Kala Azure adalah seorang kapten agen rahasia legendaris yang ditakuti musuh dan dihormati.
Namun, karier cemerlangnya berakhir tragis, saat menjalankan operasi penting, ia dikhianati oleh orang terdekatnya dan terbunuh secara mengenaskan, membawa serta dendam yang membara.
Ajaibnya, Kala tiba-tiba terbangun dan mendapati jiwanya berada dalam tubuh Keira, seorang siswi SMA yang lemah dan merupakan korban bullying kronis di sekolahnya.
Berbekal keahlian agen rahasia yang tak tertandingi, Kala segera beradaptasi dengan identitas barunya. Ia mulai membersihkan lingkungan Keira, dengan cepat mengatasi para pembuli dan secara bertahap membasmi jaringan kriminal mafia yang ternyata menyusup dan beroperasi di sekolah-sekolah.
Namun, tujuan utamanya tetap pembalasan. Saat Kala menyelidiki kematiannya, ia menemukan kaitan yang mengejutkan, para pengkhianat yang membunuhnya ternyata merupakan bagian dari faksi penjahat yang selama ini menjadi target perburuannya.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Uswatun Kh@, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Runtuhnya Jordan Kepala Sekolah International School
Suasana koridor yang riuh mendadak senyap saat Meilan menghentikan aksinya. Cengkeramannya pada rambut seorang siswa laki-laki terlepas begitu saja ketika matanya menangkap sosok Keira yang berdiri tak jauh darinya.
Di sana, Keira yang tengah menatap layar ponsel dengan senyum yang tipis, namun cukup untuk menyulut api di hati Meilan.
Bagi Meilan, Keira sudah menghinanya. Di tambah kecemburuannya yang memuncak sejak pagi tadi, saat ia melihat Zero---lelaki yang dipujanya dalam diam tampak begitu dekat dengan Keira. Meilan tak sudi ada perempuan lain yang masuk ke dalam hidup Zero.
Dengan napas memburu, Meilan celingukan mencari sesuatu. Matanya tertuju pada sebuah spidol di meja guru. Tanpa basa-basi, ia menyambarnya dan melempar benda itu sekuat tenaga ke arah wajah Keira.
Wuss!
Gerakan Keira jauh lebih tangkas dari dugaan siapa pun. Dengan refleks yang tajam, ia menangkap spidol itu hanya beberapa senti sebelum menghantam keningnya.
"Apa-apaan ini? Kenapa kau tiba-tiba menyerangku?" tanya Keira, suaranya tenang namun menusuk.
Meilan melangkah maju, sepatunya berbunyi nyaring di lantai kelas. "Lo! Berani-beraninya lo ngetawain gue? Lo sengaja mau cari muka di depan semua orang, hah?" sentaknya.
Keira menghela napas panjang, tampak jengah. "Siapa juga yang menertawakanmu? Aku gak punya waktu buat ngurusin hal gak penting kayak gini. Jadi, berhenti cari masalah."
"Wah ... sombong banget ya lo," Meilan terkekeh sinis, tak percaya ada yang berani membalas ucapannya. "Baiklah gak masalah, berhubung lo anak baru di sini, asal lo bayar lima ratus ribu ke gue."
Keira mendengus tidak percaya. "Lima ratus ribu? Kalian ini sekolah untuk belajar, atau mau latihan jadi preman? Aku gak akan kasih sepeser pun."
Mendengar ceramah itu, kesabaran Meilan habis. Ia merasa harga dirinya diinjak-injak oleh gadis yang ia anggap "anak baru" itu. Tangannya terangkat tinggi, siap mendaratkan tamparan keras di pipi Keira.
Namun, gerakan itu membeku di udara.
Sosok tinggi dengan aura dingin yang mengintimidasi muncul di ambang pintu. Zero berdiri di sana, kedua tangannya memegang kusen pintu. Tatapannya yang tajam langsung mengunci Meilan.
"Mau apa lo, Meilan? Jangan berani-berani menyentuhnya," suara Zero terdengar parau namun sarat akan ancaman.
Nyali Meilan menciut seketika. Tangannya turun perlahan. "Tapi Zero ... lo tahu kan aturannya? Semua harus bayar. Lo mau kita ditindas lagi kalau nggak kasih uang sesuai yang mereka minta?"
Zero tidak menjawab. Ia melangkah maju, meraih pergelangan tangan Keira dengan protektif, dan menariknya masuk lebih dalam ke kelas. "Gue nggak peduli. Nggak ada yang boleh menyentuh Keira kecuali gue. Ngerti?!"
Keheningan mencekam. Tak ada satu pun yang berani membantah titah Zero. Namun, Keira bukanlah gadis yang suka dilindungi. Dengan sekali sentakan, ia melepaskan tangannya dari genggaman Zero.
"Lepas! Aku bisa menjaga diriku sendiri. Jangan ikut campur kalau ujung-ujungnya kau hanya akan menyalahkanku jika terjadi masalah," ujar Keira ketus. Ia kemudian berjalan menuju kursinya di dekat jendela, meletakkan tas, dan mulai menata bukunya seolah tidak terjadi apa-apa.
Zero tidak pergi. Ia justru menarik kursi di depan Keira, memutarnya, dan duduk menghadap gadis itu dengan gaya angkuh.
