisnya. Ia tak akan membiarkan Naura hidup tenang.
Dengan langkah mantap dan senyum licik, Fathia langsung mendatangi rumah pemilik kontrakan baru Naura. Seorang bapak tua yang tampak ramah membuka pintu.
"Selamat siang, Pak. Maaf mengganggu," sapa Fathia dengan nada manis yang dibuat-buat.
"Siang, Neng. Ada apa ya?" jawab pemilik kontrakan itu, Pak Harjo namanya.
"Begini, Pak. Saya ingin memberitahu Bapak tentang keluarga yang baru mengontrak di sini, keluarga Naura," Fathia memulai aksinya, matanya berbinar licik. "Mereka itu... punya reputasi buruk, Pak. Di desa sebelumnya, mereka diusir karena sering bikin masalah."
Pak Harjo mengerutkan kening. "Benarkah? Tapi selama ini mereka terlihat baik-baik saja."
"Itu hanya pura-pura, Pak. Mereka itu pandai bersandiwara. Nanti kalau sudah lama, Bapak pasti akan tahu aslinya. Mereka sering membawa kesialan, Pak. Jangan sampai lingkungan kita jadi kena imbasnya," Fathia terus menghasut, menambah-nambahi cerita dengan bumbu dramatis.
Tak jauh dari situ, Haryati sedang menyiram tanaman di halaman rumah kontrakan mereka. Ia melihat Fathia berbicara dengan Pak Harjo dan langsung merasa tidak enak. Firasatnya mengatakan Fathia sedang melakukan hal buruk lagi. Tanpa pikir panjang, Haryati segera menghampiri mereka.
"Fathia! Apa yang kamu lakukan di sini?!" bentak Haryati, amarahnya meluap. "Berhenti memfitnah anakku!"
Fathia terkejut, namun dengan cepat kembali menguasai diri. "Oh, ada nenek cerewet ini. Aku hanya bercerita fakta pada Pak Harjo, Tante."
"Fakta apa?! Kamu itu pembohong! Kamu yang menyebarkan fitnah ke mana-mana! Kamu ingin kami terusir lagi kan?!" teriak Haryati, suaranya meninggi.
Pak Harjo tampak bingung melihat pertengkaran di antara mereka.
"Aku hanya kasihan pada Pak Harjo, Tante. Jangan sampai dia menyesal karena menerima keluarga biang masalah seperti kalian!" balas Fathia tak kalah sengit, senyum sinisnya kembali terukir.
"Jaga ucapanmu, Fathia! Kamu itu tidak punya hati! Dendammu itu sudah membuatmu buta!" Haryati berusaha meraih Fathia, namun wanita itu menghindar.
Keduanya terus cekcok dengan suara keras, menarik perhatian beberapa tetangga yang mulai berdatangan. Suasana menjadi heboh dan gaduh. Haryati tak peduli dengan orang-orang yang melihat, amarahnya sudah mencapai puncak. Ia tak akan membiarkan Fathia terus-menerus mengganggu hidup Naura dan keluarganya. Fathia sendiri merasa puas telah memicu keributan dan kembali menanamkan keraguan di benak Pak Harjo. Ia yakin, kali ini pun, hasutannya akan berhasil.