Gavin Narendra, CEO muda yang memiliki segalanya, menghancurkan pernikahannya sendiri dengan perselingkuhan yang tak terkendali. Larasati Renjana, istrinya yang setia, memilih untuk membalas dendam dengan cara yang sama. Dalam pusaran perselingkuhan balas dendam, air mata, dan penyesalan yang datang terlambat, mereka semua akan belajar bahwa beberapa luka tak akan pernah sembuh.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Dri Andri, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
: Awal Pembalasan
#
Hari-hari setelah pertemuan di Kafe Senja berlalu dengan ritme yang aneh—seperti hidup di dua dunia paralel yang tidak seharusnya ada bersamaan.
Di satu dunia, Larasati adalah istri Gavin Narendra. Dia bangun pagi, siapkan sarapan, antar Abimanyu ke sekolah, tersenyum pada suami yang pulang semakin larut setiap malam dengan alasan meeting yang semakin tidak masuk akal. Dia main peran dengan sempurna—istri yang patuh, yang percaya, yang tidak tahu apa-apa.
Tapi di dunia lain—dunia yang mulai terasa lebih nyata dari hari ke hari—Larasati adalah perempuan yang perlahan menemukan dirinya lagi. Perempuan yang bertemu Reza untuk makan siang di restoran-restoran tersembunyi, yang tertawa untuk pertama kalinya dalam berbulan-bulan, yang merasakan jantungnya berdetak dengan cara yang sudah dia lupakan.
Seminggu setelah pertemuan pertama mereka, Larasati dan Reza bertemu lagi—kali ini di restoran Italia kecil di kawasan Kemang. Tempat yang cukup ramai untuk tidak mencurigakan, tapi cukup privat untuk bisa ngobrol tanpa khawatir didengar.
"Kamu kelihatan lebih baik," kata Reza saat mereka duduk di meja pojok, dekat jendela dengan pemandangan taman kecil. "Wajahmu lebih... hidup."
Larasati tersenyum—senyum yang tulus untuk pertama kalinya. "Mungkin karena aku sudah mulai bisa makan lagi. Sedikit-sedikit."
"Alhamdulillah," kata Reza lembut. Dia pesan pasta untuk mereka berdua—carbonara untuk Larasati karena dia ingat itu kesukaan Larasati dari dulu, aglio olio untuk dirinya sendiri.
Mereka ngobrol tentang hal-hal ringan—tentang bisnis Reza yang sedang berkembang ke Vietnam, tentang Abimanyu yang mulai suka matematika, tentang drama di kantor Aurellia. Hal-hal normal yang membuat Larasati merasa seperti dia manusia biasa lagi, bukan hanya pecahan yang mencoba bertahan.
"Kamu tahu," kata Larasati di tengah makan, menatap piring pastanya, "aku lupa rasanya... rasanya didengarkan. Gavin dulu selalu dengarin aku cerita tentang hari-hariku, tentang hal-hal kecil. Sekarang... sekarang dia bahkan tidak tanya lagi."
Reza meraih tangannya di atas meja—sentuhan yang lembut tapi tegas. "Kamu pantas untuk didengarkan, Lara. Kamu pantas untuk diperlakukan seperti kamu penting. Karena kamu memang penting."
Kata-kata itu membuat sesuatu di dada Larasati hangat—kehangatan yang sudah lama dia tidak rasakan.
Setelah itu, pertemuan mereka jadi lebih sering. Dua kali seminggu jadi tiga kali, jadi hampir setiap hari. Kadang hanya sejam untuk kopi, kadang makan siang yang berlanjut sampai sore karena mereka terlalu asyik ngobrol untuk sadar waktu berlalu.
Dan perlahan—sangat perlahan—Larasati merasa sesuatu berubah.
Dia mulai menunggu pesan dari Reza di pagi hari—pesan simpel seperti "Selamat pagi, sayang. Semoga harimu menyenangkan." Kata "sayang" yang dulu membuat dia tidak nyaman sekarang membuat jantungnya berdetak lebih cepat.
Dia mulai lebih perhatian pada penampilannya saat akan ketemu Reza—pilih baju yang lebih bagus, pakai lipstik yang Reza pernah bilang cocok, semprot parfum yang dia beli sendiri, bukan yang Gavin belikan.
Dan yang paling mengejutkan—dia mulai tersenyum tanpa harus memaksa. Tertawa tanpa harus berpura-pura. Merasa hidup tanpa harus pura-pura.
---
Rabu sore, dua minggu setelah pertemuan pertama mereka, Larasati dan Reza duduk di taman Menteng—tempat yang jarang dikunjungi turis, lebih banyak orang lokal yang jogging atau bawa anak main.
Mereka duduk di bangku di bawah pohon rindang, dengan es kopi dari kedai pinggir taman. Abimanyu main di playground tidak jauh dari mereka, diawasi Ziva yang Larasati ajak—alasan adalah mereka "kebetulan bertemu" Reza di taman.
"Dia ganteng ya, anakmu," kata Reza, menatap Abimanyu yang sedang naik perosotan dengan bersemangat.
"Mirip papanya," kata Larasati otomatis, lalu langsung menyesal mengucapkannya.
