Setelah mengusir Arya Widura dari Madangkara, Permadi dan Shakila menjadi orang kepercayaan Prabu Wanapati. Hubungan Dewi Garnis dan Widura pun kandas. Akan tetapi, Widura bersumpah, tidak akan pernah berhenti membongkar kedok Permadi dan Shakila sebagai orang Kuntala. Dewi Garnis dan Raden Bentar berjanji untuk membersihkan nama baik Widura.
Ternyata, bukan hanya Widura saja yang tahu identitas Permadi dan Shakila, ada orang lain lagi, seorang laki-laki misterius yang selalu mengenakan cadar hitam. Lewat si cadar hitam, Bentar dan Garnis mendapatkan kebenaran tentang siapa Permadi dan Shakila itu. Mereka adalah orang-orang licik yang berusaha untuk menggulingkan Kerajaan Madangkara dan mengembalikan kejayaan Kerajaan Kuntala. Menghadapi orang seperti mereka tidak bisa menggunakan kekerasan akan tetapi, harus menggunakan siasat jitu. Berhasilkah Bentar dan Garnis membongkar kedok mereka ?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Eric Leonadus, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Babak Ketiga Puluh Tiga
# 33
Keringat membasahi sekujur tubuh Permadi, ia merapal Jurus Jari Besi pada tangan kirinya dan dengan sekuat tenaga ia mencoba untuk menghajar batok kepala laki – laki pucat itu. Akan tetapi, pukulannya seakan mengenai benda yang kuat sekali, Permadi terperangah, pangkal lengan kirinya terasa sakit sekali. Tulang bahunya seakan remuk.
“Tampaknya kau belum tahu siapa aku, anak muda ?” kata laki – laki paruh baya itu, suaranya parau bagai suara burung gagak. Setelah itu ia berseru keras ....
“HHIIAAHH !!!”
Tubuh Permadi terjungkal ke belakang. Ia mencoba untuk bangun sekalipun tubuhnya serasa tidak bertenaga dan laki – laki paruh baya itu lagi – lagi sudah berdiri dihadapannya sambil menimang – nimang belati SINAR HITAM milik Permadi. Ia tersenyum dingin lalu berkata, “Konon, Belati Sinar Hitam memiliki pasangan, PEDANG SINAR HITAM, ya ? Tapi, barang rongsokanmu itu tidak akan mampu menembus tubuhku ....” setelah berkata demikian, ia melemparkan belati itu ke arah tuannya. Permadi berkelit ke samping kanan, mata belati menyerempet pundak kanannya. Ia menjerit kesakitan, darah menyembur keluar dari lukanya. Belati itu menancap pada sebuah pohon, yang membuat Permadi heran bercampur ngeri adalah, saat Permadi mencabut belatinya, pohon itu mendadak tumbang dan badan belatinya hancur berkeping – keping.
“Jagat Dewa Batara ... nasib belati ini sama dengan pohon itu, hancur lebur, sementara tubuh orang itu tidak terluka sedikit pun ... siapakah dia ? Darimana asalnya ? Jurus apakah yang digunakannya ?”
“Untung itu hanya belati,” kata laki – laki pucat itu, “Bayangkan saja jika belati dan pohon itu adalah tubuhmu....”
“Ha... ha... ha... ha.... Permadi, kau terlalu menganggap remeh kami, kesombongan telah membutakanmu.... sungguh amat disayangkan apabila Kerajaan sekecil Madangkara itu telah mengangkatmu sebagai salah satu Panglima Perangnya, padahal ilmumu tak layak untuk disejajarkan dengan PANGLIMA RINGKIN, SENOPATI INDRA KUMALA, RADEN PAKSI JALADARA, DEWI GARNIS, RADEN BENTAR dan PRABU WANAPATI sekalipun, bahkan SENOPATI ARYA WIDURA dari Blambangan yang telah kau jebak itu. Tak malukah kalian menjuluki diri sebagai ‘SEPASANG WALET PUTIH’ ... namun, pada kenyataannya kalian lebih pantas dijuluki SEPASANG ITIK COMBERAN,” ejek Palawa beserta ketiga kawannya, sementara laki – laki paruh baya itu hanya diam seribu bahasa.
