Sebelum ada bintang, sebelum Bumi terbentuk, dia sudah ada.
Makhluk abadi tanpa nama, yang telah hidup melewati kelahiran galaksi dan kehancuran peradaban. Setelah miliaran tahun mengembara di jagat raya, ia memilih menetap di satu tempat kecil bernama Bumi — hanya untuk mengamati makhluk fana berkembang… lalu punah… lalu berkembang lagi.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Ahmad Taufik, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Dewi Cantik Militer
Pangkalan Militer Rahasia – 03.24 Dini Hari
Deretan kendaraan tempur berjajar rapi di bawah cahaya lampu sorot. Di ujung landasan, tiga regu elit dari Divisi Naga Langit — unit tertinggi militer Tiongkok — berdiri tegak dalam barisan, senjata tergenggam, mata menatap lurus ke depan. Wajah mereka menunjukkan disiplin… namun sesekali terlihat pandangan gelisah, terutama ke arah jam digital raksasa yang terus berdetak.
Pesawat angkut militer, yang akan membawa mereka ke lokasi operasi rahasia, telah menyala. Baling-baling sudah berputar. Suara mesin mengaum samar-samar, seperti mengancam waktu yang tersisa.
Di sisi lain landasan, beberapa jenderal dan petinggi militer, termasuk Jenderal Zhang Rui, berdiri dalam diam. Wajah mereka tegang. Salah satu jenderal muda akhirnya bicara pelan, “Kalau dia tidak datang, misi ini... tak mungkin dijalankan. Kita tidak punya opsi cadangan.”
Jenderal Zhang Rui, dengan tangan di belakang punggungnya, tidak menoleh. Namun suaranya tenang dan tegas, “Dia akan datang. Jika dia sudah berjanji… maka tidak ada satu kekuatan pun di dunia yang bisa menghalanginya.”
Namun, detik demi detik berlalu. Ketegangan meningkat. Beberapa prajurit mulai saling pandang, bertanya dalam diam: Benarkah sosok misterius itu akan muncul? Atau semua ini hanya mitos belaka?
Hingga… suara raungan mesin supercar tiba-tiba menggema di udara.
Semua kepala menoleh.
Dari kejauhan, cahaya lampu menyilaukan membelah gelapnya pangkalan. Sebuah mobil Pagani Huayra Tricolore edisi terbatas — hanya satu di dunia — melaju kencang, memecah keheningan dengan suara bertenaga. Ban mengerem tajam, menciptakan sedikit asap saat mobil berhenti tepat di hadapan para jenderal.
Pintu mobil terbuka ke atas seperti sayap.
Dan dari dalamnya, sosok pria muda melangkah keluar.
Alex Chu.
Tanpa topeng. Tanpa seragam resmi.
Ia mengenakan jaket hitam sederhana yang terbuka sebagian, memperlihatkan kaus dalam berwarna gelap. Tubuhnya tinggi dan ramping, rambut hitam legam terurai sedikit ke samping. Kulitnya putih bersih, nyaris seperti porselen, membuatnya tampak lebih seperti seorang selebriti atau model papan atas daripada seorang tentara veteran.
Namun saat ia melangkah... aura yang mendominasi langsung menyelimuti udara. Tatapannya dingin, tajam, dan penuh tekanan tak terlihat. Bahkan para prajurit yang paling terlatih pun secara naluriah menegakkan tubuh mereka lebih tegak — bukan karena instruksi, tapi karena naluri penghormatan yang muncul secara alami.
“Dia… siapa?” bisik salah satu prajurit muda. “Itu… orang yang akan memimpin misi?”
“Dia terlihat seperti mahasiswa,” ucap yang lain. “Apa dia pernah angkat senjata…?”
Tapi pertanyaan-pertanyaan itu segera tenggelam ketika Jenderal Zhang Rui melangkah maju dan memberi hormat militer. “Terima kasih sudah datang.”
Alex hanya mengangguk tipis, tak membalas dengan formalitas. “Kita langsung berangkat. Waktumu tinggal sedikit.”
Jenderal lain yang lebih senior pun, meski sedikit tersinggung dengan sikap Alex yang acuh, tetap memilih diam. Mereka tahu, lelaki muda ini… bukan prajurit biasa. Tidak pernah tunduk pada aturan. Tapi berkali-kali menjadi penyelamat di balik operasi militer paling mustahil.
