NovelToon NovelToon
CINDELOKA

CINDELOKA

Status: sedang berlangsung
Genre:Ilmu Kanuragan / Dunia Lain / Action / Spiritual / Epik Petualangan / Roh Supernatural
Popularitas:309
Nilai: 5
Nama Author: teguhsamm_

Raden Cindeloka Tisna Sunda, seorang bocah laki laki berparas tampan dari Klan Sunda, sebuah klan bangsawan tua dari Sundaridwipa yang hanya meninggalkan nama karena peristiwa genosida yang menimpa klannya 12 tahun yang lalu. keberadaannya dianggap membawa sial dan bencana oleh warga Sundari karena ketampanannya. Suatu hari, seluruh warga Sundari bergotong royong menyeret tubuh kecil Cindeloka ke sebuah tebing yang dibawahnya air laut dengan ombak yang mengganas dan membuangnya dengam harapan bisa terbebas dari bencana. Tubuh kecilnya terombang ambing di lautan hingga membawanya ke sebuah pulau misterius yang dijuluki sebagai pulau 1001 pendekar bernama Suryadwipa. di sana ia bertemu dengan rekannya, Lisna Chaniago dari Swarnadwipa dan Shiva Wisesa dari Suryadwipa yang akan membawanya ke sebuah petualangan yang epik dan penuh misteri gelap.

Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon teguhsamm_, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri

Si Tampan Yang Terkutuk

Tahun 1982, di negeri tua yang tidak terdeteksi di peta dunia bernama Bumi Nusantara, legenda dan kutukan masih berjalan beriringan dengan nafas manusia. Angin dari utara membawa bau anyir darah, kala itu kepercayaan Hindu-Buddha masih menjadi mayoritas, membangkitkan kembali kisah yang mencoba dilupakan: Genosida Jumat Kliwon 1970, hari ketika Klan Sunda dipusnahkan oleh kekuatan yang tidak pernah berhasil dijelaskan.

Namun satu bocah selamat.

Dan dunia menyesal karenanya.

Di tanah Sundaridwipa, seorang anak lelaki berusia 12 tahun hidup sebagai bayang-bayang. Warga menyebutnya:

"Si Tampan yang Terkutuk." Namanya Raden Cindeloka Tisna, terakhir dari darah Klan Sunda.

Ia berkulit putih bercahaya, nyaris seperti marmer yang diberkati sanghyang; matanya biru menyala seperti bara es; rambut coklat keemasan yang kontras dengan rompi biru lusuh dengan bagian depan terbuka membiarkan dadanya yang atletis terlihat jelas dan celana pendek yang tak pernah ia ganti. Sebilah suling bambu selalu terselip di pinggangnya teman saat sepi ataupun saat uji nyali iseng.

Di balik dadanya yang terbuka, sebuah liontin tua berwarna emas dengan lambang ukiran maung warisan dari mendiang ibunya tergantung di leher.

Dan di balik liontin itu... jantungnya berdenyut tak seperti manusia lain.

Seekor maung bodas bersemayam di sana:

Gundam leluhur khodam suci yang membuatnya hidup... sekaligus dibenci.

Suatu pagi di pasar Sundari yang ramai dengan kerumunan warga yang melakukan transaksi jual beli, Cindeloka memecah suasana dengan mencuri apel dari salah satu pedagang hingga aksi kejar kejaran pun tak terhindarkan.

"HEI! JANGAN MENCURI B*NGS*T!!" Teriak si pedagang apel dengan emosi.

"MAMANG NGGAK BISA NANGKEP AKU' BLEE" Seru Cindeloka dengan mengejek menjulurkan lidah sambil berlari parkour.

Setelah terbebas dari Si pedagang sejauh beberapa kilometer, Cindeloka berseru dihadapan ribuan warga yang tengah berbelanja.

"Hei perkenalkan aku Cindeloka Sunda sang pendekar yang paling hebat di Bumi Nusantara" seru Cindeloka sembari memainkan suling bambunya di tengah kerumunan pasar sambil memakai buah apel curiannya.

"Hei! Tolong berhenti K*p*rt!"

"Si G*bl*g!"

"Berisik banget!"

"Dasar ganteng ganteng membawa sial!"

"Bocah Sunda Yang Terkutuk"

Begitulah gunjingan para warga yang risih dengan gema suling dari Cindeloka, Namun tidak dihiraukan oleh Cindeloka karena sudah terbiasa dengan julukan tersebut.

Suatu malam, tiba-tiba Hujan turun tanpa aba-aba. Petir membelah langit dan desa kecil itu gemetar. Warga Sundari memandang Cindeloka dengan mata yang dipenuhi kecemasan atau iri karena Kutukan Klan Sunda dan Gundam Maung Bodas. Mungkin keduanya. Para warga Sundari pun berkumpul bersama kepala desa, pacalang, di rumah sang Tetua desa Sundari.

