Kiana Elvaretta tidak butuh pangeran. Di usia tiga puluh, dia sudah memiliki kerajaan bisnis logistiknya sendiri. Baginya, laki-laki hanyalah gangguan—terutama setelah mantan suaminya mencoba menghancurkan hidupnya.
Namun, demi mengamankan warisan sang kakek, Kiana harus menikah lagi dalam 30 hari. Pilihannya jatuh pada Gavin Ardiman, duda beranak satu yang juga rival bisnis paling dingin di ibu kota.
"Aku tidak butuh uangmu, Gavin. Aku hanya butuh statusmu selama satu tahun," cetus Kiana sambil menyodorkan kontrak pra-nikah setebal sepuluh halaman.
Gavin setuju, berpikir bahwa memiliki istri yang tidak menuntut cinta akan mempermudah hidupnya. Namun, dia salah besar. Kiana tidak datang untuk menjadi ibu rumah tangga yang penurut. Dia datang untuk menguasai rumah, memenangkan hati putrinya yang pemberontak dengan cara yang tak terduga, dan perlahan... meruntuhkan tembok es di hati Gavin.
Saat g4irah mulai merusak klausul kontrak, siapakah yang akan menyerah lebih dulu?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Savana Liora, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 12: Grup WhatsApp Neraka
"HEH! KELUAR KAMU!"
Suara gedoran kasar di kaca jendela mobil membuat Kiana menghentikan gerakannya yang hendak memindah persneling. Di samping mobil Porsche-nya, Bu Siska berdiri dengan wajah merah padam. Urat lehernya menonjol, dan tangan kirinya yang dipenuhi gelang emas keroncongan memukul-mukul kaca film mobil Kiana tanpa ampun.
"Jangan pura-pura budek ya! Keluar!" teriak wanita itu lagi.
Kiana menghela napas panjang. Dia melepas kacamata hitamnya, meletakkannya di dashboard, lalu menekan tombol power window. Kaca turun perlahan, menampilkan wajah Kiana yang datar tanpa ekspresi takut sedikit pun.
"Ada masalah apa, Bu? Mobil Ibu mogok? Atau otak Ibu yang mogok sampai nggak bisa bedakan mana tempat parkir mana jalan umum?" tanya Kiana tenang.
"Jaga mulut kamu ya!" sembur Bu Siska. Ludahnya nyaris muncrat masuk ke dalam mobil. "Kamu tahu siapa saya?! Saya Ketua POMG di sini! Kamu orang baru, jangan songong! Berani-beraninya kamu klakson saya kayak supir angkot! Jantung saya mau copot tahu nggak!"
"Kalau jantung Ibu mau copot cuma gara-gara klakson, saran saya Ibu ke kardiolog, bukan marah-marah di tengah jalan," balas Kiana santai. Dia melirik jam tangannya. "Minggir, Bu. Saya harus ke kantor. Waktu saya uang, beda sama waktu Ibu yang sepertinya nggak ada harganya."
"Kurang ajar!" Bu Siska menahan kaca mobil Kiana agar tidak bisa ditutup. "Kamu pikir kamu hebat pakai mobil sport? Asal kamu tahu ya, suami saya donatur terbesar di sekolah ini! Siapa nama kamu?! Siapa nama anak kamu?! Saya pastikan anak kamu nggak bakal betah sekolah di sini!"
"Nama saya Kiana. Anak saya Alea Ardiman. Silahkan catat, perlu saya eja?" tantang Kiana.
Mendengar nama 'Ardiman', mata Bu Siska berkedip. Ada sedikit keraguan di wajahnya, tapi egonya yang sudah kepalang tinggi membuatnya tidak mau mundur.
"Ardiman? Hah, pasti cuma nama pasaran! Pokoknya saya nggak terima! Kamu harus minta maaf sekarang juga di depan semua orang!"
"Minta maaf karena saya mematuhi rambu lalu lintas dan Ibu melanggarnya?" Kiana tertawa sinis. "Ibu mimpi. Minggir, atau saya klakson lagi tepat di kuping Ibu."
Kiana menempelkan tangannya ke tombol klakson, siap menekan.
