"Apa gunanya uang 100 Miliar jika tidak bisa membeli kebahagiaan? Oh, tunggu... ternyata bisa."
Rian hanyalah pemuda yatim piatu yang kenyang makan nasi garam kehidupan. Dihina, dipecat, dan ditipu sudah jadi makanan sehari-hari. Hingga suatu malam, sebuah suara asing muncul di kepalanya.
[Sistem Kapitalis Bahagia Diaktifkan]
[Saldo Awal: Rp 100.000.000.000]
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Sukma Firmansyah, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
BAB 34: Di Bawah Bayangan Arsitek
Lokasi Tidak Diketahui (Koordinat Terenkripsi).
Kedalaman 50 Meter di Bawah Permukaan Laut.
Ruangan itu berbentuk kubah kaca raksasa yang menghadap langsung ke gelapnya dasar laut. Ikan-ikan hiu dan pari berenang pelan di luar kaca, seolah menjadi penjaga alami benteng bawah air ini.
Pintu hidrolik mendesis terbuka.
Dr. Viktor melangkah masuk. Penampilannya persis seperti deskripsi Bramantyo: rambut putih acak-acakan, jas lab yang bernoda cairan kimia, dan kacamata tebal yang retak sebelah. Ia berjalan dengan langkah pincang namun penuh semangat, membawa sebuah tablet data.
Di tengah ruangan, terdapat sebuah kursi singgasana hitam yang membelakangi Viktor, menghadap ke laut lepas. Di sekelilingnya, berdiri empat sosok berjubah hitam dengan topeng porselen putih tanpa wajah. Mereka berdiri tegak seperti patung, tidak bernapas, tidak bergerak.
"Tuan Arsitek," sapa Viktor dengan suara serak, membungkuk hormat—gestur yang aneh bagi seseorang yang dianggap gila dan arogan oleh dunia luar.
Kursi itu tidak berputar. Hanya suara berat yang terdengar, terdistorsi oleh modulator suara sehingga tidak bisa dikenali jenis kelamin atau usianya.
"Laporan, Viktor. Jakarta sudah terbakar?"
"Sesuai prediksi simulasi, Tuan," Viktor menyeringai lebar, memperlihatkan gigi kuningnya. "Virus Chimera-Strain alias 'Flu Biru' telah bermutasi sempurna ke Fase Dua. Tingkat agresivitas subjek mencapai 400%. Penjara Salemba sudah runtuh. Rumah sakit lumpuh. Kekacauan total."
Viktor tertawa kecil, bangga dengan karyanya. "Bramantyo si bodoh itu berpikir saya cuma membuat senjata biologis. Padahal saya sedang membuat... seleksi alam."
Hening sejenak.
"Jangan sombong, Viktor," suara Sang Arsitek terdengar dingin, memotong tawa Viktor. "Ini baru saringan awal. Kita mencari 'Emas' di dalam lumpur. Berapa banyak subjek yang menunjukkan kompatibilitas dengan Fase Tiga?"
Wajah Viktor berubah serius. "Belum ada, Tuan. Rata-rata otak manusia modern terlalu lemah. Mereka hancur menjadi gila (Fase Dua) atau mati (Fase Satu). Kita butuh genetik yang lebih kuat untuk menampung 'Evolution Serum'."
"Cari terus. Kita butuh Pasukan Alpha untuk Dunia Baru."
Sang Arsitek kemudian mengetukkan jarinya ke sandaran kursi.
"Lalu, bagaimana dengan 'Variabel' itu? Pemuda bernama Rian?"
Viktor mendengus meremehkan. "Ah, si penjual nasi itu? Dia beruntung. Ramuan herbalnya—Vitalita—memang mengganggu penyebaran virus, tapi tidak bisa menyembuhkan kerusakan saraf. Dia bukan ancaman. Dia cuma semut yang mencoba menahan banjir."
"Kau salah, Viktor."
Layar hologram besar muncul di hadapan mereka, menampilkan rekaman CCTV dari Rutan Salemba. Rekaman saat Rian menggunakan *Frequency Jammer* (bola logam) yang melumpuhkan puluhan tahanan gila dalam sekejap.
"Lihat teknologinya," kata Sang Arsitek. "Itu bukan teknologi militer yang ada di pasar gelap. Itu gelombang sonik presisi tinggi. Dia punya akses ke sumber daya yang... tidak wajar. Sama seperti kita."
Viktor menyipitkan mata. "Maksud Tuan?"
"Dia menuju Pulau Nirwana, bekas aset Bramantyo. Dia mengincar datamu yang tertinggal di sana."
Viktor panik. "Data prototype?! Tuan, saya harus ke sana! Kalau dia tahu kelemahan virusnya—"
"Tidak perlu," potong Sang Arsitek. "Biarkan dia ke sana. Pulau itu sudah bukan lagi tempat liburan. Itu kandang peliharaanmu yang gagal, bukan?"
Viktor tersenyum keji, menyadari maksud tuannya. "Ah... benar. Subjek Eksperimen 00-X. 'Si Jagal'. Saya lupa mematikannya sebelum kita pindah markas."
"Biarkan Rian bermain dengan Si Jagal. Jika dia mati, dia sampah. Jika dia selamat... berarti dia layak menjadi Subjek Fase Tiga."
Kursi itu tetap tidak berputar.
