NovelToon NovelToon
Sayap-Sayap Bisu

Sayap-Sayap Bisu

Status: sedang berlangsung
Genre:Cinta pada Pandangan Pertama / Cinta Seiring Waktu
Popularitas:2.2k
Nilai: 5
Nama Author: Chira Amaive

Novel romantis yang bercerita tentang seorang mahasiswi bernama Fly. Suatu hari ia diminta oleh dosennya untuk membawakan beberapa lembar kertas berisi data perkuliahan. Fly membawa lembaran itu dari lantai atas. Namun, tiba-tiba angin kencang menerpa dan membuat kerudung Fly tersingkap sehingga membuatnya reflek melepaskan kertas-kertas itu untuk menghalangi angin yang mengganggu kerudungnya. Alhasil, beberapa kertas terbang dan terjatuh ke tanah.

Fly segera turun dan dengan panik mencari lembaran kertas. Tiba-tiba seorang mahasiswa yang termasuk terkenal di kampus lantaran wibawa ditambah kakaknya yang seorang artis muncul dan menyodorkan lembaran kertas pada Fly. Namanya Gentala.

Dari sanalah kisah ini bermulai.

Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Chira Amaive, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri

Episode 7

Empat mahasiswa dan enam mahasiswi dengan almamater kampus tampak sibuk membawa barang mereka masing-masing berupa koper, tas besar, bantal, guling, dan printilan-printilan lainnya.

Fly yang memakai kerudung segitiga menyeret koper sedangnya di belakang sosok lelaki idamannya. Tersenyum lebar dalam sanubari, agar tak seorang pun makhluk yang tahu. punggung yang kokoh itu. Bagaimana pula ia bisa mengabaikannya. Seorang pria dengan kaos oblong keluar dari mobil pick up hitam itu. Berjalan ke arah Fly yang sedang dimabuk asmara dalam hening.

“Sini, Neng barangnya. Kopernya saya bantu angkat,” ujar pria itu.

Dalam hati, Fly sudah ingin mengusir pria itu karena telah mengganggu rencananya. Tentu saja ia sengaja berdiri di belakang Gen karena ingin lelaki itu yang mengangkatkan kopernya ke bak mobil pick up. Senyuman lebar dalam sanubari itu luruh sudah. Berganti cemberut tak bergairah.

Gen menoleh, menyadari ada Fly di belakangnya.

“Ril, buka bak mobilnya!” panggil seseorang dari arah pintu supir.

“Nggak apa-apa, Pak. Ntar saya dan teman-teman yang laki-laki lainnya aja yang bantu angkat barang-barang yang perempuan,” timpal Gen.

Harapan itu nyata. Harapan itu sungguh seperti sebuah imajinasi terindah yang menjadi nyata. Begitulah Fly merespon dalam sanubari. Tak perlu waktu lama, senyuman lebar dalam hening itu kembali.

“Sebentar, ya. saya buka dulu mobilnya. Ntar saya bantu sisanya yang belum,” jawab pria ber-kaos oblong itu.

Gen mengangguk ramah, sekilas melihat ke arah barang Fly. Delapan teman lainnya juga berada di belakang mobil pick up.

“Sini, kopermu aku angkatin,” ujar Gen.

Fly langsung mengangguk cepat dengan senyuman canggung. Gen lebih dahulu meletakkan barang-barang Fly dibanding barang-barang miliknya sendiri. Bagaimana tidak itu bisa membuat Fly seperti namanya. Terbang setinggi-tingginya.

“Terima kasih, Gen,” ucap Fly

“Sama-sama, hm…” Gen lupa dengan nama Fly.

“Fly.”

“Oh, iya. Fly.”

Kali ini senyuman itu muncul. Benar-benar melengkung dari bibir berwujud milik Fly.

“Aku juga minta tolong dong, Gen,” pinta seorang perempuan dengan rambut berwarna cerah bergradasi ungu-pirang.

“Tunggu dia menaikkan barang miliknya dulu,” sergah Flu ketika perempuan rambut cerah itu mendekatkan kopernya ke Gen.

Perempuan itu mengernyitkan kening. Seperti terganggu dengan ucapan Fly. Bukankah dia minta tolong ke Gen? dan Gen bahkan belum menjawab apapun. Lagipula ia tidak terlihat keberatan. Kenapa malah ada orang lain yang bukan siapa-siapanya berkomentar?

“Sebelum berangkat, alangkah lebih baiknya kita saling berkenalan dulu. Kenalin, namaku Cua,” ucap perempuan berambut cerah itu kepada Fly.

“Fly,” jawabnya singkat sambil berjabat tangan dengan Cua. Padahal, ia sudah mengenal semuanya karena ia sendiri yang memilih kelompok KKN untuk dirinya. Ia sengaja mencari foto-foto orang yang terlihat baik hati. Namun, kini ia merasa keliru. Cua sangat berbeda dengan yang dibayangkan. Di foto, Cua tampil dengan rambut hitam rapi dan senyuman teduh. Nyatanya, ia sepertinya orang yang lebih menyebalkan dibanding Yui.

“Kamu lahir ketika ada segerombolan lalat?”

“Aku lebih suka mengartikannya sebagai terbang.”

“Lalat juga, Fly.”

Benar saja. Perempuan ini benar-benar menjengkelkan. Ekspresinya seperti kakak kelas yang hendak mengintimidasi adek kelasnya. Atau paling tidak seperti seorang ketua geng labrak yang centil. Fly mulai berpikir bahwa ia benar-benar salah memilih Cua sebagai kelompoknya.

