Karena kejadian di malam itu, Malika Zahra terpaksa harus menikah dengan pria yang tidak dicintainya.
"Argh! kenapa aku harus menikah dengan bocah bau kencur!" gerutu seorang pria.
"Argh! kenapa aku harus menikah dengan pak tua!" Lika membalas gerutuan pria itu. "Sudah tua, duda, bau tanah, hidup lagi!"
"Malik! mulutmu itu!"
"Namaku Lika, bukan Malik!"
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Aylop, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Penawaran
Evan setelan budek, ia menyalakan mesin mobil dan mulai mengemudi. Mengacuhkan istri kecilnya yang mengoceh terus. Tidak terima dengan ucapannya.
"Om, jangan bicara sembarangan. Ingat kita akan bercerai setelah resepsi!"
Itu juga kalimat yang selalu diucapkan si Malik.
Cerai, cerai, cerai,
Ngebet sekali wanita itu mau menjadi janda.
"Mau makan apa?" tanya Evan akhirnya buka suara. Pusing dengar ocehan Lika terus.
"Lontong sayur." jawab Lika. Ia ingin makan itu.
Evan pun menepikan mobil di pinggir jalan. Ada gerobak penjual lontong sayur sedang mangkal.
Tak lama, Lika makan dengan lahap. Lontong sayur itu enak sekali, sampai-sampai 2 mangkuk habis dilahapnya.
Dan Evan hanya dapat menggeleng melihat si Malik. Makannya begitu banyak, seperti sudah tidak makan beberapa hari saja.
Lika melihat Evan sekilas, pria itu masih makan. Makan pak tua itu lambat dan lelet. Padahal tinggal masukkan dalam mulut dan dikunyah dengan cepat.
"Om, minum dulu!" Lika menuangkan segelas air dan diberikan pada Evan.
Evan melihat Lika dengan wajah aneh, tumben-tumbenan si Malik perhatian. Pasti ada maunya.
Pria itu pun menenggak air yang diberikan Lika.
"Om," panggil Lika. Ia bingung mengatakan maksud hatinya.
"Apa?" tanya Evan. Kini mengelap mulut dengan tisu.
"Pinjam seratus." ucap Lika. Ia sudah berjanji pada Boni akan memberikan hari ini. Mereka akan bertemu di sore ini.
Kepala Evan mengangguk pelan. Benarkan ternyata ada maunya si Malik .
Evan mengambil dompet dan mengeluarkan selembar uang merah. "Tidak usah dibayar!"
Pria itu menahan senyuman melihat Lika meniup poni rambutnya sendiri.
"Bukan seratus ribu, seratus juta om!" ucap Lika. Pak tua itu memang menyebalkan.
"Kamu mau memberikan pada pacarmu yang jelek itu?" tanya Evan memastikan.
"Dia ganteng ya, om!" bela Lika tidak terima.
Evan tampak berpikir, akan diberikannya atau tidak pinjaman pada Lika.
"Om, pinjamkan ya. Aku janji akan membayarnya tiap bulan!" mohon Lika berharap.
"Pinjaman ditolak!" ucap Evan. Ia membantu pacar istri? Yang benar saja.
"Om, jangan gitu dong! Boni pasti kecewa padaku karena aku tidak jadi membantunya!" rengek Lika. Ia jadi bingung mau mencari pinjaman ke mana.
"Biar saja! biar kalian putus!" ledek Evan.
Lika pun mencubit perut pak tua itu. "Om pelit!"
Lika membuang wajahnya tidak mau melihat Evan. Air matanya berlinang, sedih sekali tidak bisa membantu Boni.
Dan Evan membuang napasnya dengan kasar, si Malik itu menangis lagi. Memanglah dasar bocah cengeng.
"Ya sudah, akan aku bantu."
"Serius, om?" tanya Lika memastikan. Ia langsung melihat ke arah Evan.
"Iya." Evan mengusap air mata di wajah mewek itu. "Tapi aku yang akan langsung membayar ganti rugi ke pemilik mobil."
Evan memutuskan seperti itu. Ia yang akan membayarkan langsung, jadi ia tahu berapa kerugiannya dan apa saja yang rusak. Dan di mana bengkel yang memperbaikinya.
Firasat Evan mengatakan jika pacar si Malik yang jelek itu sedang memanfaatkan istrinya. Ia akan memastikan dengan cara itu dan agar Lika melihat sendiri, apa si jelek itu memang menabrak mobil atau hanya tipuan?
Dan Lika tampak berpikir sejenak. Pak tua itu tidak mau memberikan uangnya secara langsung.
"Baiklah." Lika mengangguk setuju. Yang penting sekarang Boni selamat dulu.
"Tapi nanti jangan bilang om suamiku. Bilang saja om ku!" ucap Lika kembali.
Boni akan bertemu dengan Evan. Jadi Lika tidak mau kekasihnya jadi salah paham.
Evan tampak kesal dengan kesepakatan itu. "Baiklah, tapi dengan satu syarat!"
Lika menyilangkan tangan di dada.
"Temani aku shoping." ucap Evan. "Aku tidak akan menyentuhmu, jika kamu tidak mau disentuh!" dengusnya.