"Kembalilah bekerja, Viktor. Jangan kecewakan GENESIS. Atau kau akan menjadi pakan hiu di luar sana."
"Siap, Tuan Arsitek!"
Viktor mundur ketakutan, lalu bergegas keluar. Meninggalkan sosok misterius itu sendirian menatap kegelapan laut.
Marina Ancol, Dermaga VIP.
Pukul 14.00 WIB.
Rian berdiri di ujung dermaga, angin laut menerpa wajahnya. Di belakangnya, tim intinya sudah siap tempur.
Pak Teguh mengenakan rompi anti-peluru taktis (hasil beli di Black Market sistem) dan membawa tongkat baton listrik.
Trio Marinir (Eko, Dwi, Tri) membawa senapan bius laras panjang dan perisai riot.
Kenzo membawa ransel besar berisi drone dan peralatan retas, sambil memegang tablet.
Maya tidak ikut. Rian memerintahkannya tetap di "Benteng" (Menara Bahagia) untuk mengkoordinir distribusi Vitalita dan menjaga Bu Ningsih.
"Itu kapal kita, Bos?" tanya Kenzo ragu.
Di depan mereka, terombang-ambing sebuah *Speedboat* mewah berwarna hitam doff. Ini adalah salah satu aset sitaan dari Bramantyo yang baru saja diambil alih Rian secara legal.
Nama kapalnya: *THE DRAGON*.
"Bukan," jawab Rian. "Namanya jelek."
Rian menempelkan tangannya ke badan kapal.
"Sistem, Modifikasi Kendaraan."
[MODIFIKASI KENDARAAN TERDETEKSI]
[Target: Luxury Speedboat]
[Upgrade: Engine Booster (Speed +50%), Reinforced Hull (Armor +100%), Stealth Coating (Radar Invisible).]
[Biaya: 5.000 Poin Dominasi]
Rian menyetujuinya. Cahaya biru menyelimuti kapal itu sekejap. Bentuk fisiknya tidak banyak berubah, tapi mesinnya kini mengeluarkan dengungan halus yang futuristik, dan cat hitamnya tampak menyerap cahaya.
"Sekarang namanya *THE SAVIOR*," kata Rian. "Naik."
Mesin menderu. Kapal itu melesat membelah ombak Teluk Jakarta dengan kecepatan yang tidak masuk akal, meninggalkan buih putih di belakangnya.
"Estimasi waktu sampai Pulau Nirwana: 45 Menit," teriak Kenzo mengalahkan suara angin. "Bos, gue dapet data satelit lama pulau itu. Di sana ada satu villa utama dan... satu fasilitas bawah tanah yang konsumsi listriknya gede banget."
"Itu lab-nya," kata Rian. "Fokus kita cuma satu: Cari data riset Viktor atau sampel virus murni. Jangan konfrontasi kalau nggak perlu."
"Siap, Bos!" jawab Trio Marinir serempak.
Pak Teguh duduk di samping Rian yang memegang kemudi.
"Bos, perasaan saya nggak enak. Bramantyo bilang Viktor itu gila. Orang gila biasanya ninggalin jebakan."
Rian menatap cakrawala. Pulau tujuan mereka sudah mulai terlihat sebagai titik hijau di kejauhan.
"Saya tahu, Pak. Makanya saya bawa 'kartu as'."
Rian menepuk saku dadanya. Di sana tersimpan satu item *Black Market* yang baru saja ia beli, menghabiskan hampir seluruh sisa Poin Dominasinya. Item yang ia harap tidak perlu digunakan.
[ITEM: EMERGENCY BUNKER BUSTER (Miniatur)]
[Deskripsi: Bahan peledak terkendali untuk menghancurkan struktur beton bertulang. Sekali pakai.]
Kapal *The Savior* melambat saat mendekati dermaga Pulau Nirwana.
Suasana di sana sunyi senyap. Tidak ada suara burung. Tidak ada suara serangga.
Villa mewah di atas bukit tampak megah namun suram, dengan jendela-jendela gelap yang seperti mata kosong menatap kedatangan mereka.
Di dermaga kayu yang lapuk, terdapat bekas cakaran besar. Cakaran yang terlalu besar untuk ukuran beruang atau harimau. Cakaran yang merobek kayu ulin keras sedalam lima sentimeter.
Eko melompat turun pertama kali, senapan bius siaga.
"Area dermaga clear. Tapi... bau amis, Bos. Bau darah lama."
Rian turun, mengamati bekas cakaran itu. Jantungnya berdegup kencang.
"Waspada," bisik Rian. "Kita tidak sendirian di pulau ini."
Dari kedalaman hutan di balik villa, terdengar suara geraman rendah. Bukan suara mesin. Bukan suara ombak.
Itu suara napas makhluk hidup. Berat, basah, dan lapar.
"Sistem, scan area."
[SCANNING...]
[INTERFERENCE DETECTED. Sinyal pengganggu kuat dari bawah tanah.]
[Peringatan: Satu Tanda Kehidupan Besar terdeteksi 500 meter di depan. Kategori: MONSTER.]
Rian mengokang pistol taser-nya.
"Selamat datang di Jurassic Park," gumam Kenzo gemetar.
"Maju," perintah Rian. "Formasi tempur."
Mereka melangkah masuk ke dalam hutan mati itu, menyambut mimpi buruk yang ditinggalkan Viktor.