Kael Ardhana, animator berusia 36 tahun yang hidupnya hancur karena kegagalan industri, tiba-tiba terbangun di tubuhnya saat berusia 18 tahun… di tahun 1991. Dengan seluruh pengetahuan masa depan di tangannya, Kael bertekad membangun industri animasi lokal dari nol, dimulai dari sebuah garasi sempit, selembar kertas sketsa, dan mimpi gila.
Tapi jalan menuju puncak bukan sekadar soal kreativitas. Ia harus menghadapi dunia yang belum siap, persaingan asing, politik industri, dan masa lalunya sendiri.
Bisakah seorang pria dari masa depan benar-benar mengubah sejarah… atau justru tenggelam untuk kedua kalinya?
Yuk ikutin perjalanan Kael bersama-sama.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Chal30, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Chapter 8
Kantor SCTV terletak di gedung yang jauh lebih modern dari TVRI, dinding kaca, AC yang dingin, dan resepsionis yang cantik dengan seragam rapi. Kael, Dimas, dan Rani duduk di ruang tunggu dengan kursi empuk yang membuat mereka tidak terbiasa, terlalu nyaman untuk orang-orang yang biasa duduk di lantai garasi.
"Gue nervous," bisik Rani sambil meremas tas selempangnya, matanya memindai ruangan yang terasa mengintimidasi dengan semua kesempurnaan modernnya.
"Santai aja. Kita cuma mau liat kontrak. Gak ada yang perlu ditakutin," jawab Kael sambil tersenyum menenangkan, meskipun tangannya sendiri berkeringat dingin.
Pak Hendra muncul dengan senyum lebar, mengajak mereka ke ruang meeting yang luas dengan meja panjang dan proyektor besar. "Silakan duduk. Saya sudah siapkan draft kontrak untuk kalian."
Kael menerima tumpukan kertas kontrak yang tebalnya hampir sepuluh halaman, penuh dengan istilah hukum yang membuat kepalanya pusing. Tapi ia memaksa dirinya untuk membaca dengan teliti, perlahan, memastikan ia tidak melewatkan satu klausul pun yang berbahaya.
"Ini... klausul tentang hak cipta. Tertulis bahwa semua karakter dan cerita yang kami buat untuk SCTV menjadi milik SCTV sepenuhnya. Kami tidak punya hak apa-apa?" Kael menunjuk salah satu paragraf dengan nada yang mulai serius.
Pak Hendra mengangguk santai. "Itu standar industri. Stasiun TV harus punya hak cipta penuh untuk konten yang mereka tayangkan. Untuk proteksi investasi."
"Tapi itu berarti kalau suatu saat kami mau buat merchandise atau spin-off dari karakter kami sendiri, kami gak bisa?" tanya Dimas dengan nada yang mulai cemas.
"Kalian bisa, tapi harus dapat izin dari kami dulu. Dan tentu ada pembagian pendapatan." Pak Hendra menjawab dengan nada yang terlalu smooth, terlalu terlatih.
Kael menatap klausul itu lama. Ini adalah jebakan klasik, kontrak yang terlihat menguntungkan di awal, tapi mengunci kreator dalam cengkeraman perusahaan untuk jangka panjang. Di kehidupan sebelumnya, ia pernah terjebak dalam kontrak serupa dan butuh bertahun-tahun untuk lepas.
"Pak Hendra, dengan segala hormat, kami tidak bisa terima klausul ini," ucap Kael dengan nada sopan tapi tegas, suaranya stabil meskipun jantungnya berdegup keras.
Pak Hendra mengangkat alis, sedikit terkejut. "Kenapa? Ini standar industri, Mas Kael."
"Mungkin standar untuk perusahaan besar. Tapi untuk kreator kecil seperti kami, ini bisa jadi jebakan. Kami mau revisi hak cipta tetap di tangan kami, tapi SCTV punya lisensi eksklusif untuk tayangan. Kalau ada merchandise atau spin-off, kami diskusi pembagian pendapatan dengan fair. Fifty-fifty." Kael menjawab dengan percaya diri yang membuat Dimas dan Rani menatapnya dengan kagum.
Pak Hendra terdiam, ekspresinya berubah, tidak lagi ramah, tapi menilai. "Kalian tahu kalian sedang negosiasi dengan stasiun TV yang bisa buat kalian terkenal, kan? Banyak animator yang rela kasih hak cipta mereka untuk kesempatan ini."
"Kami tahu, Pak. Tapi kami juga tahu nilai karya kami. Kami tidak minta yang berlebihan, kami cuma mau kesepakatan yang adil. Kalau SCTV tidak bisa terima, kami akan cari partner lain yang lebih menghargai kreator." Kael menjawab tanpa ragu, meskipun di dalam hatinya ia berdoa semoga Pak Hendra tidak langsung berdiri dan mengusir mereka.
Hening sesaat. Pak Hendra menatap Kael dengan tatapan yang sulit dibaca, campuran antara respek dan iritasi.