Alex Chu berjalan melintasi barisan pasukan elit, dan seluruh prajurit menatapnya dengan berbagai ekspresi: heran, tak percaya, meragukan, tapi juga… gentar.
Langkah kakinya tenang, namun setiap hentakan seolah menginjak ego mereka.
Salah satu kapten tim sempat hendak menyapa atau bertanya, tapi begitu bertemu tatapan mata Alex, ia membeku. Tak bisa bicara. Mata itu… bukan milik manusia biasa. Terlalu tenang, terlalu dalam… seperti menyimpan ribuan tahun perang dan penderitaan.
Dan hanya Jenderal Zhang Rui yang menatap langit, lalu bergumam dalam hati:
“Dunia ini tak pernah benar-benar tahu... siapa yang sebenarnya menjaga perdamaannya.”
Di antara barisan regu kedua — Tim Serigala Hitam — berdiri sosok mencolok.
Seorang wanita muda dengan seragam tempur lengkap, rambut hitam dikuncir ketat ke belakang, tatapan mata tajam dan penuh wibawa. Dialah Leng Ruyan, dikenal sebagai Dewi Militer di kalangan prajurit, sekaligus kapten termuda dalam sejarah Divisi Naga Langit.
Putri kandung dari Letnan Jenderal Leng Tian, Leng Ruyan tumbuh di lingkungan militer sejak kecil. Namun, karena kepribadiannya yang keras kepala dan enggan menjalani kehidupan "normal", ia memilih masuk pelatihan militer sejak usia belia. Sekolah umum? Ia anggap membosankan. Dunia sosialita? Ia lewati dengan dingin. Dia lebih suka medan perang daripada pesta dansa.
Dengan reputasinya yang gemilang, banyak prajurit mengidolakannya. Tapi hari ini… dia justru tampak sedikit... terganggu.
Tatapannya tertuju pada pria yang baru saja keluar dari supercar mewah itu — Alex Chu.
Itu dia?
Pikirannya berkecamuk. Nama "Alex Chu" sudah ia dengar sejak ia masih kecil. Sosok misterius itu selalu disebut dalam laporan militer kelas rahasia. Ayahnya sendiri pun pernah menyebut nama itu, namun hanya dalam bisikan yang nyaris seperti legenda urban di dunia militer.
“Jika negara benar-benar berada di ujung tanduk… maka akan ada satu nama yang dipanggil terakhir,” kata ayahnya suatu malam. “Dan itu bukan jenderal mana pun. Tapi seseorang yang tak tercatat dalam sejarah.”
Waktu itu Leng Ruyan masih anak-anak. Sekarang dia sudah menjadi kapten. Dan orang yang disebut itu… berdiri di depannya.
Namun… dia tampak terlalu muda. Seumuran dengannya. Bahkan nyaris terlihat seperti anak baru lulus akademi.
Leng Ruyan mengerutkan kening. Pandangannya tajam menilai: Tulang pipi tinggi, mata tajam, kulit terlalu bersih, tidak ada bekas luka, tidak ada tanda-tanda trauma pertempuran seperti tentara veteran pada umumnya.
Ia tak bisa menahan suara hatinya:
“Apa benar ini orang yang disebut-sebut menyelesaikan misi di medan pertempuran kutub, hutan Amazon, gurun Timur Tengah... bahkan operasi rahasia di dalam perbatasan Amerika?”
Ada keraguan dalam dirinya. Tapi juga ada rasa... penasaran yang menyiksa.
Dan tepat saat itu — seolah membaca pikirannya — Alex Chu sempat melirik sekilas ke arahnya. Tatapan mata mereka bertemu selama satu detik.
Satu detik saja.
Namun cukup untuk membuat jantung Leng Ruyan berdetak tak wajar. Entah kenapa… ia merasa seperti telanjang di hadapan pria itu. Seakan seluruh dirinya sudah dipahami, dikupas, dan dilihat — tanpa ia bisa menutupinya.
Leng Ruyan buru-buru mengalihkan pandangan, tapi wajahnya tetap dingin di permukaan. Ia tidak mau terlihat goyah di depan pasukannya.
Namun dalam hatinya, ia mulai menyadari... bahwa sosok di depannya bukan sekadar legenda. Tapi kenyataan.
Dan itu membuatnya tidak tenang.