Bu Siska melompat mundur karena trauma suara tadi. "Oke! Oke! Awas kamu ya! Sini nomor HP kamu! Masuk ke grup WhatsApp wali murid! Biar kamu tahu tata krama di sekolah ini!"
"Silakan minta ke wali kelas," kata Kiana dingin. Dia menaikkan kaca jendelanya lagi, mengabaikan Bu Siska yang masih sumpah serapah, lalu menginjak gas meninggalkan area sekolah.
Di spion, Kiana melihat Bu Siska menghentak-hentakkan kakinya seperti anak kecil yang tidak dibelikan permen.
"Dasar badut," gumam Kiana.
Siang harinya, di kantor Elva Express.
Ponsel Kiana yang tergeletak di meja kerjanya bergetar tanpa henti. Zzzzt... Zzzzt... Zzzzt...
Kiana sedang memeriksa laporan keuangan bulanan. Dia melirik layar ponselnya. Notifikasi WhatsApp masuk bertubi-tubi seperti senapan mesin.
Anda telah ditambahkan ke grup "Super Mommies Class 1B"
Kiana mengangkat alis. Wali kelas Alea pasti dipaksa Bu Siska untuk memberikan nomornya.
Kiana membuka aplikasi itu. Ratusan pesan belum terbaca langsung memenuhi layar. Dia men- scroll ke atas, membaca percakapan para sosialita kurang kerjaan itu.
Bu Siska (Ketua POMG): Selamat datang buat wali murid baru, Mamanya Alea. Semoga betah ya di grup ini. Di sini kita mengutamakan SOPAN SANTUN dan ETIKA. Bukan cuma pamer mobil.
Mommy Cecil: Eh, ini yang tadi pagi bikin heboh di gerbang ya? Ampun deh, kasar banget klaksonnya. Kasihan Dino sampai kaget.
Bunda Rara: Maklum Jeng, mungkin biasa hidup di terminal. Jadi gayanya kayak preman. Sama kayak anak tirinya.
Bu Siska (Ketua POMG): Ya begitulah kalau anak nggak punya ibu kandung. Alea itu kan piatu ya? Kasihan lho, nggak ada yang ngajarin tata krama. Bapaknya sibuk cari duit, eh dapat ibu tiri yang modelan begitu. Pantesan anaknya liar, suka bakar sampah. Aku dengar ini dari seseorang.
Mommy Cecil: Ih, seram banget. Jangan sampai anak-anak kita ketularan nakal. Jauh-jauh deh dari Alea.
Bunda Rara: Setuju! Harus dipantau tuh. Kalau perlu kita ajukan petisi biar Alea pindah kelas. Takutnya dia bawa pengaruh buruk.
Kiana membaca pesan-pesan itu dengan wajah datar, tapi matanya menyala dingin. Mereka tidak hanya menyerangnya, tapi juga menyerang Alea. Mengatai anak tujuh tahun sebagai "liar" dan "pembawa pengaruh buruk" hanya karena dia tidak punya ibu kandung?
Itu rendahan. Sangat rendahan.
Kiana tidak mengetik balasan. Dia tidak akan turun level dengan berdebat kusir di grup chat. Itu strategi murahan.
"Sinta!" panggil Kiana lewat interkom.
Pintu ruangan terbuka. Sinta masuk dengan sigap membawa tablet. "Ya, Bu? Kopi lagi?"
"Bukan. Saya butuh data," kata Kiana sambil memutar ponselnya, memperlihatkan foto profil WhatsApp Bu Siska yang sedang berpose pamer tas di depan Menara Eiffel (yang terlihat jelas itu background studio foto).
"Cari tahu siapa wanita ini. Namanya Siska. Anaknya namanya Dino, sekolah di SD Anak Bangsa. Saya mau tahu siapa suaminya, apa bisnisnya, dan seberapa besar 'donatur' yang dia sombongkan itu," perintah Kiana tajam.
Sinta mengangguk, jarinya menari cepat di atas tablet. "Siap, Bu. Beri saya waktu sepuluh menit."
Kiana kembali menatap layar ponselnya. Bu Siska baru saja mengirim foto tas Chanel baru dengan caption: "Alhamdulillah, rezeki istri sholehah. Dibeliin Papi tas baru lagi. Yang KW minggir dulu ya."