Memaksa menyentuh si Malik buat capek sendiri. Sudah banyak drama dan konflik lagi.
"Ya sudah, ayo shoping!" ajak Lika dengan semangat. Syarat ternyata hanya menemani shoping saja.
Beberapa saat kemudian keduanya berada di sebuah mall.
"Om, lepaskan!" Lika tidak nyaman saat tangan mereka bergandengan.
"Mau pinjaman ditolak?" tanya Evan dengan nada datar melihat ke arah Lika.
Lika menggeleng cepat dan Evan kembali melihat ke depan.
Pria itu tersenyum kecil dan makin mengeratkan genggamannya.
"Om, aku sudah punya gaun!"
"Aku sudah punya tas!"
"Sepatuku banyak!"
Pria itu ingin membelikan sesuatu, tapi ditolak terus.
Hingga akhirnya Evan membawa ke konter handphone.
"Om mau membelikan aku ponsel?" tanya Lika sambil tersenyum-senyum. Kalau dibelikan ini, ia tidak akan menolak.
"Tidak!" jawab Evan yang membuat senyum Lika luntur. "Aku mau ganti ponsel."
Lika mengangguk. "Jadi ponsel om yang lama?" tanyanya pelan.
Ponsel milik Evan ponsel mahal. Meski keluaran tahun lalu, tapi tetap saja wah dibandingkan ponsel miliknya.
"Dibuang." jawab Evan.
"Di-dibuang?" Lika melongo. Orang kaya main buang-buang saja. Ponsel itu jika dijual harganya masih tinggi.
"Om, biar aku saja yang buang." ucap Lika sambil mengangguk. Dari pada dibuang mending untuknya saja.
"Aku bisa buang sendiri." ucap Evan menahan tawanya.
"Aku saja yang buang, om. Nanti sekalian buang sampah." timpal Lika sambil menganggukkan kepala.
Pria itu tidak membalas lagi dan melihat deretan ponsel di etalase. Ia memilih ponsel keluaran terbaru.
'Mehong!!!' jiwa Lika meronta melihat harganya. 3 bulan bekerja lembur bagai kuda pun tidak cukup untuk membeli ponsel tersebut.
"Om, kok bisa banyak uang? Ngepet ya?" tanya Lika. Ia bingung dari mana orang-orang bisa punya uang banyak.
Berdoa dan berusaha. Ia selalu berdoa dan bekerja keras bagai kuda sebagai usaha. Tapi tidak kaya-kaya juga.
Evan tertawa pelan, tidak dapat menahan lagi. Pertanyaan si Malik begitu lucu sekali.
"Kamu mau ganti ponsel?" tanya Evan.
Lika mengangguk cepat tanpa berpikir. Untuk ponsel tidak ada penolakan.
"Kamu pilihlah, akan ku belikan."
Lika menutup mulutnya, ia senang sekali dibelikan ponsel baru.
\=\=\=\=\=\=\=\=\=\=\=\=\=\=\=\=\=\=\=\=\=\=\=\=\=
Di dalam mobil Lika tersenyum-senyum. Pak tua itu baik sekali, membelikannya ponsel baru dan keluaran terbaru. Harganya jangan ditanya.
"Om!" Lika kaget, ponselnya tiba-tiba diambil Evan.
"Om, ponselku." ucap Lika akan meminta kembali.
"Kamu tidak mengatakan sesuatu?" tanya Evan menatap wajah yang berubah malu.
"Maaf, om. Om Evan terima kasih ya untuk ponselnya. Om baik sekali, sudah tampan, tampan dan tampan." Lika memuja muji Evan.
"Hanya itu?" tanya Evan merasa kurang dengan pujian itu.
"Om Evan baik hati dan tidak sombong. Rajin menabung, berbakti pada orang tua, tampan, ganteng," Lika tampak bingung mau memuji apa lagi.
"Cium aku!" pinta Evan.
"Apa?" tanya Lika. Tiba-tiba pak tua itu minta cium.
"Cium aku sekali, aku akan memberikan ponsel ini!" pinta Evan.
"Om Evan!" Lika berdengus kesal. Pak tua itu mengatakan hal aneh.
"Kamu hanya perlu menciumku sekali saja. Anggap saja balasan karena aku sudah membelikan ponsel!" Evan sengaja begitu. Ia tidak mau rugi.
"Om, mana bisa begitu!" protes Lika.
"Di mana kamu bisa dapat ponsel baru hanya dengan sebuah ciuman?" tanya Evan menaikkan alisnya. Ia memberikan penawaran.
Lika jadi bingung. Ia tidak mungkin mencium pria lain, tapi ia ingin ponsel itu juga. Ini kesempatannya memiliki ponsel mahal.
Cup,
Lika mendaratkan kecupan di pipi pak tua itu. Hanya sebuah kecupan dan Boni juga tidak tahu.
"Bukan kecupan, Malik. Ciuman, cium aku di bibir."
"Apa?"
.
.
.
gmn hayo Lika, jadi gak minjem uang ke Evan untuk transfer Boni? 😁
Van, tolong selidiki tuh Boni, kalau ada bukti yg akurat kan Lika biar sadar tuh Boni hanya memanfaatkan dan membodohi nya doang