"Bapak kita harus mengusir Cindeloka bagaimanapun caranya".

"Bocah itu sudah membawa kita ke bencana tanpa henti".

"Itu semua gara gara si Maung Bodas yang bersembunyi di badannya".

Setelah berdiskusi dan berdebat panjang. Akhirnya sang tetua memilih keputusan yang membuat seluruh warga serentak setuju".

"Bagaimana kalau kita membuang Cindeloka dibuang ke laut dengan begitu kita bisa terbebas dari bencana". Seru si Tetua dengan lantang serak.

"SETUJU!!!!!!!" Teriak warga hingga menciptakan gema.

Pecalang desa membawa tali.

Sementara yang lain membawa obor.

Dan mencari keberadaan Cindeloka.

Cindeloka yang sedari tadi duduk di sebuah saung menghadap ke sawah berdiri, masih dengan gaya tengil dan menenteng sulingnya ketika ia dikerumuni warga yang tiba tiba datang dengan obor, wajah mereka penuh dengan amarah.

"Heh? Kalian mau apa? Mau latihan tidur di air? Bilang aja kalo iri wajahku paling tampan di seluruh Nusantara." ujar Cindeloka sambil mengangkat alis.

Seorang lelaki paruh baya maju yang diyakini sebagai tetua Desa, wajahnya tegang.

"Anak ini... pembawa petaka! Setiap bulan purnama, badai datang! Kebun mati! Ternak lenyap! Semua karena dia!"

"Atau mungkin karena kalian pelit sedekah?" ujar Cindeloka dengan wajah tengil dan nada bingung.

Tamparan mendarat di pipinya. Warga tak menunggu lagi, mereka mengikatnya dengan paksa dan langsung menyeretnya ke dermaga diiringi oleh seluruh warga.

"Serius nih? Ini caramu memperlakukan dede ganteng kayak gini'? Kejam amat." Ucap Cindeloka yang tertawa hambar sambil diikat.

Dalam gelap, liontin di dadanya berpendar samar.

Maung bodas mendesis di dalam jantungnya.

Tapi Cindeloka terlalu kecil untuk melawan dan terlalu bodoh untuk takut.

Ia dilemparkan ke laut.

Air pasang segera menelannya. Para warga pun merayakannya dengan penuh sukacita tanpa merasa bersalah dan menganggap tindakan mereka dapat memutus bencana yang terjadi selama ratusan tahun.

"Kalo aku mati, jangan nyesel ya! Kalian bakal kehilangan maskot desa!" teriak Cindeloka dengan tengil.

Buih menutup wajahnya.

Dunia menjadi hitam.

Entah berapa lama ia terombang-ambing. Ketika kesadarannya kembali, tubuhnya sudah mencium pasir hangat.

Sebuah pulau misterius dengan papan batu beraksara Bali Kuno tertulis:

Suryadwipa.

Pulau kelahiran 1001 pendekar silat, tempat senjata mistis dan arwah kuno masih berkeliaran. Pulau yang pernah dijuluki:

"Suryadwipa Lautan Api."

Cindeloka bangkit, memegangi sulingnya yang masih terselip utuh.

"Hah... minimal aku masih hidup. Maung bodas, makasih ya. Nanti gua traktir angin kenceng." Ujar Cindeloka kepada si maung Bodas.

Ketika ia berjalan melewati pemukiman bergaya Bali kuno, Pemukiman dibangun mengikuti pola mandala Bali kuno-harmonis antara langit, manusia, dan bumi.

Pusat desa adalah Bale Agung, balai kayu jati tua tempat para sesepuh bermusyawarah. Pilar-pilarnya diukir dengan kisah para leluhur, naga tanah, dan burung suci. Rumah-rumah para pendekar mengelilinginya dalam lingkaran rapi, tiap halaman dipagari batu andesit yang ditumbuhi lumut hijau. Pura-pura kecil berdiri di setiap sudut, lengkap dengan pelinggih dan payung kuning-oranye yang menari tertiup angin.Segala sesuatu tersusun terarah, namun tetap hidup oleh sentuhan tangan manusia dan bisikan alam.

Aura para warga terasa lain. Mereka menatapnya dengan mata penuh waspada... namun sebagian tak bisa menyembunyikan kekaguman pada wajah si bocah tampan aneh ini.Terkadang ada yang berbisik.

Kulitnya... bercahaya." ujar dari ibu tukang jamu dengan tatapan curiga

"Matanya biru... pertanda kutukan? Atau titisan dewa?" ujar seorang bapak bapak

Cindeloka hanya nyengir.