Reza tidak terlihat terganggu. "Dia mirip kamu juga. Senyumnya. Matanya. Yang baik-baik dari kalian berdua."
Larasati menatap anaknya—anak yang tidak tahu bahwa dunianya sedang runtuh, bahwa papanya merencanakan untuk tinggalkan mamanya, bahwa mamanya sendiri sedang... apa? Jatuh cinta dengan pria lain?
Pertanyaan itu muncul tiba-tiba di kepala Larasati, membuat jantungnya berhenti sebentar.
Tidak. Tidak mungkin. Ini cuma... ini cuma pelarian. Cara untuk mengatasi rasa sakit. Cara untuk tidak gila.
Tapi saat dia menatap Reza—cara dia tersenyum sambil nonton Abimanyu main, cara dia terlihat tulus bahagia hanya dengan berada di sini—sesuatu di dadanya mencair.
"Reza," kata Larasati pelan.
Reza berbalik menatapnya. "Ya?"
"Terima kasih. Untuk... untuk semua ini. Untuk membuat aku merasa normal lagi."
Reza meraih tangannya, jemari bertaut dengan jemari Larasati dengan cara yang terasa... pas. "Kamu tidak perlu terima kasih, sayang. Aku di sini karena aku mau. Karena aku... karena aku peduli sama kamu. Sangat peduli."
Kata "sayang" itu lagi. Tapi kali ini, Larasati tidak merasa tidak nyaman. Dia merasa... aman.
Mereka duduk seperti itu—tangan bertaut, diam, hanya merasakan kehadiran satu sama lain—sampai Abimanyu lari menghampiri, wajah merah karena panas dan bersemangat.
"Mama! Lihat! Aku bisa monyet bar sekarang!" seru Abimanyu, tunjukkan tangannya yang sedikit lecet tapi dia tidak peduli.
"Wah, hebat!" Larasati periksa tangannya, bersihkan dengan tissue. "Tapi hati-hati ya, sayang. Jangan sampai jatuh."
"Iya!" Abimanyu berbalik ke Reza, tiba-tiba jadi pemalu. "Om... Om Reza... mau lihat aku monyet bar?"
Reza tersenyum lebar. "Tentu! Ayo, tunjukkan sama Om."
Larasati menatap mereka berdua berjalan ke playground—Reza mendengarkan Abimanyu cerita dengan penuh perhatian, sesekali tertawa, bahkan membantu Abimanyu naik ke monyet bar dan jaga dari bawah supaya tidak jatuh.
Pemandangan itu membuat dada Larasati sesak—tapi bukan karena sedih. Karena dia melihat apa yang seharusnya: seorang pria yang memberi perhatian pada anaknya, yang tidak terlalu sibuk dengan ponsel atau perempuan lain, yang benar-benar hadir.
Sesuatu yang Gavin sudah lama tidak lakukan.
---
Malam itu, Gavin pulang jam sebelas—lagi. Wajahnya lelah tapi ada senyum kecil di bibirnya yang membuat Larasati tahu: dia baru dari ketemu Kiran.
"Kamu sudah makan?" tanya Larasati dari sofa, dimana dia pura-pura baca buku.
"Sudah. Tadi meeting dinner dengan client." Kebohongan lancar yang keluar tanpa ragu. "Kamu?"
"Sudah. Aku masak sop buntut, ada sisa di kulkas kalau kamu lapar lagi."
"Oke, terima kasih." Gavin sudah mau naik tangga, tapi berhenti. "Oh iya, besok lusa aku harus ke Bandung. Ada proyek baru di sana. Mungkin tiga hari."
Tiga hari. Larasati tidak perlu cek GPS atau sewa fotografer untuk tahu: ini bukan perjalanan bisnis. Ini liburan lagi dengan Kiran.
"Oke," kata Larasati dengan nada yang tidak menunjukkan apa-apa. "Hati-hati di jalan ya."
Gavin menatapnya sebentar—ada sesuatu di wajahnya, seperti dia mau bilang sesuatu. Tapi akhirnya dia cuma angguk dan naik ke kamar.
Larasati duduk diam di sofa yang gelap, merasakan amarah yang sudah familiar menggelora. Tapi di bawah amarah itu, ada sesuatu yang baru: tekad.
Dia ambil ponselnya, ketik pesan ke Reza: _"Gavin ke Bandung tiga hari. Besok lusa sampai Minggu. Dia bilang kerja tapi aku tahu itu bohong."_
Balasan datang cepat: _"Kamu baik-baik aja? Butuh aku datang?"_
Larasati menatap pesan itu. Lalu, dengan jemari yang hanya sedikit gemetar, dia ketik: _"Jumat malam? Seperti yang kita rencanakan?"_
Jeda panjang. Lalu: _"Kamu yakin?"_
_"Aku yakin."_
_"Oke. Jumat jam delapan. Aku akan kirim alamat."_
Larasati letakkan ponsel, menatap tangga dimana Gavin menghilang. Di atas sana, suaminya mungkin sedang chat dengan Kiran, merencanakan liburan mereka, tidak peduli dengan istri yang duduk sendirian di bawah.
Dan untuk pertama kalinya, Larasati tidak merasa bersalah tentang apa yang akan dia lakukan. Dia merasa... berkuasa. Merasa seperti dia akhirnya mengambil kontrol.
---