NovelToon NovelToon
Dibalik Istana Naga

Dibalik Istana Naga

Status: sedang berlangsung
Genre:Perperangan / Romansa / Fantasi Wanita / Harem / Balas Dendam / Enemy to Lovers
Popularitas:7.6k
Nilai: 5
Nama Author: Black _Pen2024

Untuk membalaskan dendam keluarganya, Swan Xin menanggalkan pedangnya dan mengenakan jubah sutra. Menjadi selir di Istana Naga yang mematikan, misinya jelas: hancurkan mereka yang telah membantai klannya. Namun, di antara tiga pangeran yang berebut takhta, Pangeran Bungsu yang dingin, San Long, terus menghalangi jalannya. Ketika konspirasi kuno meledak menjadi kudeta berdarah, Swan Xin, putri Jendral Xin, yang tewas karena fitnah keji, harus memilih antara amarah masa lalu atau masa depan kekaisaran. Ia menyadari musuh terbesarnya mungkin adalah satu-satunya sekutu yang bisa menyelamatkan mereka semua.
Langkah mana yang akan Swan Xin pilih?

Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Black _Pen2024, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri

Bab 16 Permainan Kebohongan...

Keheningan itu seperti dinding kaca yang tiba-tiba tumbuh di antara mereka, tebal dan tak tertembus. Mata Kaisar yang tadinya berkabut kini menatap lurus ke dalam jiwa Swan, jernih dan setajam ujung belati. Waktu seolah berhenti. Setiap detak jantung Swan menggema di telinganya sendiri seperti genderang perang. Ia tertangkap. Di kamar tidur penguasa langit dan bumi, berpakaian seperti pencuri, dengan aroma racun masih samar di udara. Inilah akhirnya.

“Anda…” bisik Kaisar, suaranya serak dan rapuh, namun kejernihan di matanya tidak goyah. “Wajah Anda… aku pernah melihatnya…”

“Hamba… hamba hanya pelayan yang tersesat, Yang Mulia,” gagap Swan, otaknya yang biasa bekerja secepat kilat kini membeku total.

“Bukan.” Kaisar menggelengkan kepalanya sangat pelan, sebuah gerakan yang tampak menghabiskan seluruh sisa tenaganya. “Matamu… mata itu…”

Sebuah suara batuk tertahan terdengar dari kamar sebelah. Salah satu tabib. Jantung Swan melompat ke tenggorokannya. Ia harus pergi, sekarang juga.

“Hamba mohon maaf, Yang Mulia. Hamba harus pergi.” Swan mundur selangkah, tubuhnya tegang, siap melesat.

“Jangan…” Tangan kurus Kaisar terulung dari balik selimut, jari-jarinya gemetar. “Jangan pergi… Xin-er…”

(Xin-er?) Itu nama panggilan sayang Ayahnya untuk Ibunya. Racun itu telah mengacaukan pikirannya, mencampuradukkan masa kini dengan kenangan yang telah membusuk. Momen kejernihan itu pecah, digantikan oleh kabut kebingungan. Mata tajam itu kembali meredup, tatapannya menjadi kosong, tidak lagi melihat Swan, tetapi menembus dinding, melihat hantu dari masa lalu.

“Xin-er… jaga putri kita…” gumamnya lagi, matanya mulai terpejam. Tangannya jatuh lemas ke atas selimut sutra.

Itulah kesempatannya. Tanpa berpikir dua kali, Swan berbalik dan meluncur tanpa suara keluar dari pintu, menutupnya di belakangnya dengan kelembutan yang nyaris tak terdengar. Ia menyelinap kembali melewati koridor yang sunyi, keluar melalui jendela kamar mandi, dan menghilang ke dalam pelukan malam, kata-kata terakhir Kaisar terngiang di benaknya seperti kutukan dan berkah.

Keesokan harinya, matahari pagi terasa seperti tuduhan. Swan tidak bisa tidur. Bayangan wajah Kaisar yang tersiksa dan panggilan putus asanya terus menghantuinya. Setiap suara di luar paviliunnya membuatnya terlonjak. Tapi tidak ada yang datang. Tidak ada alarm. Tidak ada penggeledahan. Ia berhasil lolos. Untuk saat ini.

“Nona, ada kiriman untuk Anda,” kata Bi Lan pelan, masuk ke dalam ruangan dengan sebuah nampan kecil. Di atasnya tergeletak sebuah gulungan perkamen yang diikat dengan pita sutra hijau. Lambang Pangeran Kedua tertera jelas di segel lilinnya.