"Tenang, aku cuma ganteng. Ganteng itu bukan dosa, kan?" Balas Cindeloka dengan santai

Langit tiba-tiba menggelap.

Angin berubah liar.

Dari arah selatan, gemuruh kolosal mengguncang bumi.

"AWAS! ADA OMBAK" Teriak salah satu warga diikuti dengan jeritan warga yang histeris

Muncul ombak setinggi 5 meter datang begitu cepat, seolah mengejar Cindeloka saja.

"WOOY SERIUS NIH?! BARU DATANG SUDAH DISAMBUT BEGINIAN?!" Jerit Cindeloka dengan mata terbelalak

Air menyapu seluruh pemukiman. Tubuh Cindeloka terlempar seperti daun kering.

Ia menghantam tiang kayu, terbawa arus, lalu...

Gelap lagi.

Ketika kembali sadar, ia sudah berada di dalam sebuah bangunan tua bercorak merah emas, aromanya seperti dupa dan minyak kelapa yang berada di puncak bukit setinggi 10 meter dengan plang dari batu candi bertuliskan "PADEPOKAN SURYAJENGGALA" dengan aksara hancaraka Bali di bagian bawah. Cindeloka menaiki 30 anak tangga untuk mencapai bangunan tersebut. Sepanjang anak tangga dihiasi penjor khas Bali yang terjuntai indah.

Memasuki kompleks, Cindeloka harus melewati candi bentar merah menjulang, dua bangunan kembar setinggi hampir sepuluh meter yang terbelah di tengah bagai gunung yang disayat petir. Ukiran kepala raksasa dan motif api memeluk sisi-sisinya, sementara lumut dan akar tipis merayap seperti naskah kuno yang mencoba menulis dirinya kembali.

Angin yang melewati celah candi bentar itu selalu terasa berbeda-lebih dingin, lebih berat, seolah membawa bisikan para leluhur.

Begitu melewati candi bentar, terbentang halaman depan yang luas, dihampar batu padas yang dipotong halus. Di kiri kanan jalan, berdiri patung-patung Hindu-Buddha dari batu andesit hitam yang telah dipoles waktu.

Ada arca Ganesha yang duduk tenang, perutnya membulat, matanya memandang jauh seolah mengukur masa depan setiap murid. Di sampingnya, sebuah arca Dewi Tara berdiri anggun, jemari mungilnya memegang bunga teratai yang tampak seolah baru mekar kemarin. Tak jauh di tengah halaman, arca Dwarapala berdiri kokoh, wajahnya garang namun memberikan rasa aman bagi siapa pun yang berada di bawah perlindungannya.

Di antara arca-arca besar, terdapat deretan stupa kecil berjajar rapi, masing-masing dengan celah segitiga yang memancarkan sinar emas saat matahari pagi menembusnya. Ketika hari mulai gelap, bayangan stupa itu memanjang, menyatu dengan siluet bangunan padepokan hingga semuanya tampak seperti satu kesatuan monumen kuno.

Di hadapannya berdiri seorang pria berusia 42 tahun, berambut panjang dikuncir, mata tajam namun hangat. Tubuhnya tegap, mengenakan pakaian silat hitam dengan sabuk hitam yang diyakini sebagai Mahaguru sekaligus kepala Padepokan.

Ia tersenyum kecil.

"Selamat datang di Padepokan Suryajenggala, Nak."

Cindeloka memicingkan mata.

"Eh... Om siapa? Aku di mana? Aku masih hidup atau ini surga khusus cowok tampan?"

Pria itu tertawa rendah.

"Namaku Made Septian Bagawanta. Kau boleh memanggilku Ki Bagawanta.

Dan kamu... sepertinya bocah yang dikirim ombak."

Ki Bagawanta menyentuh liontin di dada Cindeloka, yang berpendar seolah mengenali sang kepala padepokan.

Sekilas, mata Ki Bagawanta berubah serius sangat serius.

"Kisanak... apa kau sadar bahwa dalam tubuhmu bersemayam sesuatu yang bahkan para pendekar Suryadwipa takut menyebut namanya?" ujar Ki Bagawanta dengan wajah tenang dan nada pelan

"Ya? Maung bodas? Dia baik kok. Cuma lapar dikit." jawab Cindeloka dengan tengil

Ki Bagawanta menarik napas panjang.

"Kau bukan anak biasa. Dan kedatanganmu ke Suryadwipa... bukan kebetulan."

"Mulai malam ini, Cindeloka, takdirmu akan berjalan entah menuju cahaya...

atau ke jurang gelap yang bahkan para dewa tak berani melihatnya."

Cindeloka meneguk salivanya.

Untuk pertama kalinya, ia merasa... takut.

Dan di luar padepokan, angin membawa suara auman halus eolah maung bodas tertawa.

1
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!