Pria paruh baya bertubuh jangkung, kurus dan berwajah pucat itu memang memiliki sifat pendiam. Sekujur tubuhnya keras bagai besi baja, mampu bergerak secepat angin. Jurus andalannya adalah : TANGAN PENGHANCUR JIWA. Disebut demikian karena dengan jurusnya itu, ia mampu menghancurkan bagian dalam tubuh tanpa melukai bagian luarnya. Sebuah jurus yang mengerikan dan ditakuti oleh kawan maupun lawan.
Sambiloko tampak kecewa dengan tindakan Rajegwesi ikut campur dalam pertarungannya dengan Permadi yang baru saja dimulai. Ia merasa dirinya direndahkan. Akan tetapi, ia memilih bersikap dewasa dan bijak. Dengan demikian, ia tak perlu membuang – buang tenaga untuk menundukkan ataupun membunuh Permadi. Sama saja dengan melumuri tangan dengan sampah atau kotoran.
Rajegwesi mengalihkan perhatiannya ke arah Sambiloko.
“Maaf, saudaraku ... aku terpaksa mencampuri urusanmu dengan pemuda sombong itu,” katanya.
“Orang – orang Madangkara, terlalu bodoh menempatkan dia di jajaran Panglima Perang mereka, padahal ilmunya biasa – biasa saja,” kata Sambiloko, “Saya malah senang ada orang lain yang membunuhnya, sehingga tak menodai tanganku dengan sampah macam dia. Sekali lagi saya ucapkan terima kasih, saudara Rajegwesi,”
“Bagiku... sampah atau bukan, tidak masalah.... yang jelas kalau sudah menyangkut nyawa seorang teman, aku tidak akan tinggal diam. Permadi dan Ayahnya ini sama – sama culas dan licik, bahkan dia lebih licik lagi ... orang – orang licik macam dia memang harus disingkirkan dari dunia ini,” sahut seorang pria berambut gondrong, bertubuh kekar dan gagah. Tangan dan kaki dibalut oleh sebuah kain hitam, sebagian rambutnya yang kelabu panjang berombak juga diikat oleh kain hitam. Jari jemarinya tak henti – hentinya memainkan kumis dan jenggotnya yang panjang berwarna kelabu.
“Hm, DURSAPATI, SI TANGAN DAN KAKI API,” ujar Sambiloko, “Namamu cukup terkenal di sekitaran kaki Gunung Wilis. Apa yang membawamu jauh – jauh datang dari Wetan menuju Kulon ini ?” tanyanya lagi.
“Memenuhi panggilan dari sahabat lama yang telah dicelakai oleh orang Kuntala itu,” jawab pria yang dipanggil dengan sebutan DURSAPATI, “Sayang sekali dia harus mati penasaran di tangan kita. Lihatlah wajahnya yang memelas itu, tapi, biar bagaimana pun juga, dia harus bertanggung jawab atas perbuatannya yang telah mencelakai Tuan Mahali,” sambungnya.
“Pertanggungan jawab, apa ? Aku sama sekali tidak mengerti ....” sahut Permadi.
“Bedebah !” seru Dursapati, “Sekali licik tetaplah licik ! Percuma banyak bicara dengan laki – laki licik dan banci sepertimu ! Nah, sambutlah seranganku ini !” setelah berkata demikian Dursapati menerjang ke arah Permadi. Kali ini Permadi tidak berani lagi meremehkan lawannya. Maka dari itu ia meningkatkan tenaga dalamnya untuk bertahan dan menyerang balik saat ada kesempatan. Salah apabila Permadi harus menghadapi serangan lawan yang bak geledek itu setengah – setengah, sebab, serangan lawannya ini lebih berbobot dan terarah cukup matang dan mematikan. Kibasan kaki dan tangannya mengandung hawa panas bagai api, setiap kali tangan dan kakinya beradu dengan tangan dan kaki lawan, Permadi seperti merasa tangan dan kakinya terbakar oleh bara api.
