Bijaklah dalam memilih tulisan!!
Kisah seorang penulis online yang 'terkenal lugu' dan baik di sekitar teman-teman dan para pembaca setianya, namun punya sisi gelap dan tersembunyi—menguntit keluarga pebisnis besar di negaranya.
Apa yang akan di lakukan selanjutnya? Akankah dia berhasil, atau justru kalah oleh orang yang ia kendalikan?
Ikuti kisahnya...
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Alensvy, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Pembalasan Penulis Licik 11
...****************...
Arion berdiri di ambang pintu, mengenakan jas hitam dan sepatu yang mengkilap. Parfum maskulin tercium samar saat ia melewati ruang tengah menuju pintu keluar.
Sebelum benar-benar pergi, ia menoleh sebentar ke arah Aresya yang duduk di sofa, membungkus dirinya dengan selimut tipis dan secangkir teh hangat di tangan.
“Kalau kamu tidur, kunci pintumu dengan benar,” ucapnya datar, tapi tegas.
Aresya mengangguk cepat. “Baik, Arion.”
Tak ada balasan. Hanya derap langkah menjauh, lalu suara pintu utama yang tertutup dengan rapi.
Begitu suara itu lenyap, senyum Aresya muncul perlahan. Tenang. Terkendali. Penuh kemenangan.
Dia bangkit, melepas selimutnya, dan berjalan ke kamarnya. Di sana, dia melepas pakaian tidurnya dan mengenakan kembali setelan awalnya—kaus longgar dengan celana pendek, serta kacamata bundar yang memperkuat kesan lugunya.
Wajah yang beberapa jam lalu menyimpan kepalsuan kini tampak sangat biasa. Lugu. Seperti penulis rumahan yang menghabiskan pagi dengan teh dan kata-kata.
Ia duduk di depan laptopnya, membuka file dokumen berjudul “Wanita yang Tidak Pernah Dicintai.”
Jari-jarinya mulai menari di atas keyboard. Senyum kecil masih bermain di sudut bibirnya.
“Tenang saja, Arion Camaro... Aku hanya menulis cerita. Tapi, seperti yang kamu tahu... cerita bisa membunuh lebih kejam dari peluru.”
Klik. Klik. Klik.
Dan cerita pun kembali ditulis, sementara topeng polos itu kembali melekat sempurna di wajahnya.
...****************...
Arion bersandar di kursi kulit hitamnya. Kepalanya dimiringkan ke belakang, mata tertutup. Mengambil jeda sejenak setelah memarahi bawahan yang nyaris membuatnya muntah karena kebodohan mereka.
Namun jeda itu malah membawa bayangan semalam kembali menari di benaknya.
Aresya.
Wajah itu.
Tatapan kosong namun menggoda. Bibir yang basah, suara napasnya yang berat dan tidak stabil. Tekstur lidahnya yang hangat menyentuh leher dan tubuhnya.
Cara tangan mungilnya mengelus miliknya, cara menjilat bibirnya seolah tanpa sadar, caranya bergeliat ringan dengan ekspresi polos namun menggoda.
"Ssshh.." Arion mendesis pelan. Tubuhnya bereaksi cepat, terlalu cepat.
“Sial,” gumamnya kasar. Matanya terbuka lebar, rahangnya mengeras.
Tangannya mengepal di atas meja—keras, hingga buku jarinya memucat.
Ia menunduk, menatap bagian bawah tubuhnya yang kini sudah menegang penuh, hanya karena mengingat kejadian semalam.
“Brengsek,” umpatnya lagi, kali ini lebih pelan namun mengandung tekanan.
Arion berdiri, melangkah ke arah jendela besar di ruangannya, mencoba menarik napas panjang.
Dia seorang pria disiplin. Punya kontrol diri tinggi. Tapi wanita itu—wanita yang bahkan baru beberapa hari menjadi istrinya—berani memainkan dirinya seperti ini.
