KU HARAMKAN AIR SUSUKU

KU HARAMKAN AIR SUSUKU

01. KESEDIHAN RINDI.

Satu per satu pelayat mulai berdatangan, memenuhi rumah kecil yang sederhana. Udara sore terasa berat, seolah ikut berduka. Di depan pintu, seorang perempuan duduk terpaku dengan mata sembab, menatap jalanan.

Ia menunggu.

Menunggu dua anaknya—Rudy dan Melda.

Ia yakin, hari ini keduanya akan pulang. Akan datang untuk melihat ayah mereka, untuk terakhir kalinya.

“Rindi, ayo masuk. Semua sudah siap. Kasihan almarhum kalau dibiarkan terlalu lama,” ucap seorang perempuan paruh baya sambil mengelus lembut punggungnya.

Rindi mengangguk pelan. Perempuan berusia hampir empat puluh tahun, namun masih menyimpan sisa kecantikan di balik kulitnya yang mulai legam oleh kerja keras dan mata yang lelah menahan tangis.

Air mata terus mengalir di pipinya. Harapannya perlahan pupus. Telepon tak diangkat. Pesan tak dibalas.

Rudy dan Melda tak juga datang.

Dengan langkah gontai, Rindi dibantu Bu Tuti mendekati jasad Tony—suaminya, pria yang selama ini menjadi sandaran hidupnya. Tubuh Tony terbujur kaku, terbalut kain kafan putih, wajahnya tenang seolah sedang tidur.

Rindi terjatuh di samping tubuh itu, memeluknya erat-erat.

“Mas… kenapa secepat ini kamu pergi? Kenapa tidak sekalian Tuhan memanggil aku juga? Aku tidak bisa hidup tanpamu, Mas. Bangun… ayo kita ke kota cari anak-anak kita. Seperti yang kamu inginkan selama ini.”

Tangisnya pecah. Ia mengguncang tubuh suaminya yang sudah dingin, seolah masih berharap ada sedikit keajaiban.

Orang-orang di sekeliling hanya bisa terdiam. Beberapa menunduk, tak kuasa menahan air mata. Mereka tahu, betapa besar pengorbanan Rindi dan Tony selama ini.

Seluruh harta telah habis demi pendidikan anak-anak mereka—Rudy dan Melda—yang sejak berangkat ke kota, tak pernah kembali.

Mereka hanya memberi kabar ketika membutuhkan uang. Setelah itu, tak pernah ada lagi berita dari mereka.

"Yang sabar, Rindi… Kita semua menyayangi almarhum, tapi Tuhan lebih menyayanginya. Biarkan almarhum tenang di sana, jangan membuatnya ikut bersedih dengan melihat kondisimu seperti ini," ucap Bu Tuti lembut sambil menggenggam tangan Rindi yang gemetar menahan tangis.

Rindi terisak. Ia memeluk Bu Tuti erat—perempuan paruh baya yang selalu ada di saat dirinya terpuruk, yang tahu betul bagaimana perjuangan mereka bertahan hidup tanpa harta, hanya dengan cinta dan harapan untuk masa depan anak-anaknya.

Bu Tuti memberi aba-aba kepada beberapa pria untuk mengangkat tubuh almarhum Tony. Dengan hati-hati, mereka mengusung keranda itu keluar dari rumah kecil yang kini terasa begitu kosong dan dingin.

Rombongan pelayat berjalan perlahan, menyusuri jalan setapak menuju pemakaman di pinggir kampung. Langit mendung, angin berhembus lirih, seakan ikut berduka.

Rindi berjalan di belakang, langkahnya gontai, matanya tak lepas memandangi keranda yang semakin jauh. Bu Tuti menggandengnya, khawatir ia jatuh karena tubuhnya begitu lemah.

Sesampainya di pemakaman, suara lantunan doa terdengar sayup. Ketika tanah mulai menutupi jasad suaminya, tangis Rindi pecah tak tertahankan. Ia berlutut di tepi makam, menggenggam tanah basah dengan tangan gemetar.

“Mas… aku janji, aku akan temukan Rudy dan Melda. Aku ingin mereka tahu… betapa keras perjuanganmu untuk mereka,” ucapnya parau di sela isak.

Semua orang yang hadir hanya bisa terdiam. Tak ada kata yang bisa menghapus luka seorang istri yang kehilangan segalanya.

Setelah semua pelayat pulang kecuali Bu Tuti, Rindi duduk di depan makam. Hujan turun perlahan, membasahi tubuhnya yang tak lagi peduli pada dingin.

“Mas… andai mereka tahu, betapa kamu mencintai mereka…” bisiknya lirih.

Lama Rindi terdiam menatapi gundukan tanah yang basah terkena air hujan. Hingga Bu Tuti mengusap punggungnya dan mengajaknya untuk kembali.

Malamnya, di rumah yang kini terasa sunyi, Rindi menatap foto keluarga mereka yang terpajang di dinding.