Tiba-tiba sebuah tangan muncul dan mengambil koper Cua. Gen turun tangan. Bukan sekadar membantu Cua, melainkan untuk menyejukkan suasana yang entah disebut apa.

“Gampang, ‘kan. Dia nggak perlu persetujuan kamu,” ketus Cua terhadap Fly.

Tangan Fly terkepal keras. Ia menahan amarah akibat sikap Cua yang menyebalkan. Belum sampai posko, tapi ia sudah lebih dari cukup mendapatkan tekanan. Padahal, KKN akan berlangsung selama dua bulan. Itu sangat menyenangkan selama itu dengan Gen, tapi tidak dengan Cua.

“Maaf, Cua. Kita ‘kan KKN di desa Hidrangea. Di sana adalah daerah yang terpencil dan menjunjung budaya tradisional,” tembak seorang mahasiswi dari belakang Cua.

“Iya, tahu. Emang kenapa?”

“Kenapa kamu mewarnai rambut? Nanti akan dicap tidak baik oleh warga setempat.”

“Lah, emang kenapa? Sifat seseorang tidak digambarkan lewat rambut.”

Padahal sifat menyebalkannya sudah tergambar,ujar Fly dalam hati.

“Benar, Cua. Sebaiknya kita memberikan kesan awal yang baik bagi warga di sana,” timpal seorang mahasiswa lainnya, setuju.

Semua juga terlihat mengangguk setuju. Seharusnya Cua mengecat rambutnya dengan warna yang kalem saja.

Seketika Cua terlihat begitu jengkel. Tidak ada yang berpihak padanya. Fly puas. Namun sesaat, ia merasa dirinya kejam karena tersenyum di atas kejengkelan orang lain.

“Tapi sepertinya tidak apa-apa, teman-teman. Aku punya teman yang merupakan kakak tingkat kita pernah KKN di dekat desa itu. Katanya mewarnai rambut itu sudah menjadi hal biasa. Bukankah dengan rambut Cua juga kita bisa mengedukasi orang-orang Islam di sana bahwa mewarnai rambut itu boleh, asal bukan warna hitam,” ujar Fly, diakhri dengan senyuman ke arah Cua. Sekalipun sebenarnya ia masih kesal dengan perempuan itu.

“Bagaimana jika warga bertanya, kenapa dia tidak berkerudung?” tanya Gen.

Di antara enam orang mahasiswi tersebut, ada dua orang non-muslim. Di antara empat mahasiswi muslim hanya Cua yang tidak berhijab. Sehingga jika pertanyaan Gen terjadi, maka yang kena hanya Cua.

“Hei, kenapa kalian menghakimiku, hah? Banyak kok cewek muslim yang nggak pakai hijab. Aku ‘kan masih muda. Jadi masih ingin menikmati masa muda dengan rambut warna-warniku yang cantik,” ketus Cua membela diri.

“Iya, maaf. Aku terlalu lancang,” ucap Gen.

Tak perlu waktu lama, Fly sudah berpikir lagi. Sepertinya satu kelompok KKN dengan Cua tidak buruk-buruk amat. Fly hanya tinggal mengakrabkan diri dengan Gen, dan kurangi interaksi dengan Cua. Sampai dua bulan berlalu tanpa terasa.

Hanya barang-barang mereka yang di mobil pick up. Sedangkan sekelompok mahasiswa KKN itu menuju lokasi dengan sepeda motor masing-masing. Lebih tepatnya lima sepeda motor yang dinaiki masing-masing dua orang. Fly membawa sepeda motor Vio karena lebih cocok digunakan di tempat terpencil. Ia membonceng salah satu teman kelompoknya.

Sepuluh menit perjalanan, mereka telah sampai di jalanan cadas. Bebatuan mendominasi jalan itu. tidak ada lagi aspal. Bahkan lebih terpencil dari yang dibayangkan. Benar-benar dikuasai perkebunan dan persawahan.

“FLY, tolong berhenti sebentar!”

“Ada apa, Izu?” tanya Fly setelah mengehentikan sepeda motornya.

“Kakiku kena bambu kecil-kecil tadi di jalan,” ungkap Izu sembari membuka kaos kakinya.

Berdarah. Fly segera mengambil obat luka yang ada di dashboard motornya. Tidak lupa dengan kapas.

“Aduh, maaf ya. kayaknya tadi terlalu fokus ke depan sampai nggak lihat ada bambu.” Fly berseru sambil meneteskan obat luka pada kaki Izu.

“Santai. Cuma luka kecil.”

“Eh, kerudungmu!” seru Fly setelah melihat bagian kerudung Izu yang sobek.

“Loh, kok bisa. Aku nggak sadar tadi.”

Setelah selesai mengobati luka Izu, Fly mengambil selembar kain kerudung dalam tempat yang sama dengan obat luka itu.

“Untungnya aku pernah naruh kerudung karena lupa bawa kantong belanjaan.”

“Loh, ini baru?”

Fly mengangguk.

“Ini sih belum kamu pakai sama sekali. Nggak usah. Nanti aku tutup pakai almet aja.”

“Udah, pakai cepet! Keburu ketinggalan jauh.”

Izu tersenyum ke arah Fly, membuat Fly mengangkat sebelah alisnya.

“Kenapa?”

“Kamu mirip Gen. Sama-sama gerak cepat kalau soal membantu orang lain. Dilihat-lihat, kalian cocok juga.”

“NGARANG!” seru Fly, yang padahal dalam hatinya ditumbuhi taman bunga bermekaran.

1
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!