Bukan hanya tubuhnya yang terpancing… tapi egonya yang terluka. Hasratnya dipancing lalu dijatuhkan.
Dan itu membuatnya terbakar dari dalam.
“Aresya... kamu pikir kamu bisa menang dengan cara kotor seperti itu?”
Sebuah senyum tipis muncul di sudut bibirnya. Namun kali ini bukan senyum biasa. Itu adalah senyum milik predator yang baru saja menemukan target permainan.
“Kalau ini perang... mari kita mulai dari sekarang.”
...****************...
Langkah kaki Arion terdengar berat menyusuri lorong menuju penthouse-nya. Hari ini melelahkan. Namun saat pintu terbuka, ada sesuatu yang asing namun… menggoda.
Aroma bawang yang ditumis, rempah-rempah, dan daging yang sedang dimasak perlahan menyergap indra penciumannya. Kehangatan yang tak pernah dia temukan selama tinggal sendiri menyambutnya begitu dia masuk.
Matanya langsung tertuju pada dapur terbuka yang menyatu dengan ruang tamu mewah itu.
Dan di sana…
Aresya.
Dengan rambut dikuncir tinggi, tangan sibuk mengaduk panci, dan celemek tipis yang menutupi tubuh mungilnya. Tapi di balik celemek itu, dia hanya mengenakan pakaian tidur pendek yang memperlihatkan lekuk tubuhnya tanpa ampun.
Kakinya jenjang, bahunya terbuka, dan garis punggungnya membentuk lekukan menggoda tiap kali dia mencondongkan tubuhnya ke meja dapur.
Arion menarik napas dalam, mengerahkan seluruh kendalinya agar tak menunjukkan reaksi.
“Kamu nggak perlu memasak untukku,” katanya datar, suaranya serak karena terlalu banyak hal yang ditahan.
Aresya tidak langsung menoleh. Dia hanya terkekeh dalam hati—tawa yang memantul di dalam kepalanya penuh kesombongan dan kemenangan.
Percaya diri sekali pria ini. pikirnya. Seolah aku memasak untuknya. Menyebalkan.
Lalu dia menoleh pelan, menatap Arion dengan wajah setenang air di permukaan kaca.
“Aku hanya memasak untuk diriku sendiri,” katanya ringan. “Tapi… kalau kamu mau makan bersamaku, aku tak masalah.”
Tatapannya datar, namun mata itu penuh teka-teki. Seperti mengajak bermain… tapi dengan aturan yang hanya dia sendiri tahu.
Arion menatapnya beberapa detik tanpa berkata. Ada perang dingin di udara, meski aroma masakan seolah berusaha menengahi.
“Cepatlah selesai. Aku benci rumah ini penuh asap,” gumam Arion, lalu melangkah ke arah kulkas, mengambil air dingin, dan membuka kancing atas kemejanya.
Namun matanya sempat melirik ke arah kaki Aresya. Lalu buru-buru membuang pandangan, seolah membenci diri sendiri karena tergoda… lagi.
Malam merayap perlahan, menyentuh lantai marmer dengan dinginnya yang tak bersuara. Di meja bar yang sunyi, Aresya duduk sendiri—seperti bayangan yang setia pada cahaya, namun tak pernah benar-benar menyatu.
Suapan demi suapan masuk ke mulutnya, tanpa tergesa, tanpa beban. Gerakannya tenang, nyaris tak menyisakan jejak emosi. Hanya mata itu, yang kadang berkedip lambat… seperti menyimpan rahasia yang terlalu pekat untuk ditumpahkan.
Lalu, dari balik lorong kamar, muncullah Arion.
Langkahnya ringan namun penuh isi, seperti seseorang yang tahu ke mana harus pulang, tapi tak yakin ingin kembali.