Rudy dan Melda tersenyum di foto itu—senyum yang dulu membuat semua lelah terbayar. Tapi kini, senyum itu justru menjadi luka yang tak bisa sembuh.

Rindi duduk termenung, mengingat kembali perjuangan mereka melewati hari-hari mereka yang penuh pengorbanan.

Menghabiskan semua tanah warisan orang tua, pinjam kesana- kemari hanya untuk membuat kedua anaknya bisa hidup layak seperti penduduk kampung yang sudah terlebih dulu meraih keberhasilan melihat anak-anak mereka sukses di kota.

Dari arah pintu Bu Tuti datang sambil membawa rantang, kedua matanya berkaca-kaca melihat kondisi Rindu. Perempuan yang dulu terlihat lincah dan pekerja keras kini mengalami keterpurukan.

Sanak saudara tak ada, suami telah tiada, dan kini kedua anaknya entah di mana rimbanya. Rindi benar-benar sendiri.

“Rindi, makanlah dulu. Sejak kemarin kamu belum menyentuh makanan sedikit pun. Jangan sampai kamu jatuh sakit. Tidak baik berlarut-larut dalam kesedihan,” ucap Bu Tuti lembut sambil duduk di sampingnya.

“Aku tidak lapar, Bu…” balas Rindi lirih, matanya masih menatap kosong ke arah foto suaminya di dinding.

Bu Tuti menghela napas pelan.

“Tidak baik menyiksa diri sendiri, Nak. Ibu sudah buatkan makanan kesukaanmu—sayur lodeh, pete goreng, dan sambal terasi. Cobalah walau hanya sedikit.”

Bu Tuti membuka rantang, lalu berdiri sebentar. Tak lama kemudian, ia kembali membawa sepiring nasi hangat, sendok, dan segelas air putih. Dengan penuh kasih, ia mulai menyuapi Rindi.

Awalnya Rindi menolak, tapi melihat tatapan tulus Bu Tuti, ia perlahan membuka mulut. Setiap suapan terasa pahit, tapi juga mengingatkannya pada perhatian seorang ibu yang tak pernah berhenti berharap.

Aroma masakan sederhana itu perlahan membangkitkan sedikit semangat di hatinya yang hampir padam. Bu Tuti tersenyum, lega melihat Rindi akhirnya mau makan, walau hanya sedikit.

Setelah Bu Tuti pulang, rumah kembali sunyi. Rindi berjalan perlahan menuju pembaringan. Ia merebahkan tubuhnya dan menatap ke sisi tempat tidur yang kosong—tempat di mana Tony biasa tidur di kala sakit.

Dengan tangan gemetar, ia mengusap guling kesayangan suaminya, lalu memeluknya erat.

“Mas… kenapa secepat ini kamu meninggalkanku? bisiknya dengan suara bergetar.

Air matanya menetes satu per satu, membasahi guling itu. Hingga akhirnya, kelelahan dan kesedihan membuatnya tertidur lelap.

Namun di tengah tidurnya, Rindi bermimpi.

Ia melihat Tony berdiri di tepi sawah, tersenyum hangat seperti dulu.

“Sayang, jangan bersedih lagi. Aku sudah tenang di sini. Lanjutkan hidupmu walau tanpa Mas. Mas yakin, suatu saat kamu akan menemukan penggantiku, bahkan lebih baik dariku,” suara itu terdengar lembut namun tegas, penuh kasih seperti belaian terakhir.

Rindi tersentak, matanya perlahan terbuka. Napasnya tersengal, dadanya terasa sesak. Air mata masih mengalir di pipinya, tapi kali ini tak sepedih sebelumnya. Ada ketenangan kecil yang mulai tumbuh di hatinya.

Ia tahu… mimpi itu bukan sekadar bunga tidur. Itu adalah pesan dari seseorang yang pernah menjadi separuh jiwanya — suaminya, Tony.

Belum sepenuhnya sadar, tiba-tiba terdengar suara keras dari luar rumah. Suara itu memecah keheningan pagi yang baru saja dimulai.

“Rindi! Keluar kamu!” teriak seseorang dengan nada tinggi.

Rindi terdiam. Jantungnya berdegup kencang. Ia mengenali suara itu — suara Pak Warto, ketua RT yang biasanya ramah, tapi kali ini terdengar penuh tekanan.

Dengan langkah gemetar, Rindi mendekati jendela dan mengintip ke luar.

Beberapa orang kampung sudah berkumpul di depan rumahnya. Wajah mereka tampak tegang, sebagian berbisik-bisik.

“Ya Tuhan… ada apa lagi ini?” bisik Rindi lirih, dadanya semakin sesak.

Download

Suka karya ini? Unduh App, riwayat baca tak akan hilang
Download

Bonus

Pengguna baru dapat mengunduh App untuk membuka 10 bab secara gratis

Ambil
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!