follow IG Othor @ersa_eysresa
Di usia 30, Aruni dicap "perawan tua" di desanya, karena belum menemukan tambatan hati yang tepat. Terjebak dalam tekanan keluarga, ia akhirnya menerima perjodohan dengan Ahmad, seorang petani berusia 35 tahun.
Namun, harapan pernikahan itu kandas di tengah jalan karena penolakan calon ibu mertua Aruni setelah mengetahui usia Aruni. Dia khawatir akan momongan.
Patah hati, Aruni membuatnya menenangkan diri ke rumah tantenya di Jakarta. Di kereta, takdir mempertemukannya dengan seorang pria asing yang sama sekali tidak dia kenal.
Apakah yang terjadi selanjunya?
Baca kisah ini sampai selesai ya untuk tau perjalanan kisah Aruni menemukan jodohnya.
Checkidot.....
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Eys Resa, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 12
"Aruni," panggil Rico pelan, suaranya terdengar lebih serius.
Panggilan itu mengejutkan Aruni. Jantung Aruni berdebar kencang. Ia menatap Rico, merasakan gelombang emosi yang campur aduk. Ada harapan, tapi juga ketakutan. Sebelum Rico sempat melanjutkan kalimatnya, Tante Dina tiba-tiba memanggil dari dalam rumah.
"Aruni! Rico! Makan malam sudah siap!"
Rico menghela napas tipis, senyum tipis terukir di bibirnya. "Sepertinya kita harus menunda obrolan ini, Aruni."
Aruni merasa lega sekaligus kecewa. "Iya, Ric, "
Malam itu, Rico terlihat lebih pendiam dari biasanya. Ada sorot mata yang penuh arti setiap kali ia melirik Aruni, membuat Aruni merasa tidak nyaman sekaligus penasaran. Ia tahu, Rico ingin mengatakan sesuatu yang penting, dan ia harus mempersiapkan diri.
Dan setelah makan malam hari itu tidak ada pembicaraan lagi antara Aruni dan Rico. Karena ternyata banyak yang dibicarakan oleh Amar kepada Rico setelah makan malam.
Aruni sendiri tidak bisa meminta penjelasan tentang apa yang ingin dikatakan Rico kepadanya tentang ajakan makan malamnya ,karena masih belum ada kepastian dari Rico. Jadi dia tidak terlalu berharap .
Setelah hari itu masih belum ada kabar dari Rico , namun Beberapa hari kemudian sebelum akhir pekan , Rico menghubungi Aruni. Karena mereka sudah sempat bertukar nomor ponsel .
"Aruni, akhir pekan ini kamu ada acara?"
"Sepertinya tidak ada, Ric. Kenapa?" jawab Aruni.
"Aku ingin mengajak kamu nonton bioskop. Ada film baru yang katanya bagus," ajak Rico. "Bagaimana?"
Jantung Aruni berdesir. Nonton bioskop? Ini adalah ajakan kencan, jelas sekali. Aruni merasa ragu, namun ada bagian dalam dirinya yang ingin menerima ajakan itu. Ia teringat kata-kata Tante Dina dan Om Amar yang menyarankan ia untuk membuka diri.
"Hmmm, Boleh, Ric, Sudah lama aku tidak nonton bioskop ," kata Aruni akhirnya. "Film apa?"
Rico menyebutkan judul film dan jamnya. "Nanti aku jemput, ya."
Pada hari Sabtu sore, Aruni mengenakan celana panjang dan gaun tunik dengan jilbab senada. Ia mencoba tampil senatural mungkin. Namun di dalam hati, ia merasa gugup. Rico datang tepat waktu, mengenakan kemeja kasual dan celana jins. Ia terlihat lebih santai dari biasanya.
Perjalanan menuju bioskop di salah satu mal besar Jakarta diwarnai obrolan ringan. Rico mencoba mencairkan suasana dengan menceritakan hal-hal lucu. Aruni pun sesekali tertawa, merasa sedikit lebih rileks.
Ketegangan mulai terasa saat mereka masuk ke dalam studio bioskop yang gelap. Mereka duduk di kursi bagian tengah. Aroma popcorn dan dinginnya pendingin ruangan menyelimuti suasana. Sepanjang film diputar, Aruni berusaha fokus pada layar, namun pikirannya seringkali melayang. Ia sesekali merasakan lengan Rico bersentuhan dengannya, atau tatapan mata Rico yang sesekali meliriknya di kegelapan. Sensasi ini berbeda, belum pernah ia rasakan sebelumnya. Itu adalah sensasi yang menyenangkan sekaligus menakutkan, mengingat pengalaman pahitnya di masa lalu.
Setelah film selesai, mereka keluar dari bioskop. Wajah Aruni sedikit merona.
"Bagaimana filmnya, Aruni? Bagus, kan?" tanya Rico, mencoba memecah keheningan.