“Dari siapa?” tanya Swan, meskipun ia sudah tahu jawabannya.

“Dari Yang Mulia Pangeran Zheng Long, Nona,” jawab Bi Lan cemas. “Beliau mengundang Anda ke perpustakaan pribadinya pagi ini. Katanya, ada beberapa koleksi puisi baru yang mungkin Anda sukai.”

“Puisi,” desis Swan getir. “Aku yakin bukan itu yang dia inginkan.”

Perpustakaan pribadi Zheng Long tidak seperti perpustakaan kekaisaran yang kuno dan berdebu. Tempat ini rapi, teratur dengan presisi yang menakutkan. Setiap gulungan diberi label, setiap buku disusun berdasarkan kategori yang logis. Peta-peta militer terbaru terbentang di atas sebuah meja besar, dipenuhi catatan-catatan kecil yang ditulis dengan tangan yang rapi. Udara di dalamnya berbau tinta segar, kertas mahal, dan ambisi yang dingin.

“Selamat datang, Selir Xin.” Zheng Long tersenyum dari balik meja kerjanya. Hari ini dia mengenakan jubah berwarna kelabu, membuatnya tampak seperti seorang sarjana, bukan seorang pangeran. “Maaf mengganggu waktu Anda. Saya harap Anda tidak keberatan.”

“Sama sekali tidak, Yang Mulia,” jawab Swan, membungkuk dengan anggun. “Suatu kehormatan bagi saya bisa melihat koleksi Anda yang terkenal ini.”

“Ah, ini hanya hobi kecil,” katanya merendah, meskipun matanya berkilat bangga. Ia bangkit dan berjalan menghampiri Swan. “Saya baru saja menerima salinan baru dari ‘Balada Bunga Plum di Tengah Badai’. Kisah yang sangat indah. Tentang kesetiaan dan pengorbanan.”

“Saya pernah mendengarnya,” sahut Swan hati-hati. “Kisah tentang seorang selir yang mengorbankan dirinya untuk menyelamatkan Pangeran.”

“Tepat sekali.” Zheng Long menatapnya tajam. “Sebuah pengingat bahwa terkadang, bidak yang paling diremehkan justru yang bisa mengubah seluruh hasil permainan, bukan begitu?”

“Saya tidak begitu paham soal permainan, Yang Mulia,” balas Swan lembut. “Bagi saya, itu hanyalah sebuah kisah cinta yang tragis.”

“Tentu saja.” Zheng Long tertawa kecil, suara tawanya tidak mengandung kehangatan. Ia berjalan ke arah rak yang lain. “Tapi Kakek Anda, Guru Besar Wen, justru melihatnya dari sudut pandang yang berbeda. Beliau pernah menulis esai tentang balada itu, menafsirkannya sebagai alegori strategi militer. Tentang pengalih perhatian dan serangan kejutan.” Ia mengambil sebuah gulungan. “Guru Wen memang brilian. Beliau bisa melihat perang di dalam kelopak bunga.”

“Kakek memang punya imajinasi yang liar,” komentar Swan dengan senyum tipis.

“Bicara soal perang,” ujar Zheng Long, seolah baru saja teringat. Nadanya santai, tapi Swan merasakan hawa dingin menjalari ruang di antara mereka. “Saya selalu terpesona dengan kisah-kisah lama. Terutama tentang Jenderal Besar dari generasi sebelumnya.” Ia berhenti, menoleh menatap Swan. “Mendiang Jenderal Xin, misalnya.”

Napas Swan tercekat sesaat. Udara di paru-parunya seolah berubah menjadi pecahan kaca. Ia bisa merasakan gelombang panas kemarahan yang familier naik dari perutnya. Wajah Ayahnya, berlumuran darah di lantai marmer, melintas di benaknya.

“Saya dengar beliau seorang prajurit yang hebat,” lanjut Zheng Long, matanya mengamati setiap perubahan mikro di wajah Swan. “Setia, berani, tak terkalahkan di medan perang. Pahlawan kekaisaran. Tapi… ada juga desas-desus yang lain.”

“Desas-desus?” ulang Swan, suaranya berhasil ia jaga agar tetap datar, meskipun di dalam dirinya, badai sedang mengamuk.

“Yah, Anda tahu lah bagaimana istana ini,” kata Zheng Long, melambaikan tangannya dengan acuh tak acuh. “Selalu ada bisikan-bisikan di sudut gelap. Mereka bilang Jenderal Xin terlalu berkuasa. Terlalu ambisius. Katanya, kesetiaannya mulai goyah di tahun-tahun terakhirnya. Konon, beliau diam-diam menjalin hubungan dengan suku-suku barbar di utara.”