Pukulan dan tendangan lawan Dursapati disambut pula dengan pukulan dan tendangan Permadi. Tak terhitung berapa kali mereka bertabrakan dan Permadi nyaris saja terpelanting karena tenaga lawan lebih besar daripada tenaganya. Permadi merasa gemas juga karena setiap serangan balik yang ia lancarkan, arahnya bisa ditebak lawan. Ia gagal menyerang balik, ilmu kanuragan lawannya ini benar – benar jauh berada diatasnya. Terlambat mengelak sedikit saja, bisa menyebabkan luka yang fatal. Dalam waktu yang tidak lama, Dursapati berhasil mendesak dan memojokkannya. Tubuh Permadi seakan dikurung oleh cahaya hitam dan Permadi berusaha keras untuk keluar dari kepungan cahaya hitam itu.
Tak ada jalan lain bagi Permadi selain merapal jurus Jari Besinya. Kedua tangan Permadi memancarkan cahaya merah kehitaman.
“HHIIAATTHH !!!”
Permadi berseru keras bersamaan dengan itu tubuhnya melenting tinggi ke udara sementara, hawa panas dari serangan kaki lawan mengejar kemanapun ia berkelit. Ia mengeraskan jari – jemarinya hingga otot dan uratnya bertonjolan keluar. Mendadak saja tangan Permadi seperti dibungkus oleh warna hitam mengkilat. Serangan kaki – kaki lawan itu sudah bergerak mendekat seperti sedang bersiap menghantam tubuh Permadi dari berbagai arah. Permadi memejamkan matanya, ia sedang merapal cakar besinya dan saat jarak antara kaki – kaki lawan kurang lebih sejengkal lagi, Permadi membuka matanya dan ....
“Bam ! Bam ! Bam ! Bam !”
Semua mata yang memandang ke asal suara itu terbelalak lebar, mulutnya ternganga manakala menyaksikan cahaya merah dan cahaya hitam bertabrakan. Detik berikut tampak tubuh Permadi terpental sejauh 1 tombak sementara pria paruh baya itu hanya bergeser sedikit saja untuk kemudian mendarat ke tanah dengan ringan sebelum tubuh Permadi menyentuh tanah.
“Dursapati... tampaknya bocah itu terluka oleh serangan kaki apimu yang dahsyat itu,” kata seorang pria berwajah pucat yang berdiri di samping pemuda bercodet.
“Dia tidak akan terluka hanya dengan jurus pertama dari Kaki Apiku. Hanya luka gores saja,” kata orang yang dipanggil dengan sebutan Dursapati itu.
“Gila,” seru pemuda bercodet, “Jurus pertama Kaki Api sudah sedahsyat itu, apalagi jurus kedua, ketiga dan seterusnya,”
Sementara, tubuh Permadi tergeletak tengkurap satu tombak dari tempat keenam lawannya berdiri, entah sudah mati atau sekedar pingsan saja, tapi, jelas mengalami luka yang cukup parah, karena jurus Kaki Api itu sudah dialiri hawa panas sepanas nyala api terkena satu tendangan saja, tubuh serasa terbakar apalagi berulang kali. Tak lama kemudian tubuh Permadi bergerak – gerak perlahan untuk kemudian bangkit berdiri, pakaiannya yang semula mentereng menjadi kusut dan lusuh berdebu. Wajahnya matang biru, beberapa tendangan Dursapati memang sempat mendarat di tubuh dan wajah yang membuat dadanya sedikit sesak, matanya berkunang – kunang. Darah mengalir keluar membasahi hidung dan mulutnya.
“Si... siapakah kau ini, Tuan ?” tanya Permadi sambil bersusah payah bangun. Suaranya gemetar menahan sakit.
“Baiklah... biar kau tak mati penasaran, kuperkenalkan saja diriku. Namaku adalah DURSAPATI, orang menjulukiku SI KAKI API. Kukira kau tahu, mengapa rimba persilatan menjulukiku demikian ?”
“HOEKH !!”
Permadi memuntahkan darah merah kehitaman, ia merasakan tubuhnya seakan terbakar, dada dan ulu hatinya panas sekali. Selain terkejut dengan nama Si Kaki Api, ia juga terkejut karena mengingatkannya pada peristiwa dimana ia memerintahkan Juragan Gurinda untuk membunuh Widura.
..._____ bersambung _____...