"Iya, Bagus sekali," jawab Aruni, sedikit kikuk.
"Setelah ini kita makan malam ya. Ada tempat makan enak di dekat sini," ajak Rico.
Aruni mengangguk setuju. Mereka berjalan menuju sebuah restoran yang tidak terlalu ramai. Suasana restoran itu nyaman, dengan pencahayaan temaram dan musik lembut yang mengiringi. Setelah memesan makanan, Rico menatap Aruni dengan senyum hangat.
"Aruni, Aku senang sekali bisa mengajakmu hari ini," kata Rico, memulai percakapan yang lebih serius.
"Aku juga. Terima kasih sudah mengajak ku, Baru kali ini setelah beberapa bulan di Jakarta , aku keluar dengan seorang teman . Biasanya aku hanya keluar dengan tante Dina saha, " jawab Aruni tulus.
"Ada banyak hal yang ingin aku katakan padamu, Aruni," Rico melanjutkan, "Sejak pertemuan kita di kereta, aku merasa ada sebuah koneksi yang kuat. Kamu wanita yang kuat, mandiri, dan berhati baik. Aku suka caramu menghadapi masalah, Aku suka caramu mengajar anak-anak."
Aruni mendengarkan dengan seksama, jantungnya berdebar semakin kencang. Ia tahu, ini adalah momen yang yang tidak pernah dia duga sama sekali sekaligus moment yang dia takuti.
"Aku tahu kamu baru saja melalui masa sulit," kata Rico, suaranya melembut. "Tapi, Aku ingin kamu tahu, Aruni... saya memiliki perasaan lebih dari sekadar teman untukmu." Ia menarik napas dalam-dalam. "Kamu tau alasanku sering pergi ke rumah Amran salama ini?"
Aruni menggeleng tapi bibirnya mencoba menjawab pertanyaan Rico, "Karena pekerjaan, bukankah kalian bekerja dalam satu perusahaan. "
Rico tersenyum tipis dan matanya menatap Aruni dengan sangat dalam. "Itu semua hanya alasan ku saja. Alasan sebenarnya, karena aku ingin dekatmu dan Aku ingin menjalin hubungan yang serius denganmu."
Pengakuan Rico bagai petir di siang bolong, namun juga seperti embun penyejuk. Aruni menatap Rico dalam, matanya berkaca-kaca. Perasaan itu, pernyataan itu... ia merasakan hal yang sama seperti beberapa bula lalu. Rico adalah pria yang baik, yang sabar, yang menerima dirinya apa adanya. Namun, luka lama itu masih terasa perih. Trauma akan penolakan ibu Ahmad, rasa sakit karena dihancurkan, masih membekas di hatinya.
"Rico..," Aruni mencoba berbicara, suaranya bergetar. "Aku... Aku saat ini juga merasa nyaman di dekat mu. Aku juga... merasa ada yang berbeda." Ia menarik napas dalam-dalam. "Tapi, Ric, aku baru saja melewati masa yang sangat sulit. Trauma itu... belum sepenuhnya hilang."
Rico mengangguk, sorot matanya menunjukkan pengertian. "Aku tahu, Aruni. Aku tidak akan memaksamu."
"Aku... Aku hanya butuh waktu," kata Aruni, menunduk. "Waktu untuk memikirkan ini semua. Aku takut... Aku takut jika ini terjadi lagi, Aku tidak akan sanggup lagi merasakan luka yang sama."
Rico meraih tangan Aruni yang diletakkan di atas meja, menggenggamnya lembut. "Aku mengerti, Aruni. Aku akan memberimu waktu sebanyak yang kamu butuhkan. Aku akan menunggu. Yang terpenting, kamu bahagia. Aku tidak akan meninggalkanmu, Aruni. Aku janji."
Kehangatan genggaman tangan Rico dan ketulusan kata-katanya membuat Aruni merasa sedikit tenang.
"Untuk saat ini aku meminta kita tetap dekat seperti ini, Aku juga ingin mengenalkanmu pada keluargaku. Dan aku pastikan tidak ada rahasia diantara kita yang akan menjadi boomerang suatu hari nanti. "
Ia mengangkat wajahnya, menatap mata Rico yang penuh pengertian. Sebuah senyum tipis terukir di bibirnya, namun di dalam hatinya, pertarungan batin masih berkecamuk. Ia ingin membuka hati, ia ingin bahagia, tapi bayang-bayang masa lalu masih menghantuinya.
Malam itu, di tengah bisikan janji dan ketulusan Rico, hati Aruni bergelut dengan traumanya sendiri. Akankah ia mampu melangkah maju, melepaskan bayang-bayang masa lalu dan menerima cinta yang tulus dari Rico, ataukah ketakutan akan kembali terluka akan mengurung hatinya selamanya?