Ia mengenakan kaos hitam dan celana pendek, pakaian yang melekatkan kesan santai, namun tak mampu menyamarkan ketegangan yang menetap di bahunya. Di tangannya, sebuah iPad tergenggam, lebih sebagai pelarian daripada keperluan.
Aresya tak menyapa. Hanya sekilas lirikan singkat, seperti angin yang menyentuh dedaunan tanpa benar-benar singgah.
Dan Arion… diam-diam mencuri pandang. Bukan pandang biasa—melainkan tatapan yang menelusuri siluet tubuh di balik celemek, pada rambut yang berayun ringan, pada garis leher yang tak sengaja tersingkap.
Ia berpaling cepat, mencoba menyembunyikan desir yang tiba-tiba tumbuh dari dasar dadanya. Namun hasrat, sekali terbangun, tak semudah itu kembali tertidur.
Dalam keheningan yang menggantung, tak ada dialog, tak ada pernyataan. Hanya dua jiwa yang saling diam di ruang yang sama, masing-masing membawa badai di dada, namun memilih tenang di permukaan.
Usai suapan terakhir, Aresya bangkit perlahan, membawa piring dan gelas bekasnya menuju wastafel dapur. Langkahnya ringan, namun setiap hentakan seolah telah diperhitungkan—seperti penari yang tahu betul di mana sorotan cahaya akan jatuh.
Air mengalir pelan, mengisi ruang dapur dengan gemericik yang tak kalah lembut dari napas malam. Tangannya bergerak lincah, mencuci piring tanpa suara, tapi pikirannya bermain dengan nyala yang tak terlihat.
Dan di belakang sana, ia bisa merasakan... tatapan itu. Tatapan tajam bagai elang, milik seorang Arion yang diam-diam tengah mengukir bentuk tubuhnya dalam benaknya.
Senyum melengkung di sudut bibirnya. Sinis. Penuh perhitungan.
Dengan gerakan yang tampak alami namun disengaja, ia sedikit meliukkan pinggulnya, membiarkan celemek itu tersibak sebagian, memperlihatkan punggung polosnya yang terpangkas halus cahaya lampu gantung.
Lehernya terbuka, garis belakangnya menggoda dalam ketidaksengajaan yang tak pernah benar-benar tidak disengaja.
Ia tak menoleh. Tak perlu.
Karena ia tahu, di balik keheningan itu, dada seseorang mulai mengencang... dan pikiran seseorang mulai terbakar.
Dengan gerakan perlahan, Aresya melepas celemek dari tubuhnya. Tali kain itu terulur dan jatuh dalam sunyi, seolah menyadari perannya telah usai.
Dan kini, tanpa penghalang, tampak jelas lekuk tubuhnya yang terbungkus baju tidur tipis—terlalu tipis untuk menyembunyikan keindahan yang ia miliki, terlalu jujur untuk disebut kebetulan.
Ia berbalik setengah, menatap Arion dengan sorot mata netral yang nyaris tak terbaca.
"Aku tidur duluan," ucapnya pelan, namun cukup untuk menggema di antara dinding-dinding penthouse yang sepi. "Maaf soal kejadian semalam. Aku akan kunci pintuku dengan benar malam ini."
Lalu ia melangkah, perlahan tapi mantap, menuju kamarnya.
Di sisi lain ruangan, Arion menatap tanpa berkedip. Tenggorokannya naik-turun, menelan ludah susah payah seolah menahan badai yang tengah menggeliat dalam dirinya.
Matanya mengingat, terlalu rinci, terlalu jelas—siluet tubuh Aresya, lekuk yang terbentuk dari tiap gerak yang tak disengaja namun begitu memabukkan.
Dan di benaknya, kalimat Aresya tadi tak benar-benar menghilang—justru tertinggal, menggantung, seperti sisa aroma yang enggan pergi dari udara.
.
.
.
Next 👉🏻
Makasih tadi udh mampir. jgn lupa keep lanjut teyuz ya...
kita ramein dengan saling bertukar komen...