Tangan Swan yang tersembunyi di balik lengan bajunya yang lebar mengepal begitu erat hingga kuku-kukunya menancap ke telapak tangannya. Rasa sakit fisik itu menjadi jangkar, mencegah amarahnya meledak.

“Benarkah?” tanya Swan, suaranya kini terdengar sedikit sedih, seolah ia baru saja mendengar gosip tentang orang asing yang malang. “Kasihan sekali. Pasti menyakitkan difitnah seperti itu, apalagi saat beliau sudah tidak ada untuk membela diri.”

Zheng Long terdiam sesaat, tampak sedikit terkejut dengan jawaban itu. Ia mengharapkan penyangkalan yang panik, atau mungkin air mata. Bukan ketenangan yang dingin ini.

“Anda benar,” katanya pelan. “Orang mati adalah kanvas kosong tempat para pengecut melukiskan ketakutan mereka.”

Jantung Swan berdebar. Dia menggunakan kalimatnya sendiri. Kalimat yang ia katakan kemarin di depan Zheng Long tentang kue jahe. Dia sedang bermain-main dengannya, menunjukkan bahwa dia tahu persis siapa lawannya.

“Yang Mulia sangat bijaksana,” puji Swan, menundukkan kepalanya.

“Kebijaksanaan tidak ada artinya tanpa kekuatan untuk melindunginya,” sahut Zheng Long. Ia melangkah mendekat. “Istana ini tempat yang berbahaya, Selir Xin. Terutama bagi seseorang yang sendirian dan menjadi pusat perhatian. Desas-desus, sekecil apa pun, bisa menjadi racun yang membunuh perlahan.”

“Lalu apa yang harus dilakukan oleh orang seperti saya, Yang Mulia?” tanya Swan, menatapnya dengan mata yang dibuat tampak bingung dan sedikit takut.

Zheng Long tersenyum. Senyum seekor ular yang baru saja berhasil memojokkan mangsanya.

“Cari pelindung,” bisiknya. “Seseorang yang cukup kuat untuk membungkam bisikan-bisikan itu. Seseorang yang bisa menjamin keselamatan Anda, tidak peduli apa pun desas-desus yang mungkin menimpa Anda di masa lalu… atau di masa depan.”

Tawaran itu menggantung di antara mereka. Bukan sekadar perlindungan. Itu adalah sebuah rekrutmen. Sebuah ajakan untuk bersekutu.

“Anda terlalu baik, Yang Mulia.” Swan menggelengkan kepalanya pelan. “Tapi hamba tidak pantas menerima kebaikan sebesar itu. Hamba sudah punya pelindung terhebat.”

Alis Zheng Long terangkat. “Oh, ya? Siapa?”

“Nama baik Kakekku,” jawab Swan dengan senyum polos.

Senyum di wajah Zheng Long memudar. Ia menatap Swan selama beberapa detik yang panjang, seolah sedang menimbang-nimbang jiwanya. Lalu, ia tertawa. Tawa yang kering dan tanpa humor.

“Anda benar-benar menarik, Selir Xin.” Ia kembali ke mejanya. “Jauh lebih menarik daripada puisi mana pun di perpustakaan ini. Anda boleh pergi sekarang. Aku tidak akan menahan Anda lebih lama lagi.”

Swan membungkuk sekali lagi dan berbalik, punggungnya terasa kaku. Ia berhasil melewati ujian itu. Ia berhasil mengendalikan dirinya. Tapi ia tahu, ia baru saja mengonfirmasi semua kecurigaan sang pangeran. Permainan kucing dan tikus ini telah resmi dimulai.

Ia kembali ke Paviliun Bunga Peoni dengan langkah cepat, pikiran dan emosinya terkuras habis. Ia butuh waktu untuk berpikir, untuk merencanakan langkah berikutnya. Bi Lan menyambutnya di pintu dengan wajah cemas, tapi Swan hanya melewatinya dan langsung masuk ke kamar tidurnya. Ia butuh sendirian.

Dan di sana, di tengah kamarnya, tergeletak di atas meja teh rendah, ada sebuah kotak kayu pernis hitam yang sederhana. Kotak itu tidak ada di sana saat ia pergi tadi pagi.

“Bi Lan!” panggilnya tajam. “Siapa yang masuk ke kamarku?”

“Tidak ada, Nona!” jawab Bi Lan, bergegas masuk. Matanya membelalak melihat kotak itu. “Hamba bersumpah! Hamba berjaga di pintu depan sepanjang waktu! Tidak ada satu pun kasim atau pelayan yang datang!”

