Di sebuah desa kecil di lereng Gunung Sumbing, Temanggung, hidup seorang pemuda bernama Arjuna Wicaksono. Sejak kecil, ia hanya tinggal bersama neneknya yang renta. Kedua orang tuanya meninggal dalam sebuah kecelakaan saat ia masih balita, sementara kakeknya telah lama pergi tanpa kabar. Hidup Arjuna berada di titik terendah ketika ia baru saja lulus SMA. Satu per satu surat penolakan beasiswa datang, menutup harapannya untuk kuliah. Di saat yang sama, penyakit neneknya semakin parah, sementara hutang untuk biaya pengobatan terus menumpuk. Dihimpit keputusasaan, Arjuna memutuskan untuk merantau ke Jakarta, mencari pekerjaan demi mengobati sang nenek. Namun takdir berkata lain. Malam sebelum keberangkatannya, Arjuna menemukan sebuah kotak kayu berukir di balik papan lantai kamarnya yang longgar. Di dalamnya tersimpan cincin perak kuno dengan batu safir biru yang misterius - warisan dari kakeknya yang telah lama menghilang. Sejak menggunakan cincin itu, kehidupanNya berubah drastis.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon RivaniRian21, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 23 Aulia Larasati Winata
Arjuna melangkah pulang dengan perasaan bahagia yang membuncah, sebuah perasaan yang sudah lama tidak ia rasakan. Setiap langkahnya terasa ringan. Kabar baik tentang beasiswa, ditambah dengan kebaikan hati Pak Tarno dan jaminan pekerjaan, membuatnya merasa seolah semua beban berat di pundaknya terangkat. Dunia tidak lagi tampak begitu kejam.
Ia tiba di lorong kosnya yang sudah sepi, karena sebagian besar penghuni masih di luar atau di dalam kamar masing-masing. Namun, saat ia mendekati pintu kamar nomor 13, langkahnya terhenti.
Seorang gadis berdiri di sana, punggungnya menghadap Arjuna. Sosoknya yang anggun dan rambutnya yang panjang tergerai itu tidak salah lagi. Aulia.
Gadis itu sepertinya tidak menyadari kehadiran Arjuna. Ia hanya berdiri diam, seolah sedang menunggu atau berpikir. Melihatnya berdiri tepat di depan pintu kamarnya yang kusam, menciptakan sebuah pemandangan yang sangat kontras.
Arjuna berdeham pelan, tidak ingin mengagetkannya. "Aulia?" sapanya dengan lembut.
Aulia sedikit tersentak, lalu berbalik. Wajahnya seperti biasa, tenang dan sulit dibaca. Tapi matanya menatap lurus ke arah Arjuna dengan intensitas yang berbeda dari sebelumnya.
"Selamat," kata Aulia, suaranya jernih dan langsung ke intinya. "Kamu hebat."
Pujian yang datang begitu tulus dan langsung dari gadis yang ia anggap sebagai pesaing terberatnya itu membuat Arjuna sedikit terkejut. "Ah... terima kasih," jawabnya sedikit canggung. "Kamu juga selamat ya. Peringkat kedua di antara ratusan orang itu pencapaian yang luar biasa."
Aulia tampak tidak terlalu peduli dengan pujian balik itu. Seolah peringkat kedua bukanlah sesuatu yang patut dibanggakan baginya. Ia lalu mengulurkan sebuah kantong kertas (paper bag) kecil yang sedari tadi ia pegang. Kantong itu terlihat simpel namun elegan.
"Ini untukmu," katanya.
Arjuna menatap kantong kertas itu, lalu menatap Aulia dengan bingung. "Ini... apa?"
"Anggap saja ucapan selamat dari pesaingmu," jawab Aulia.
Tanpa menunggu Arjuna berkata apa-apa lagi, Aulia berbalik dan berjalan dengan langkah tenangnya menuju tangga, menghilang ke lantai dua. Meninggalkan Arjuna yang masih berdiri mematung di depan pintu kamarnya, memegang kantong kertas misterius itu.
Dengan rasa penasaran yang besar, Arjuna masuk ke dalam kamarnya dan mengunci pintu. Ia duduk di tepi kasur, lalu dengan hati-hati membuka isi dari kantong kertas itu.
Di dalamnya, ia menemukan sebuah buku catatan berkulit tebal berwarna hitam dan sebuah pulpen tinta yang tampak mahal dan berkelas. Hadiah yang aneh, pikirnya. Sangat serius dan akademis. Ia membuka buku catatan itu. Halaman pertamanya kosong, kecuali secarik kartu kecil yang terselip di dalamnya.
Arjuna mengambil kartu itu dan membacanya. Tulisan tangan di kartu itu rapi, tegas, dan indah, sama seperti pemiliknya.
Kamu hebat dengan nilaimu. Mari kita berlomba-lomba. Aku akan mengejarmu.
Setelah membaca kalimat singkat itu, Arjuna terdiam sejenak. Lalu, sebuah senyum tulus perlahan mengembang di wajahnya. Senyum yang bukan hanya karena bahagia, tapi karena sebuah pemahaman baru.
Ia akhirnya mengerti. Aulia bukanlah gadis yang sombong atau dingin. Ia adalah seorang petarung. Sama sepertinya. Pujian "kamu hebat" tadi bukanlah basa-basi, melainkan sebuah pengakuan tulus terhadap lawan yang ia hormati. Dan hadiah ini, beserta pesannya, bukanlah sekadar ucapan selamat.
Itu adalah sebuah deklarasi perang. Sebuah tantangan yang dilemparkan dengan elegan.
