Virginia Fernandes mencintai Armando Mendoza dengan begitu tulus. Akan tetapi kesalah pahaman yang diciptakan Veronica, adik tirinya membuatnya justru dibenci oleh Armando.
Lima tahun pernikahan, Virginia selalu berusaha menjadi istri yang baik. Namum, semua tak terlihat oleh Armando. Armando selalu bersikap dingin dan memperlakukannya dengan buruk.
Satu insiden terjadi di hari ulang tahun pernikahan mereka yang kelima. Bukannya membawa Virginia ke rumah sakit, Armando justru membawa Vero yang pura-pura sakit.
Terlambat ditangani, Virginia kehilangan bayi yang tengah dikandungnya. Namun, Armando tetap tak peduli.
Cukup sudah. Kesabaran Virginia sudah berada di ambang batasnya. Ia memilih pergi, tak lagi ingin mengejar cinta Armando.
Armando baru merasa kehilangan setelah Virginia tak lagi berada di sisinya. Pria itu melakukan berbagai upaya agar Virginia kembali.
Apakah itu mungkin?
Apakah Virginia akan kembali?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Mama Mia, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
02. Virginia keguguran
“Virginia,,,!”
“Virginia …!”
Nyonya besar mendoza dan Cecilia Mendoza berseru bersamaan. Kedua wanita beda usia itu bergegas mendekati Virginia dan bermaksud menolongnya.
“Virginia, kamu tidak apa-apa kan?” tanya nyonya besar Wijaya.
Virginia memejamkan mata sambil memegangi perutnya.
“Siapkan mobil! Cepat siapkan mobil!” seru Cecilia panik. Walaupun hanya saudara ipar, tapi Cecilia sangat menyayangi Virginia. Bahkan hubungan keduanya melebihi saudara kandung.
Nyonya besar mendoza berdiri dengan murka. “Jika terjadi sesuatu pada menantu dan cucuku maka aku tidak akan pernah memaafkanmu!” nyonya besar Mendoza menunjuk wajah Veronica dengan ujung jari telunjuknya. “Aku pasti akan menghancurkan seluruh keluarga Fernandes!” seru nyonya besar Mendoza lagi.
Armando yang ikut merasa panik berjalan mendekat tetapi Veronica menarik tangannya membuat langkah Armando terhenti.
“Kak Armando, aku tidak sengaja,” ucap Veronica sambil menggenggam tangan Armando. Matanya berkaca-kaca penuh rasa bersalah. Sesuatu yang selalu membuat Armando luluh.
"Sayang, ini sakit sekali,” ucap Virginia, Wajahnya memelas, bibirnya meringis dan gemetar menahan rasa yang menyiksa. Berharap perhatian dari suaminya.
“Virgi!” Armando yang tiba-tiba timbul rasa kasihan baru saja ingin bergerak mendekat.
Akan tetapi lagi-lagi Veronica menghentikan langkahnya. Dengan nekat wanita itu menggores pisau di pergelangan tangannya. Darah segar tampak mengucur. Perlahan tubuh Veronica limbung dan pasti akan terjatuh ke lantai jika Armando tak segera menangkapnya.
“Vero! Apa yang kau lakukan?” Armando berseru panik.
Virginia yang melihat itu semakin terluka. Armando sama sekali tak peduli padanya yang benar-benar kesakitan. Namun, pada Veronica yang hanya tergores sedikit saja begitu khawatir.
"Kak Armando, aku lebih sakit lagi.” Veronica menangis dengan menyandarkan wajahnya di dada Armando.” Aku tidak ingin kehilanganmu. Jika kamu lebih memilih kakak, lebih baik aku mati.”
Armando bingung tidak tahu harus bagaimana. Di satu sisi ia kasihan pada Virginia, tetapi Veronica memeluknya semakin erat dengan tubuh gemetar. Darah masih menetes dari pergelangan tangannya, membuat pria itu tak tega.
Ditatapnya Virginia dengan sorot datar. “Cecilia, Mama. Aku serahkan Virginia pada kalian. Aku harus membawa Veronica ke rumah sakit,” ucap Armando pada ibu dan adiknya. Setelah itu Armando menggendong Veronica dan membawanya pergi.
“Armando!” Nyonya besar Mendoza berteriak marah, tapi Armando tetap melangkah.
“Sayang…?” panggil Virginia dengan tangan terulur. Ingin mencegah kepergian suaminya tapi tak mampu. Wanita itu putus asa, tak lagi memiliki harapan, yang bisa ia lakukan hanya memejamkan mata seraya meringis menahan rasa sakit di perutnya. Terlihat Veronica yang menatap mencemooh. Seakan mengatakan, “Aku yang menang!”
“Armando…! Istrimu adalah Virginia. Berapa kali lagi kau akan dibohongi oleh wanita ular itu?” teriak Cecilia, tetapi Armando seakan tak peduli. Pria itu memilih melanjutkan langkahnya dengan membawa Veronica dalam gendongan.
"Virginia, bertahanlah! Sebentar lagi pertolongan datang,” seru Cecilia.
Nyonya besar Mendoza membawa kepala Virginia ke atas pangkuannya. “Sayang bertahanlah…!” Air mata jatuh membasahi wajah Virginia.