"Jangan lupa, kita masih punya urusan. Duel itu tetap berlaku. Gue akan kabari kapan waktunya," ucap Zero penuh percaya diri. Ia mencondongkan tubuh, "Lo masih bisa menyerah sekarang, tapi syaratnya satu, kau harus jadi pelayanku."
Keira berhenti menata bukunya. Ia mendongak, menatap mata Zero dengan tatapan datar yang menusuk. "Bagaimana kalau aku tidak mau menyerah? Dan jika aku menang, kaulah yang harus menjadi pelayanku."
Tawa Zero pecah, menggema di ruangan yang masih tegang itu. "Lo yakin? Ingat, waktu itu lo cuma beruntung karena gue hanya ngalah sama perempuan. Tapi kali ini, jangan harap ada belas kasihan."
Zero bangkit, merapikan jaketnya, lalu berbalik sebelum benar-benar pergi. "Jangan nyesel lo ya. Kau masih punya waktu untuk berubah pikiran."
Bersama kawan-kawannya, Zero melenggang pergi meninggalkan kelas. Keira hanya menatap punggung itu dengan kening berkerut, bertanya-tanya dalam hati sebegitu besar ego pemuda berambut merah itu.
Di tempat lain. Di International School, yang biasanya tenang mendadak berubah jadi lautan manusia dan kilatan lampu Flas kamera.
Berita tentang penangkapan Jordan dan ketua komite sekolah telah meledak di internet sejak subuh. Tuduhannya berat, penggelapan dana yang bernilai miliaran rupiah dan pembiaran terhadap tindakan perundungan yang terjadi di lingkungan sekolah.
Puluhan wartawan dari berbagai media nasional telah bersiap di depan lobi utama. Suasana semakin memanas saat rombongan orang tua murid tiba. Mereka adalah orang tua yang anak-anaknya menjadi korban perundungan.
"Kami bayar mahal bukan agar anak kami dihancurkan mentalnya!" teriak salah satu ibu sambil membawa poster tuntutan keadian.
Tepat pukul 10.00 pagi, pintu aula terbuka. Dua pria yang biasanya tampil necis dengan setelan jas mahal, kini tampak lesu dengan menggunakan baju oranye.
Jordan, dan ketua komite berjalan dengan tangan terborgol. Di depan barisan mikrofon, Kapten Victor berdiri dengan raut wajah tegas untuk memimpin konferensi pers.
"Berdasarkan bukti audit forensik dan kesaksian para saksi kunci," suara Victor menggema melalui pengeras suara. "Kami resmi menetapkan saudara Jordan dan kepala komite sebagai tersangka."
Victor menatap ke arah wartawan. "Penyelidikan tidak akan berhenti di sini," lanjutnya. "Kami akan mengusut tuntas siapa pun yang terlibat dalam lingkaran perlindungan pelaku perundungan ini."
Saat mereka menggiring mereka kembali ke mobil tahanan, teriakan tuntutan pertanggung jawaban dari para orang tua murid. Jordan hanya bisa menutup wajahnya dengan tangan, menyadari semua yang ia bangun telah berakhir.
Setelah hiruk-pikuk konferensi pers berakhir, Kapten Victor kembali ke ruang kerjanya di markas kepolisian. Di atas meja kerjanya, bertumpuk berkas laporan penggelapan dana dan foto-foto memar para korban perundungan.
Namun, perhatian Victor tidak tertuju pada berkas itu. Ia memanggil bawahannya yang bernama Aris, ahli IT di timnya.
"Ris, tunjukan padaku hasil pelacakan nomor itu," perintah Victor sambil menyalakan rokok eletriknya, matanya menatap tajam ke arah layar monitor besar di ruangan itu.
Nomor anonim itulah yang menjadi kunci runtuhnya Jordan. Melalui pesan singkat yang masuk ke sistem kepolisian beberapa hari lalu, seseorang mengirim rekaman CCTV asli yang di hapus oleh pihak sekolah dan transaksi rekening gelap milik ketua komite.
Aris menggelengkan kepalanya, jemarinya masih menari di atas keyboard. "Sulit kapten. Nomor ini menggunakan protokol enskripsi militer, sulit di tembus."
"Maksudmu nomor ini gak terdaftar?" tanya Victor, dahinya berkerut.
"Secara adsministratif, nomor ini tidak ada, Kapten. Ini sama aja kayak ghost number. Begitu data terkirim, sistemnya langsung melakukan penguncian. Benar-benar bersih."
Vicror terdiam. Rasa penasarannya berubah menjadi kewaspadaan. "Kau ingat tentang pesta narkoba anak-anak pejabat di apartemen beberapa hari lalu."
Aris menoleh cepat. "Kapten pikir pengirimnya orang yang sama?"
Victor mengangguk. Ia berjalan menuju jendela, menatap jauh keluar. Si anonim ini memberinya kemenangan mudah, namun Victor benci merasa dikendalikan.
wuuu bara api mulai menyala.. ayo, hab*skan dan hanc*rkan semua yang menyakiti..
btw gimana kabar sekolah lama keira thor, penasaran sama gebrakan keira membuka aib sekolah lamanya😂
apakah dia ketemuan sama pahlawan merah