Kiana menyeringai. "Nikmati tas barumu, Bu Siska. Sebelum suami kamu menangis darah."
Delapan menit kemudian, Sinta kembali dengan wajah cerah.
"Dapat, Bu. Namanya Siska Pratiwi. Suaminya bernama Budi Santoso, pemilik CV Santoso Jaya. Mereka bergerak di bidang penyediaan sparepart mesin pabrik dan... ah, ini menarik, Bu."
"Apa?"
"CV Santoso Jaya adalah salah satu vendor tier tiga di Ardiman Logistics. Mereka baru saja mengajukan perpanjangan kontrak minggu lalu karena performa mereka sempat merah akibat keterlambatan pengiriman," jelas Sinta sambil menyodorkan data.
Tawa kecil lolos dari bibir Kiana. Tawa yang sangat tidak ramah.
"Dunia sempit sekali," gumam Kiana. "Jadi dia sombong pakai uang yang didapat dari memohon-mohon kontrak ke suami saya?"
"Benar, Bu. Dan laporan kredit mereka juga agak macet. Mobil Alphard itu statusnya leasing, nunggak dua bulan."
"Bagus," Kiana mengangguk puas. "Simpan data itu. Cetak yang rapi. Jangan lakukan apa-apa dulu ke kontraknya. Saya mau main-main sebentar."
"Baik, Bu. Ada lagi?"
"Ada. Kosongkan jadwal saya besok pagi. Ada rapat POMG di sekolah Alea. Saya harus hadir untuk memberikan... edukasi bisnis."
Sore harinya, Kiana pulang lebih awal.
Dia masuk ke rumah dengan perasaan cukup baik. Dia membayangkan Alea akan menyambutnya dengan cerita seru tentang bagaimana dia mempraktikkan "jalan tegap" dan "senyum sinis".
"Alea! Tante pulang bawa martabak manis!" seru Kiana saat memasuki ruang tengah.
Namun, tidak ada jawaban. Rumah sepi.
"Bi Inah?" panggil Kiana.
Bi Inah muncul dari dapur dengan wajah yang lebih cemas daripada tadi pagi.
"Non Alea sudah pulang, Bu... tapi..." Bi Inah menggantung kalimatnya, menunjuk ke arah tangga. "Langsung lari ke kamar. Pintunya dikunci. Dia... dia nangis, Bu."
Senyum di wajah Kiana lenyap seketika. Kotak martabak di tangannya dia letakkan sembarangan di meja konsol.
"Kenapa nangis? Siapa yang bikin dia nangis?" Suara Kiana berubah dingin.
"Saya nggak tahu, Bu. Tadi pas turun dari jemputan, seragamnya kotor semua. Roknya sobek. Lututnya... ada darahnya."
Darah.
Satu kata itu membuat darah Kiana sendiri mendidih sampai ke ubun-ubun.
Tanpa bicara lagi, Kiana menaiki tangga setengah berlari. Hak sepatunya beradu keras dengan lantai marmer, menciptakan gema kemarahan di seluruh rumah.
Sampai di depan kamar Alea, Kiana mencoba membuka pintu. Terkunci.
"Alea. Buka pintunya," perintah Kiana. Tidak ada nada lembut.
"Nggak mau! Pergi!" suara Alea terdengar serak dari dalam.
"Tante hitung sampai tiga. Satu. Dua..."
"Pergi! Tante bohong! Katanya kalau aku berani mereka takut! Tapi mereka malah dorong aku!" teriak Alea di sela isak tangisnya.
Hati Kiana mencelos.
"Alea, buka. Atau Tante dobrak. Tante serius. Tas Tante isinya linggis," ancam Kiana asal, tapi nadanya meyakinkan.
Klik.
Kunci pintu terbuka perlahan. Pintu terayun ke dalam.
Alea berdiri di sana. Penampilannya kacau balau. Kepangan rambut French Braid yang tadi pagi Kiana buat dengan rapi, kini berantakan. Pita rambutnya hilang. Seragam putihnya kotor oleh tanah merah di bagian punggung.
Dan yang paling membuat mata Kiana menyipit tajam adalah lutut kanan Alea. Ada tambahan luka lecet yang cukup lebar, darah segar masih merembes sedikit, bercampur dengan debu.