“Armando, akhirnya kamu yang menang. Aku sudah kalah,” ucap Virginia dengan mata terpejam.
“Tidak, Virginia. Kumohon berjuanglah sekali lagi.” Cecilia terus mengguncang wajah Virginia agar mata wanita itu tidak terpejam.
Beberapa saat kemudian ambulan datang. Beberapa pria berseragam ahli medis bergerak cepat mengangkat tubuh Virginia ke atas tandu lalu membawa masuk ke dalam ambulance.
Nyonya besar Mendoza ikut masuk ke dalam ambulance untuk menemani, sementara Cecilia mengikuti dari belakang dengan mobilnya sendiri.
*
*
*
Sesampai di rumah sakit yang memang adalah milik keluarga Mendoza, petugas medis sudah menunggu di depan ruang gawat darurat. Mereka bergerak cepat memberikan pertolongan pada menantu keluarga Mendoza itu.
Nyonya besar Mendoza dan Cecilia menunggu di luar ruangan dengan cemas. Berulang kali Cecilia mencoba menghubungi Armando, tetapi kakaknya itu tak juga mengangkat panggilan.
“Armando benar-benar keterlaluan. Lihat saja, suatu saat dia pasti akan sangat menyesal telah memperlakukan Virginia seperti ini.” sambil berjalan mondar-mandir, Cecilia terus memaki saudaranya.
*
*
*
Pintu ruang tindakan terbuka, nyonya Mendoza segera berdiri dari duduknya. “Bagaimana keadaan menantuku?” kekarnya pada pria paruh baya berseragam putih.
“Kami sudah berusaha, tetapi bayinya tidak bisa diselamatkan,” jawab dokter yang baru saja menangani Virginia. “Dan ada kemungkinan, Nyonya Virginia akan sulit memiliki anak lagi setelah ini.”
“Ya Tuhan, menantuku…?” Nyonya besar Mendoza dan Cecilia menutup mulut mereka mendengar berita itu. Berkali-kali menggelengkan kepala berharap berita itu salah.
“Apa kami sudah bisa menemuinya?” tanya Cecilia.
“Pasien masih tertidur akibat pengaruh obat. Perawat akan segera membawa nyonya Virginia ke ruang rawat inap. Setelah itu Anda berdua boleh menemuinya. Beliau harus bedrest selama beberapa hari.”
“Baiklah, Dokter,” ucap Cecilia sambil menghapus air mata yang membanjiri wajahnya.
“Kalau begitu saya permisi dulu.” Dokter menundukkan wajah lalu berlalu meninggalkan ruangan itu.
*
*
*
Virginia baru saja siuman. Matanya memindai sekeliling, berharap menemukan sesosok wajah. Namun, sayang itu hanyalah harapan kosong. Yang ada di ruang rawatnya hanya ada Cecilia dan nyonya besar Mendoza, ibu mertuanya dan Cecilia, adik iparnya.
Virginia menyandarkan punggungnya pada headboard ranjang rumah sakit. Sama sekali tak ada setitik pun rona di wajahnya.
Nyonya besar Mendoza duduk di tepi ranjang dan menatap wajah Virginia dengan sedih. Sejak kemarin air mata tak berhenti berlinang membasahi pipinya yang mulai dihiasi keriput. Bahkan kelopak matanya berhias lingkaran hitam. Raut lelah terlihat jelas, tapi senyum tetap menghiasi bibirnya.
"Sayang, dengarkan kata-kata Mama. Dengan ataupun tanpa anak, kamu tetap menantu pilihan Mama. Satu-satunya menantu yang mama restui,” ucap nyonya besar Mendoza sambil menggenggam tangan menantunya.
Virginia tersenyum menanggapinya. Sejujurnya saja ia tak tahu harus berkata. Anak dalam kandungan, yang ia harap bisa menjadi perekat hubungan antara ia dan sang suami telah tiada.
“Kamu masih muda dan cantik. Jangan khawatir, Mama akan membawamu berobat ke luar negeri. Suatu saat nanti kamu pasti bisa punya anak lagi,” lanjut nyonya besar Mendoza. Wanita berusia enam puluh lima tahun itu terus berusaha untuk menghibur menantunya.
Virginia mengangkat wajahnya menatap ke arah mertuanya sambil tersenyum. “Mama, jangan khawatir. Aku tidak apa-apa, aku baik-baik saja.”
Air mata nyonya besar Mendoza semakin mengalir mendengar ucapan menantunya. “Kamu wanita dan istri yang baik, Nak. Maafkan putra mama yang buta itu. Mama tak habis pikir, kenapa wanita jahat itu bisa membuatnya buta. Dan siluman ular itu, dia itu saudaramu, tapi kenapa tega sekali menyakiti dirimu seperti ini?”
Virginia membalas genggaman tangan mertuanya. Wanita yang memperlakukannya seperti putri kandung. Walaupun setelah ini ia akan membenci Armando, tapi ia akan tetap menyayangi wanita tua ini.
“Aku tidak apa-apa. Aku baik-baik saja.”
kl ga mh dia mti jg bkln sia2,mna yg jhat msh hdp enk pula.....bls mreka dong buat bkti cnta sm istrimu,biar sma2 mraskn gmna skitnya...