Rindi, seorang perempuan berusia 40 tahun, harus menelan pahitnya kehidupan setelah menjual seluruh hartanya di kampung demi membiayai pendidikan dua anaknya, Rudy (21 tahun) dan Melda (18 tahun), yang menempuh pendidikan di kota.
Sejak kepergian mereka, Rindi dan suaminya, Tony, berjuang keras demi memenuhi kebutuhan kedua anaknya agar mereka bisa menggapai cita-cita. Setiap bulan, Rindi dan Tony mengirimkan uang tanpa mempedulikan kondisi mereka sendiri. Harta telah habis—hanya tersisa sebuah rumah sederhana tempat mereka berteduh.
Hari demi hari berlalu. Tony mulai jatuh sakit, namun sayangnya, Rudy dan Melda sama sekali tidak peduli dengan kondisi ayah mereka. Hingga akhirnya, Tony menghembuskan napas terakhirnya dalam kesedihan yang dalam.
Di tengah duka dan kesepian, Rindi yang kini tak punya siapa-siapa di kampung memutuskan untuk pergi ke kota. Ia ingin bertemu kedua anaknya, melepas rindu, dan menanyakan kabar mereka. Namun sayang… apa yang dia temukan di sana.........
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon akos, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
12. TUAN LUIS.
Rindi kembali melanjutkan pekerjaannya dengan perasaan campur aduk antara memikirkan rumah di kampung yang akan digusur dan ucapan sosok misterius yang terus terngiang di kepalanya.
Setelah berpikir cukup lama dan menyelesaikan semua pekerjaannya, Rindi segera mandi lalu mengenakan pakaian bersih. Tekadnya sudah bulat — apa pun yang terjadi, ia harus menyelamatkan rumah itu.
Dengan perasaan tak menentu, Rindi melangkah masuk ke dalam lift. Perlahan, lift itu membawanya menuju lantai puncak.
Di dalam lift, suasana terasa sunyi. Hanya suara mesin lift yang berdengung pelan menemani setiap detik yang berjalan. Rindi menatap pantulan wajahnya di dinding logam, mencoba menenangkan diri meski dadanya berdebar tak karuan.
Suara ting terdengar. Pintu lift perlahan terbuka. Seketika hawa dingin menyergap keluar dari lorong di depan. Dengan langkah hati-hati, Rindi melangkah keluar, matanya menelusuri deretan pintu kamar yang tampak sepi.
Nomor demi nomor ia lewati, hingga pandangannya berhenti di satu titik — kamar 202, seperti yang dikatakan pria misterius itu. Napasnya tertahan.
Dengan jantung berdebar kencang, Rindi mengangkat tangannya dan mengetuk pelan pintu kamar itu.
Tok... tok... tok...
Beberapa detik berlalu tanpa jawaban. Ia hampir saja berbalik, namun tiba-tiba terdengar suara berat dari dalam ruangan — samar, tapi nada suaranya tajam menusuk telinga.
“Masuklah…”
Rindi menelan ludah, tangannya gemetar saat memutar gagang pintu. Perlahan pintu itu berderit terbuka, menyingkap ruangan yang remang dengan cahaya lampu temaram. Aroma kopi dan aroma parfum bercampur memenuhi udara.
Di tengah ruangan, duduk seorang pria memakai piyama putih dengan wajah yang tak sepenuhnya terlihat karena bayangan. Hanya sepasang matanya yang tajam menatap lurus ke arah Rindi.
Langkah Rindi terhenti di ambang pintu. Ada sesuatu dalam tatapan pria itu yang membuat seluruh tubuhnya kaku — antara takut, panik dan tak percaya dia menemui orang yang sama sekali dia tak kenal.
Pria berusia sekitar empat puluh tahun ke atas, dengan tubuh kekar dan sorot mata tajam yang memancarkan wibawa. Rambut Halus tumbuh di dagu serta pipinya, menambah kesan keras dan matang pada wajahnya. Perlahan, ia mencondongkan tubuh ke depan, tatapannya menusuk ke arah Rindi hingga udara di ruangan terasa semakin berat dan menyesakkan.
“Mendekatlah.”
Rindi menelan ludah. Langkahnya gontai, tapi tekat mendorongnya untuk maju. Jarak antara mereka kini hanya beberapa langkah. Hening menyelimuti ruangan — bahkan detak jam pun terdengar begitu keras di telinganya.
“Kamu menginginkan uang seratus juta, bukan?” katanya dengan nada datar namun penuh tekanan.
Darah Rindi serasa berhenti mengalir. Tubuhnya menegang, matanya membulat.
Rindi mengangguk sambil meremas jarinya.
Senyum tipis muncul di bibir pria itu — samar, namun dingin. Sesaat kemudian, senyumnya berubah menjadi senyum mengejek.
“Sebelum kamu mendapatkan uang seratus juta, lakukan sesuatu untuk memuaskan ku.”