Kiana tidak langsung memeluknya. Dia masuk, menutup pintu, lalu berlutut di depan Alea untuk memeriksa lukanya.
"Duduk," kata Kiana sambil menunjuk tepi kasur.
Alea menurut, duduk sambil sesenggukan. Kiana mengambil kotak P3K dari laci (dia sudah menghafal letak barang di kamar ini). Dengan telaten, dia membersihkan luka itu pakai alkohol.
"Aww! Perih!" Alea menarik kakinya.
"Tahan. Rasa perih itu pengingat kalau kamu masih hidup," kata Kiana datar, tapi tangannya meniup luka itu pelan-pelan.
Setelah menutup luka dengan plester, Kiana berdiri dan menatap Alea.
"Cerita. Kronologis lengkap. Jangan ada yang dikurangi, jangan ada yang ditambah."
Alea mengusap ingusnya dengan punggung tangan. "Waktu istirahat... aku duduk di bangku taman. Terus Dino sama teman-temannya datang. Mereka bilang..." Alea berhenti, air matanya turun lagi.
"Bilang apa?" desak Kiana.
"Mereka bilang aku anak pembawa sial. Katanya Mamaku meninggal gara-gara aku nakal. Terus kata Dino... Tante itu cuma istri bayaran. Katanya Ibunya Dino bilang Tante itu 'janda gatal' yang mau habisin uang Papa."
Tangan Kiana mengepal di samping tubuhnya. Buku-buku jarinya memutih.
Janda gatal.
Kata-kata dari grup WhatsApp itu rupanya sudah sampai ke telinga anak-anak. Racun dari ibu-ibu itu sudah menular ke generasi berikutnya.
"Terus?"
"Aku marah! Aku bilang Tante bukan janda gatal, Tante itu bos! Terus Dino dorong aku sampai jatuh ke pot bunga. Dia ambil pita rambutku terus dibuang ke selokan," tangis Alea pecah lagi. "Tante bohong... aku udah berani, tapi aku tetap kalah..."
Kiana merasakan amarah yang belum pernah dia rasakan sebelumnya. Bukan amarah karena bisnisnya diganggu, tapi amarah murni seorang pelindung yang melihat wilayahnya diinjak-injak.
Dia mendekap kepala Alea ke perutnya. Untuk pertama kalinya, Kiana memberikan pelukan tulus. Tangannya mengusap rambut berantakan itu.
"Kamu nggak kalah, Alea," bisik Kiana, suaranya rendah dan berbahaya. "Kamu sudah berani melawan. Itu kemenangan pertama. Sisanya... biar Tante yang urus."
Alea mendongak, matanya basah. "Tante mau ngapain?"
Kiana melepaskan pelukannya. Dia berjalan ke cermin, merapikan rambutnya sendiri, lalu menatap pantulan dirinya. Wajah boss lady-nya kembali, kali ini dengan aura membunuh yang lebih pekat.
"Siapa nama anak yang dorong kamu tadi? Dino?" tanya Kiana memastikan.
"Iya. Dino Santoso. Anaknya Tante Siska."
Kiana tersenyum. Senyum yang sangat mengerikan sampai-sampai Alea berhenti menangis karena ngeri melihatnya. Itu bukan senyum ibu peri. Itu senyum ratu jahat yang siap mengirim pasukan naga.
"Besok ada rapat orang tua murid di aula sekolah," kata Kiana pelan, lebih kepada dirinya sendiri.
"Tante mau datang?" tanya Alea takut-takut.
"Pasti," jawab Kiana sambil mengambil ponselnya. Dia mengirim pesan singkat pada Gavin: Besok pagi kosongkan jadwalmu. Kita ke sekolah Alea.
Kiana menatap Alea lagi. "Besok Tante datang. Dan Tante pastikan, besok siang Dino dan ibunya yang akan menangis, bukan kamu. Sekarang ganti baju, kita makan martabak."
Alea menatap Kiana dengan takjub. Rasa sakit di lututnya seolah hilang. Dia tidak tahu apa yang akan dilakukan Kiana, tapi satu hal yang pasti: Tante Siska dalam masalah besar.