Leora Alinje, istri sah dari seorang CEO tampan dan konglomerat terkenal. Pernikahan yang lahir bukan dari cinta, melainkan dari perjanjian orang tua. Di awal, Leora dianggap tidak penting dan tidak diinginkan. Namun dengan ketenangannya, kecerdasannya, dan martabat yang ia jaga, Leora perlahan membuktikan bahwa ia memang pantas berdiri di samping pria itu, bukan karena perjanjian keluarga, tetapi karena dirinya sendiri.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon salza, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 2
Mobil hitam itu berhenti tepat di depan pintu utama kediaman Alastair, bangunan megah yang berdiri seperti istana modern di tengah kota. Begitu mesin dimatikan, beberapa pengawal langsung turun dari pos masing-masing. Pintu mobil dibuka, dan para staf menunduk sopan.
“Selamat datang kembali, Tuan Muda Leonard,” ujar kepala keamanan.
Leonard hanya mengangguk tipis, langkahnya cepat dan mantap menuju pintu masuk. Wajahnya datar, namun sorot matanya penuh sesuatu yang sulit diterjemahkan—campuran jengkel, lelah, dan dingin seperti biasa.
Hari ini, ia tak punya waktu untuk formalitas.
Ia langsung masuk ke dalam rumah, melewati lorong panjang yang dihiasi lukisan mahal dan ukiran antik. Asisten rumah tangga menunduk ketika ia lewat, tapi Leonard bahkan tak melirik sedikit pun.
Yang ada di kepalanya hanya satu tujuan: ayahnya.
Tangannya meremas sebuah map putih bersegel emas.
Surat perjanjian.
Surat yang—entah bagaimana—telah ditandatangani Leora Alinje.
Leonard menaiki tangga marmer melingkar tanpa memperlambat langkah. Setiap langkah terdengar tegas, menandakan ia tidak sedang dalam suasana ingin berbicara baik-baik.
Beberapa pengawal di depan ruang kerja presdir Lee menegakkan tubuh ketika melihatnya.
“Tuan muda, presdir sedang—”
Leonard tidak menunggu izin.
Ia membuka pintu begitu saja dan masuk.
Di dalam ruangan serba kayu gelap itu, Presdir Lee duduk di balik meja besar, sedang membaca laporan tebal. Kacamata tipis bertengger di hidungnya, membuatnya terlihat lebih keras dari biasanya.
Ia mendongak pelan.
“Kamu pulang lebih awal,” katanya datar.
Leonard mendekati meja tanpa duduk.
Ia meletakkan map putih itu di atas meja dengan gerakan terkontrol namun jelas penuh tekanan.
Presdir Lee menatap map itu… kemudian menatap putranya.
“Apa ini?”
Leonard membuka map tersebut dan menarik lembar utama—dokumen dengan dua tanda tangan.
Tanda tangan Leora Alinje dan tanda tangan Leonard Alastair.
Ia mendorong kertas itu ke arah ayahnya.
“Ini,” katanya singkat dan dingin.
“Yang Ayah inginkan, kan?”
Presdir Lee mengangkat alis.
“Sudah ditandatangani?”
“Ya. Oleh kami berdua.”
Presdir Lee mengambil kertas itu perlahan.
Matanya membaca, tapi ekspresinya tetap sulit ditebak.
Setelah beberapa detik, presdir Lee menutup map itu.
“Cepat sekali,” komentarnya pendek.
Leonard menyilangkan tangan.
“Bukankah itu yang Ayah mau? Perjanjian selesai. Pernikahan berjalan. Kerja sama aman.”
Presdir Lee mempelajari wajah putranya, seolah mencari sesuatu yang tidak diucapkan.
“Kamu terlihat… tidak keberatan.”
Leonard menahan tawa pendek—tanpa benar-benar tertawa.
“Keberatan atau tidak bukan masalah,” jawabnya. “Yang penting perjanjian ini tidak menjadi masalah bagi perusahaan.”
Presdir Lee mengetuk meja dengan jarinya, tanda ia sedang memikirkan sesuatu.
“Kamu bertemu Leora hari ini?”
“Ya.”
“Dan dia menandatangani tanpa penolakan?”
Leonard terdiam sejenak sebelum menjawab.
“She’s not what you think.”
Itu saja yang ia ucapkan.
Presdir Lee mengangguk kecil, seolah informasi itu sudah ia duga.
“Kalau begitu, aku harap kamu tahu apa yang kamu lakukan.”
“Ayah tidak kaget?” Leonard akhirnya membuka suara.
Presdir Lee menghela napas tipis.
“Kaget? Tidak. Kamu putraku, Leonard. Aku tahu pada akhirnya kamu akan memilih jalan yang benar.”
Leonard mendengus pelan. “Benar menurut siapa? Menurut Ayah?”
“Menurut keadaan,” balas Presdir Lee tanpa ragu. “Dan menurut apa yang dibutuhkan perusahaan.”
Leonard hanya menatap tanpa bicara. Ada banyak hal ingin ia lontarkan, tapi ia menahannya.