Tubuh Rindi bergetar hebat mendengar perkataan pria itu. Sejak awal, ia sudah menduga hal ini akan terjadi. Mana mungkin di dunia ini ada orang yang mau memberikan uang sebanyak itu secara cuma-cuma tanpa mengharapkan imbalan apa pun.
Rindi mengangguk pelan, tubuhnya masih bergetar hebat. Tekadnya sudah bulat — apa pun yang terjadi, ia harus menyelamatkan rumah itu.
Pria itu berdiri mendekati Rindi yang menunduk. Ia mengangkat dagu Rindi dengan tangan besarnya, memaksa kedua mata mereka saling bertemu. Rindi mencoba melempar pandang ke arah lain, namun pria itu dengan kasar memaksanya untuk menatapnya kembali.
Aroma minuman menusuk hidung Rindi. Ia menyadari bahwa pria itu berada di bawah pengaruh alkohol. Wajahnya memerah, matanya menyala-nyala. Rindi juga bisa merasakan ada sesuatu yang lain — sepertinya pria itu juga dikendalikan obat perangsang, meski dosisnya tidak terlalu tinggi hingga dia masih bisa mengendalikan diri.
Pria itu berdiri dan mendekat, menatap Rindi dengan sorot mata tajam yang menusuk. Rindi menunduk, jantungnya berdebar kencang, tak berani menatap kembali.
Dengan kasar pria itu mengangkat wajah Rindi lalu mencium bibir Rindi dengan kasar. Kedua tangannya mulai menjalar kemana-mana, menyusuri sekujur tubuh Rindi tanpa satu pun yang terlewatkan.
Rindi hanya bisa pasrah, ia harus menerima konsekuensi dengan keputusannya. Air matanya menetes. Satu persatu kancing bajunya terlepas hingga hanya menyusahkan bra.
Sejenak pria menghentikan aksinya, menatap tubuh Rindi dari ujung kaki sampai ujung kepala, sesekali ia menelan Saliva yang hampir kering di tenggorokan.
Di pandang seperti itu Rindi menutup tubuhnya dengan kedua tangannya. Malu dan jijik bercampur jadi satu.
"Kupu-kupa malam sepertimu punya malu juga rupanya."
Kembali kata-kata pria itu merajam jantung Rindi. Rindi menutup mata, air mata sudah tak terbendung lagi. Berharap waktu cepat berlalu, mengambil uang perjanjian lalu pergi dari tempat itu.
Dengan kasar pria itu mendorong tubuh Rindi ke pembaringan hingga terlentang. Tanpa pikir panjang, pria itu menindih tubuh Rindi, tangannya sudah tak terarah, setiap ciuman menyisakan bekas merah di kukit putih Rindi.
"Tuan tunggu. Sebaiknya anda pakai pengaman, takutnya terjadi hal yang tidak di inginkan kedepannya." cegah Rindi dengan menahan tubuh pria itu yang sudah siap dengan aksi selanjutnya.
"Aku juga tidak mau anak lahir dari rahim perempuan kotor sepertimu." Balas pria itu lalu melanjutkan aksinya yang sempat tertunda.
Deru napasnya tersengal-sengal, keringat mulai membasahi sekujur tubuhnya.
Tak lama kemudian pria itu mengaung bak serigala memecah keheningan malam. Tubuhnya terhempas di samping Rindi, napasnya putus-putus menatap langit-langit ruangan.
Rindi mengumpulkan segenap tenaga lalu berdiri, mengambil pakaiannya, dan berjalan cepat menuju kamar mandi.
Di dalam kamar mandi, ia menangis dengan suara tertahan, meratapi nasibnya yang begitu mengenaskan. Setelah menumpahkan semua isi hatinya, Rindi keluar.
Ia berjalan mendekati pria yang sedang duduk di kursi sambil meneguk segelas air.
“Ambil ini, dan jangan lagi muncul di hadapanku." ucap pria itu.
Sebuah amplop tebal dilemparkan hingga mengenai tubuh Rindi. Dengan cepat, ia membungkuk dan mengambilnya. Tanpa menunggu lama, Rindi segera pergi meninggalkan pria itu.
Lama pria itu terdiam hingga ponselnya berdering.
"Dasar anak sialan! Aku sudah capek-capek mengumpulkan semua wanita cantik di kota ini, tapi kenapa kamu malah menghilang? Ingat, Luis, garis keturunan Alexander bergantung padamu. Usia kamu sudah tidak muda lagi, dan hanya karena menunggu perempuan itu, kamu menghabiskan masa muda mu untuk sesuatu yang tidak pasti.”
Terdengar bentakan keras pria paruh baya dari dalam ponsel, membuat pria misterius itu menjauhkan ponsel dari telinganya.
“Satu lagi, semua harta keluarga ini akan aku sumbangkan pada yayasan kalau sampai kamu tidak memiliki keturunan. Itu artinya kamu tidak akan mendapat sepeser pun warisan dariku. Dan bersiaplah untuk hidup melarat.”
Tanpa menunggu jawaban, pria paruh baya itu memutuskan sambungan telepon.