Arjuna meletakkan kartu itu di atas meja. Ia merasa bersemangat. Ia tidak lagi merasa sendirian dalam perjuangannya. Di universitas nanti, ia tahu akan ada seseorang yang akan terus memacunya untuk menjadi lebih baik, seseorang yang tidak akan membiarkannya bersantai. Ia telah menemukan seorang rival yang sepadan. Dan entah kenapa, hal itu terasa sangat menyenangkan.
Tanpa ada yang tahu di lingkungan Kos Berkah, atau bahkan di antara teman-teman kampusnya nanti, Aulia menyimpan sebuah rahasia besar. Hanya beberapa orang penting di lingkaran kepercayaannya yang tahu bahwa nama lengkapnya adalah Aulia Larasati Winata. Dan Winata adalah nama keluarga yang sangat berpengaruh di dunia bisnis nusantara.
Aulia adalah putri tunggal Hadi Winata, pengusaha kaya raya yang beberapa waktu lalu bertemu dengan Arjuna di sebuah gerbong kereta ekonomi.
Setelah meninggalkan Arjuna dengan pesan tantangannya, Aulia menaiki tangga menuju kamarnya di lantai dua. Kamarnya, meskipun sama ukurannya dengan kamar lain, tampak berbeda. Sangat rapi, terorganisir, dengan rak-rak penuh buku-buku tebal berbahasa Inggris dan sebuah laptop tipis nan canggih tergeletak di atas meja belajar. Ini adalah dunia kecil yang ia ciptakan untuk dirinya sendiri, jauh dari kemewahan yang biasa ia dapatkan.
Ia baru saja meletakkan tasnya ketika ponselnya berdering. Di layar tertera nama "Ayah ". Wajah Aulia yang biasanya dingin dan datar, kini sedikit melunak. Ia duduk di tepi tempat tidurnya dan menjawab panggilan itu.
"Halo, Yah."
"Halo, Tuan Putri kebanggaan Ayah!" Suara berat dan hangat milik Hadi Winata terdengar dari seberang, diselingi tawa kecil yang khas. "Ayah dengar kabar bagus. Ada yang berhasil menaklukkan ujian beasiswa UNG yang terkenal sulit itu."
Aulia tersenyum tipis. "Ayah tahu dari mana? Pengumumannya kan baru keluar."
"Ayah punya koneksi di mana-mana, kamu tahu itu," jawab Hadi Winata. "Tapi... Ayah sedikit bingung. Laporannya bilang putri Ayah yang paling cantik dan paling keras kepala ini kok dapatnya medali perak, ya? Bagaimana bisa ada yang mengalahkanmu? Bukannya kamu selalu maunya medali emas?" tanyanya, tawanya kini terdengar lebih jelas, penuh nada menggoda.
Seketika, senyum di wajah Aulia menghilang, digantikan oleh bibir yang sedikit mengerucut. Ia cemberut.
"Ayah, ih! Jangan mulai, deh!" rengeknya manja, sebuah sisi dirinya yang tidak pernah ia tunjukkan pada siapa pun kecuali keluarganya. "Menyebalkan."
Hadi Winata tertawa lagi. "Hahaha, Ayah hanya bercanda, sayang. Peringkat kedua itu pencapaian yang luar biasa. Ayah sangat bangga padamu."
"Aku tahu," jawab Aulia, nadanya kini lebih serius. "Tapi aku ingin berusaha sendiri, Yah. Peringkat kedua dengan hasil kerjaku sendiri jauh lebih berharga daripada peringkat pertama kalau semua orang tahu aku ini putrimu."
Inilah alasan utamanya. Alasan mengapa ia bersikeras untuk tidak memakai nama belakang Winata dalam pendaftaran. Alasan mengapa ia menolak semua fasilitas yang ditawarkan ayahnya.
"Itu juga alasan kenapa Aulia lebih memilih tinggal di kos ini daripada di mansion kita yang mewah," lanjutnya, seolah menjawab pertanyaan yang tak terucap. "Biar Aulia tahu rasanya berjuang, tahu rasanya deg-degan menunggu pengumuman, tahu rasanya punya pesaing. Biar semua yang Aulia dapatkan terasa nyata."
Hening sejenak di seberang telepon. Hadi Winata menghela napas, kali ini tawanya hilang, digantikan oleh nada bangga yang tulus. "Ayah mengerti, Nak. Dan Ayah sangat menghargai semangatmu itu. Kamu memang anak Ayah." Ia berhenti sejenak. "Jadi, siapa jagoan yang berhasil merebut takhtamu ini? Arjuna Wicaksono... nama yang bagus. Ayah seperti pernah mendengarnya di suatu tempat..."
Jantung Aulia berdebar sedikit lebih cepat. "Mungkin hanya kebetulan, Yah. Nama pasaran," jawabnya cepat. "Dia... tetangga satu kos-ku."
"Oh ya? Kebetulan yang menarik," kata Hadi Winata.
Setelah beberapa saat mengobrol tentang hal lain, panggilan itu pun berakhir. Aulia meletakkan ponselnya. Wajahnya tidak lagi cemberut. Kini yang ada adalah ekspresi penuh tekad yang membara.
Ia menatap buku catatan dan pulpen yang tadi ia berikan pada Arjuna. Ia memberikannya sebagai pengakuan, tapi juga sebagai pengingat untuk dirinya sendiri. Untuk pertama kalinya, ia menemukan seseorang yang bisa mengalahkannya secara adil, seseorang yang datang dari nol, sama seperti kondisi yang sedang ingin ia ciptakan untuk dirinya sendiri.
Arjuna Wicaksono bukan lagi sekadar nama di peringkat pertama. Ia adalah tolok ukur. Ia adalah bukti nyata dari perjuangan yang ingin Aulia menangkan. "Aku akan mengejarmu," bisiknya pada keheningan kamarnya, mengulang kembali pesan di dalam hatinya. Persaingan ini kini terasa semakin pribadi dan semakin penting baginya.