"Ibu bilang, anak adalah permata. Tapi di rumah ini, anak adalah mata uang."
Kirana mengira pulang ke rumah Ibu adalah jalan keluar dari kebangkrutan suaminya. Ia membayangkan persalinan tenang di desa yang asri, dibantu oleh ibunya sendiri yang seorang bidan terpandang. Namun, kedamaian itu hanyalah topeng.
Di balik senyum Ibu yang tak pernah menua, tersembunyi perjanjian gelap yang menuntut bayaran mahal. Setiap malam Jumat Kliwon, Kirana dipaksa meminum jamu berbau anyir. Perutnya kian membesar, namun bukan hanya bayi yang tumbuh di sana, melainkan sesuatu yang lain. Sesuatu yang lapar.
Ketika suami Kirana mendadak pergi tanpa kabar dan pintu-pintu rumah mulai terkunci dari luar, Kirana sadar. Ia tidak dipanggil pulang untuk diselamatkan. Ia dipanggil pulang untuk dikorbankan.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Mrs. Fmz, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 21: Rasa Pahit Jamu Ibu
Kirana berhasil meraih sepotong besi tua, tetapi sebelum ia bisa menggunakannya, Nyi Laras dengan cepat menjepit lehernya. Kirana meronta, menjatuhkan surat wasiat itu, dan seketika ia merasakan Rasa Pahit Jamu Ibu yang dipaksakan masuk ke kerongkongannya.
Cairan hitam kental itu terasa seperti cairan besi yang berbau bunga melati layu. Kirana mencoba memuntahkannya, tetapi cengkeraman Nyi Laras di rahangnya sangat kuat. Rasanya begitu pahit, begitu memuakkan, hingga ia merasa seluruh organ dalamnya berputar.
Nyi Laras melepaskan cengkeramannya setelah memastikan semua cairan telah tertelan. Ia tersenyum, wajahnya kembali tenang dan cantik.
"Tidurlah, Anakku. Tidur yang nyenyak. Ibu akan menjagamu sampai malam Jumat Kliwon tiba," bisik Nyi Laras, mengelus perut Kirana dengan lembut. "Janin ini harus tenang. Kau sudah terlalu banyak bergerak."
Kirana merasa pandangannya mulai kabur. Tubuhnya terasa berat, seperti terbuat dari timah. Ia melihat bayangan Gendong yang kini masuk ke kamar, mengambil surat wasiat Laksmi yang jatuh ke lantai.
"Dia sudah terkunci, Bu. Tamu tamu itu?" Suara Gendong terdengar berderak, seperti kulit kering yang ditarik.
"Berikan bungkusan Jimat itu pada Tuan Tuan. Bilang, 'Barang itu sudah diamankan'. Setelah itu, kurung Kirana di Kamar Depan. Kunci peraknya biarkan saja di sana," perintah Nyi Laras.
Nyi Laras mengangkat tubuh Kirana yang lemas, menggendongnya keluar dari Paviliun Belakang. Kirana setengah sadar, ia hanya bisa merasakan gerakan Nyi Laras yang terasa sangat kuat untuk ukuran wanita tua. Dalam keadaan setengah sadar itu, Kirana sempat melihat Nyi Laras mengambil botol jamu kecil lain dari saku kebaya, meminum isinya sedikit, dan menepuk perutnya sendiri—seolah dia juga memelihara sesuatu di dalam sana.
Ketika Kirana membuka mata, ia berada di kamar tidurnya lagi. Bau melati yang memabukkan kini bercampur dengan bau anyir yang samar.
Kepalanya berdenyut hebat. Rasa pahit masih tertinggal di lidahnya. Ia mencoba duduk, tetapi perutnya tiba-tiba berkontraksi sangat keras, seolah janin di dalamnya sedang meronta, marah.
Ia melihat ke perutnya. Bekas cakar yang ia lihat semalam kini sudah menghilang total, digantikan oleh kulit yang mulus seperti tidak pernah terluka. Kulitnya terasa dingin, meskipun ruangan itu hangat oleh cahaya pagi. Jelas, jamu itu bekerja sebagai 'perbaikan' fisik.
“Jamu itu bukan untuk bayi, tapi untuk membuat jiwamu lemah…”
Kirana mengingat kata-kata Kakaknya. Jamu itu tidak membunuhnya, melainkan melemahkan perlawanan batinnya, menjadikannya 'wadah yang tenang' seperti yang Nyi Laras inginkan. Ia merasa lemas, putus asa, seolah semangatnya telah disedot keluar.
Kirana bangkit dan segera berlari ke cermin. Wajahnya pucat, tetapi di sudut matanya, ia melihat ada urat merah kecil yang menonjol, seolah pembuluh darahnya terisi sesuatu yang gelap. Bahkan pupil matanya tampak lebih besar dan lebih hitam dari biasanya.
Ia berjalan ke jendela. Pagi sudah tiba. Matahari bersinar cerah, tetapi rumah Joglo itu terasa lebih gelap dari biasanya.
Ia melihat ke halaman depan. Dua mobil pick up hitam itu sudah tidak ada. Tamu Tak Diundang itu sudah pergi. Dan Pendopo kembali sepi, batu hitam itu sudah tidak ada. Segala upaya pelariannya semalam terasa sia-sia, hanya menghasilkan tamparan dan racun yang lebih kuat.
Tiba tiba, perutnya bergejolak sangat kuat. Kirana merasakan dorongan mual yang luar biasa. Rasa pahit yang ia telan kini menuntut untuk keluar. Ia bergegas ke kamar mandi, menjatuhkan diri ke lantai porselen dingin di depan kloset.
Ia memuntahkan isinya. Bukan cairan bening, bukan sisa makanan.
Yang keluar dari mulutnya adalah segumpal cairan hitam pekat yang berbau amis, seperti darah yang sudah basi. Cairan itu tidak menyebar di kloset, tetapi menggumpal, memantul sekali sebelum diam.
Cring!
Kirana menjerit tertahan. Di dalam gumpalan hitam itu, ada beberapa belatung putih kecil yang menggeliat, mencoba merangkak keluar dari muntahan itu. Belatung itu bukan belatung biasa; mereka sangat putih, gemuk, dan bergerak sangat cepat, seolah mencari tempat baru untuk bersembunyi.
Kirana merasakan tenggorokannya terbakar. Ia menatap nanar.
"Ini... ini bukan jamu," Kirana terisak, suaranya serak. "Ini racun hidup..."
Ia teringat betapa cantiknya Nyi Laras dan betapa lamanya ia hidup. Untuk mempertahankan hidup, kecantikan, dan kekayaan, ia memberi makan sesuatu di dalam dirinya dengan tumbal yang ia kandung. Dan kini, Kirana juga diberi makan oleh sesuatu yang mengerikan.
Tiba-tiba, kontraksi di perutnya kembali datang, kali ini lebih menyakitkan dan berirama. Kontraksi itu terasa tidak seperti kontraksi kehamilan, tetapi lebih seperti dorongan dari dalam, seolah bayinya sedang mencoba melarikan diri dari gumpalan hitam dan belatung yang baru saja ia muntahkan.