Candu Istri Yang Ku Sia-siakan

"Gak usah, Mas lain kali saja, Ya,” tolaknya tegas.

“Wah Sayang sekali, padahal ini kesempatan loh, Aku mau kenalin kamu dengan seseorang.”

Senja membelalakkan matanya. “Siapa, Mas?” tanyanya penasaran.

“Ada deh! Nanti kamu bisa tahu kalau main ke rumah ku,” kata Zein sambil tersenyum. Senyum itu seperti teka teki yang membuat Senja semakin penasaran, tapi dia memilih untuk tak menerima ajakan Zein.

“Lain kali aja ya, Mas!”

“Oke! Gak masalah. Cepat atau lambat, aku akan bawa kamu ke rumahku kok.”

Senja tersenyum canggung lagi. Apa lagi saat Zein memandangnya dengan mata yang berbinar. Jujur tatapan Zein sempat menggetarkan hatinya, pria berkulit kuning langsat itu punya tatapan teduh yang sepertinya menghipnotis siapapun, karena itulah dia memilih untuk menundukkan pandangannya.

“Ayah mau beli boneka,” rengek Syifa lagi dengan cadelnya.

Huft Senja merasa terselamatkan. Dia mengangkat wajahnya lalu tersenyum lembut pada gadis mungil itu. “Syifa mau beli boneka, ya?”

Gadis kecil itu mengangguk meskipun wajahnya tampak cemberut.

“Oh ya, aku permisi dulu, ya!” kata Zein.

“Iya, Mas!” Balas Senja. “Dadah Syifa!” Senja melambaikan tangannya, ke arah gadis kecil itu.

Dari balik punggung Zein, gadis itu mulai tersenyum sambil melambaikan tangannya. Wajahnya tampak lebih ceria, mungkin karena keinginan sudah dituruti oleh Zein

Senja membeku sejenak sambil memandangi punggung Zein yang semakin jauh. “Mas Zein sudah punya anak, berarti dia sudah punya istri dong, tapi kenapa dia baik banget sama aku, apa dia pikir aku ini bisa dijadikan wanita simpanan gitu,” gumamnya dengan ekspresi kesal.

Dia pun memalingkan wajahnya mendorong troli. Namun langkahnya terhenti, ia kembali menoleh ke arah Zein yang telah hilang dari pandangan. “Kalau dia punya istri, kenapa gak berbelanja dengan istrinya,” pikirnya lagi.

Tak bisa dipungkiri, pikirannya menerka nerka tentang status Zein saat ini. “Apa dia sudah pisah dengan istrinya? Atau cerai mati, atau dia tipe laki-laki yang tak cukup satu istri dan… “

Senja mulai berspekulasi liat. Namun beberapa saat setelah itu dia sadar. “Kenapa aku harus mikirin dia, bodoh amatlah statusnya apa, mulai sekarang aku jaga jarak saja sama dia, ntar dikira aku pelakor lagi,” gumamnya sambil berjalan mendorong troli ke kasir.

Ketika Senja melangkah menuju kasir, suara gemericik pelan di atap mulai terdengar.

Awalnya terdengar lembut. Namun dalam sekejap segera berubah menjadi dentuman deras. Dalam hitungan detik tirai air turun tumpah di halaman parkir.

“Aduh....hujan,” keluh Senja, ketika memandangi butiran air yang menempel di kaca depan toko. Ia menggigit bibir, menimbang langkah.

“Ya sudah, numpang sama aku aja!” suara seorang pria menyela dari belakang.

Senja menoleh dan di sana ada Zein dan Syifa.

“Eh...Sudah selesai belanjanya, Mas?” tanyanya, mencoba menutupi keterkejutannya.

“Sudah. Ke sini cuma mau beliin Syifa boneka,” jawab Zein, menunduk ke arah putri kecil yang berdiri di sampingnya. Gadis mungil itu memeluk boneka berbentuk ikan paus itu.

“Kok cuma beli satu, Dek?” tanya Senja iseng.

Zein terkekeh. “Iya, cuma satu. Tapi kalau kamu lihat kamarnya, hampir penuh boneka. Setiap hari minta yang baru.”

Senja tersenyum tipis. "Mungkin mau dikoleksi, Mas ?”

Zein menggeleng pelan, matanya melunak menatap anaknya yang kini memainkan pita boneka. “Bukan koleksi. Lebih ke… penawar rindu, mungkin. Setiap aku pulang kerja, dia minta hadiah baru. Sebagai kompensasi karena di tinggal kerja, mungkin biar gak bosan dan kesepian ketika di tinggal. “

Senja terdiam, menatap Syifa yang sedang menimang bonekanya sambil bersenandung lirih.

“Kesepian, ya…” gumamnya nyaris tak terdengar. “Emangnya, mamanya kerja juga, Mas?”

Zein menatap jauh ke luar jendela, hujan yang menetes di kaca seperti menghapus bayangan dari matanya. Ia menggeleng pelan. “Enggak. Mamanya udah nggak ada… sejak Syifa lahir.”

Kata-kata itu jatuh lebih berat dari suara hujan di luar.

Senja tak segera menjawab. Dadanya terasa menghangat dan perih bersamaan. Membayangkan si kecil Syifa kehilangan kasih sayang sang ibunda.

Saat yang bersamaan antrian kasir bergerak, Senja mendorong lalu membayar belanjaannya dengan uang cash. Sementara Zein di kasir sebelahnya.

Setelah itu buru buru keluar, berharap Zein sudah pergi. Namun pria itu terlihat berdiri di depan pintu, seperti menunggu seseorang.