Lalu ia tersenyum tipis. "Kalian berani. Saya suka itu. Okay, saya akan diskusi dengan atasan saya. Tapi saya tidak janji bisa fifty-fifty. Mungkin sixty-forty untuk SCTV."
"Sixty-forty bisa kami terima, asalkan hak cipta tetap di tangan kami," jawab Kael sambil mengulurkan tangan.
Pak Hendra menatap tangan itu sejenak, lalu menggengamnya dengan erat. "Deal. Saya akan revisi kontrak. Kalian tunggu kabar dalam seminggu."
Mereka keluar dari gedung SCTV dengan perasaan lega yang luar biasa. Begitu sampai di luar, Dimas memeluk Kael dengan keras sampai hampir mengangkatnya dari tanah.
"KAEL, LU KEREN BANGET! Gue gak nyangka lu bisa negosiasi kayak gitu!" teriaknya dengan nada kagum yang membuat beberapa orang di sekitar menoleh.
"Gue cuma gak mau kita terjebak dalam kontrak yang merugikan. Kita harus belajar melindungi karya kita sendiri." Kael menjawab sambil tersenyum, meskipun tangannya masih gemetar karena adrenalin.
Rani menatap Kael dengan tatapan yang berbeda, tatapan yang penuh hormat dan sedikit... ada sesuatu yang lain. "Lu beneran luar biasa, Kael. Kayak udah pengalaman puluhan tahun."
Kael hanya tersenyum tanpa menjawab, tidak mau membuka rahasia yang terlalu besar untuk dijelaskan.
Seminggu kemudian, kontrak revisi datang. Kael membacanya dengan teliti, kali ini dengan bantuan Pak Budi, ayah Budi yang kebetulan bekerja sebagai pegawai kantor hukum dan bersedia membantu gratis.
"Ini sudah jauh lebih baik. Hak cipta tetap di kalian, SCTV dapat lisensi eksklusif untuk tayangan, pembagian pendapatan sixty-forty untuk merchandise dan spin-off. Ada klausul penghentian juga, kalau salah satu pihak tidak puas, kontrak bisa diputus dengan pemberitahuan tiga bulan sebelumnya. Cukup adil." Pak Budi menjelaskan sambil mengangguk puas.
"Jadi kami bisa tanda tangan, Pak?" tanya Kael dengan hati-hati.
"Bisa. Tapi ingat kalian harus mengantarkan konten yang berkualitas. Kalau SCTV tidak puas, mereka bisa putus kontrak. Jadi jangan sampai mengecewakan." Pak Budi mengingatkan dengan nada serius tapi penuh dukungan.
Kael mengangguk. "Kami akan berusaha maksimal."
Kontrak ditandatangani. Studio Garasi resmi menjadi producer konten untuk dua stasiun TV sekaligus, TVRI dan SCTV. Honor yang masuk hampir empat kali lipat dari sebelumnya. Mereka akhirnya punya dana untuk pindah dari garasi ke tempat yang lebih layak, membeli peralatan yang lebih baik, dan bahkan merekrut dua animator tambahan untuk membantu produksi.
Tapi dengan peluang besar, datang juga tekanan yang lebih besar.
"Kita sekarang harus produksi empat episode per bulan. Dua buat TVRI, dua buat SCTV. Itu delapan kali lipat dari kapasitas awal kita," ucap Dimas sambil menatap kalender produksi yang Kael buat, penuh dengan deadline yang saling bertumpuk.
"Makanya kita harus scale up. Kita pindah ke tempat yang lebih besar, rekrut orang, dan buat sistem produksi yang lebih efisien." Kael menjawab sambil menggulung lengan bajunya, siap untuk fase berikutnya.
"Lu udah punya tempat yang dimaksud?" tanya Rani dengan penasaran.
"Udah. Gue nemu ruko kecil di daerah Rawamangun, sewa murah, cukup luas buat sepuluh orang, dan deket sama supplier kertas gambar. Gue udah survei kemarin." Kael menjawab sambil mengeluarkan foto polaroid dari sakunya, foto ruko tua dengan cat yang mengelupas tapi struktur yang masih kokoh.
"Kapan kita pindah?" tanya Budi dengan nada antusias.
"Minggu depan. Kita renovasi ringan, cat ulang, tambal bocor, pasang lampu yang cukup. Terus kita mulai rekrut." Kael menjawab dengan senyum lebar, senyum yang penuh harapan untuk fase baru.
Dan dengan keputusan itu, Studio Garasi bersiap untuk meninggalkan garasi kecil yang sudah menjadi rumah mereka, melangkah ke dunia yang lebih besar, lebih menantang, dan penuh dengan kemungkinan yang tak terbatas.
Tapi Kael tahu, semakin tinggi mereka terbang, semakin keras pula mereka bisa jatuh. Dan ia berdoa semoga kali ini, ia bisa menjaga tim ini tetap bersama, tetap solid, dan tetap setia pada visi mereka yang paling awal, membuat animasi Indonesia yang punya jiwa.