Jantung Swan mulai berdebar kencang. Dengan hati-hati, ia mendekati kotak itu. Tidak ada catatan. Tidak ada segel. Ia mengangkat tutupnya dengan ujung jemarinya.

Di dalamnya, di atas lapisan sutra berwarna nila, tergeletak sebuah buku tua. Jilidnya terbuat dari kulit yang sudah usang dan retak-retak. Judulnya ditulis dengan kaligrafi kuno yang pudar: (Seni Medan Perang yang Tak Terlihat). Salah satu kitab strategi militer klasik, tapi yang ini adalah edisi langka yang sangat disukai ayahnya.

Darah serasa surut dari wajahnya. Ini bukan sekadar buku. Ini adalah pesan. Sebuah pesan yang menakutkan. Pikirannya berpacu, mencari kemungkinan. Guru Wen? Terlalu berisiko. Salah satu Pangeran? Jiang Long tidak cukup cerdas, Zheng Long akan lebih subtil, dan San Long… San Long memberinya kawat baja, bukan buku.

Lalu siapa? Siapa lagi yang tahu? Siapa lagi di istana terkutuk ini yang tahu ketertarikan seorang selir muda pada seni perang? Swan Xin termangu....

1
Yunita Widiastuti
tahta...oh ...tahta..
Yunita Widiastuti
🌹💪💪💪
Black_Pen2024 Makin Sukses 🎉✨: gift. maaf typo
total 2 replies
Ita Xiaomi
Cara aman menghilangkan bukti.
Eskael Evol
luar biasa
Black_Pen2024 Makin Sukses 🎉✨: Terima kasih kakak bintang limanya. jangan bosan baca karya karya author yang ongoing ya...🌹🥳🙏😄
total 1 replies
Eskael Evol
cerita nya sangat bagus
trmkash thor good job👍❤
Ulla Hullasoh
terlalu ingin tau xin jd membahayakan orang lain
Jeffie Firmansyah
awal cerita yg mantap 💪
Wiji Lestari
penasaran💪
Wiji Lestari
💪💪
Eskael Evol
keren trmksh thor👍❤
Black_Pen2024 Makin Sukses 🎉✨: 🙏🙏🥳Terima kasih kakak. semua dukungan kakak sungguh berharga buat author. Terima kasih🙏
total 1 replies
Eskael Evol
keren cerita nya smg ttp seru hingga ahir👍
Eskael Evol
bisa nggak ya nama² pemeran pakai nama biasa aja biar gak ribet dan bingung, sayang cerita bagus tapi malas baca nya
Black_Pen2024 Makin Sukses 🎉✨: maaf. akan saya perhatikan selanjutnya. Terima kasih untuk masukannya. 🙏🙏
total 1 replies
Ulla Hullasoh
karya yang bagus Thor.....🥰
Ulla Hullasoh
akhirnya selamat...sampe tarik nafas 👍
Black_Pen2024 Makin Sukses 🎉✨: Terima kasih kak. udah mampir di cerita author. semoga suka. boleh klik napen author untuk pilih novel author yang lain. berbagai genre juga.
jangan lupa subscribe, like, komen, gift, vote dan klik bintang limanya. Terima kasih dukungan para pembaca setia sangat berharga buat author. lope lope sejagat... 🥳🌹😍🙏
total 1 replies
Ita Xiaomi
Demi kelangsungan hidup Kasim Li😁
Arix Zhufa
ku kira MC cewek nya kuat...ternyata
Arix Zhufa
cerita awal nya bagus tp setelah baca sampe bab ini alur nya bertele tele
Black_Pen2024 Makin Sukses 🎉✨: Terima kasih masukannya. Akan saya perhatikan kembali. 🙏🌹
total 1 replies
Arix Zhufa
sampe di bab ini MC cewek nya keren
Black_Pen2024 Makin Sukses 🎉✨: semangat bacanya ya kak. thx all.🌹🥳🙏
total 1 replies
Arix Zhufa
bab 2 aja udh keren
Arix Zhufa
mampir thor
Black_Pen2024 Makin Sukses 🎉✨: Terima kasih kakak. semoga suka ya. masih banyak kisah author yang lain. bisa klik aja napen author dan pilih kisah kisah author yang mana yang suka boleh dibaca. Jangan lupa subscribe, like, komen, gift, vote dan klik bintang limanya thx u. lope lope sejagat😍🥳🌹🙏
total 1 replies
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!