Ini bukan waktunya.
Presdir Lee menutup map itu dan menyelipkannya ke dalam laci khusus, lalu berkata:
“Aku sudah menjadwalkan semuanya.”
Leonard mengerutkan alis. “Menjadwalkan apa?”
Presdir Lee menyandarkan tubuhnya ke kursi, nada suaranya datar namun tegas.
“Pernikahan kalian.”
Ia berhenti sekejap sebelum menambahkan:
“Dua hari lagi.”
Leonard membeku sesaat—bukan karena terkejut, namun karena ia tidak menyangka ayahnya akan mempercepat segalanya sedrastis itu.
“Dua hari?” ulang Leonard, nadanya nyaris tidak percaya.
“Cepat sekali.”
“Kita tidak punya waktu untuk menunda,” jawab Presdir Lee. “Semua akan dilakukan secara tertutup. Hanya beberapa orang penting yang diundang—dewan, beberapa investor inti, dan keluarga terdekat.”
Leonard menahan napas pelan.
“Jadi semuanya sudah Ayah atur tanpa bertanya padaku lagi?”
“Tanda tanganmu sudah ada,” jawab Presdir Lee tenang. “Itu sudah lebih dari cukup.”
Leonard menatap ayahnya lama.
Ia ingin marah, tapi ia memilih tetap tenang.
“Kalau begitu,” ucap Leonard dingin, “pastikan tidak ada media. Tidak ada publikasi. Aku tidak ingin hidupku jadi konsumsi umum.”
Presdir Lee mengangguk.
“Tentu. Ini bukan acara untuk dipamerkan.”
Hening sesaat.
Leonard bersiap bicara lagi, namun—
Tok tok tok.
Pintu terbuka pelan.
Seorang wanita berusia sekitar empat puluh akhir masuk dengan senyum lembut, membawa nampan berisi kopi hitam favorit suaminya.
Ibu Minjae.
Wanita yang dikenal ramah, tenang, dan menjadi penyeimbang kerasnya dua lelaki Alastair ini.
“Aku bawakan kopi seperti biasa,” ucapnya hangat. “Aku pikir kau butuh—”
Langkahnya terhenti ketika ia melihat Leonard berdiri di depan ayahnya, wajah keduanya sama-sama tegang.
“Oh… Leonard? Kamu di sini juga?” suaranya lembut, tapi ia langsung tahu ada sesuatu yang serius.
Presdir Lee mengambil kopinya. “Minjae, tidak ada apa-apa. Kami hanya—”
“Pernikahan dua hari lagi,” potong Leonard dengan nada datar namun jelas.
Ibu Minjae menoleh cepat.
“…Apa?”
Leonard tidak mengubah ekspresinya. “Ayah mengatur pernikahan itu. Dua hari lagi.”
Dada Minjae langsung naik turun sedikit. Matanya membesar, terkejut bukan main.
“Per… nikahan?”
Ia memandang suaminya dengan bibir sedikit ternganga.
“Lee… kamu bilang apa? Dua hari lagi? Leonard yang sebelumnya membantah seribu kali… sekarang…?”
Presdir Lee hanya menjawab tenang, “Leora menandatangani perjanjian. Dan Leonard juga.”
Minjae memandang putranya lagi, kali ini dengan campuran bingung, khawatir, dan tidak percaya.
“Leonard… kau yakin? Sebelumnya kau begitu… menolak.”
Leonard tidak menghindari tatapan ibunya.
Ia hanya menjawab singkat:
“Aku yakin dengan keputusanku.”
Minjae menatapnya lebih lama, mencoba membaca apa yang tidak diucapkan putranya.
Namun ia tidak menemukan apa-apa.
Wajah Leonard terlalu datar.
Presdir Lee akhirnya menambahkan,
“Semua sudah diputuskan. Kita hanya perlu mempersiapkan sisanya.”
Minjae meletakkan baki dengan cepat, lalu menghampiri putranya dengan tatapan yang jelas-jelas tidak percaya. Ia berdiri tepat di depannya, kedua tangannya bertumpu di pinggang.
“Jujur saja,” katanya sambil mendekat, “Ibu pasti tahu penyebabnya. Karena Leora cantik sekali, ya? Tipe yang digilai banyak orang. Kulit putih, wajah lembut, tinggi ideal—”
“Tidak.” Leonard memotong cepat. “Bukan itu. Dia bukan tipeku.”
Minjae berkedip… lalu tersenyum seperti seseorang yang baru menang lotre kecil. Ia menunduk dan mencubit pipi Leonard tanpa peringatan.
“Aduh! Ibu!” Leonard langsung menjauh, namun Minjae mengikuti dan mencubit lagi—pelan, tapi menyebalkan.
“Kau ini… selalu sok tegas,” katanya sambil terkekeh pelan. “Bilang bukan tipe, padahal wajahmu langsung berubah waktu mendengar namanya.”
“Tidak berubah apa-apa,” bantah Leonard cepat. “Aku hanya… menyelesaikan apa yang diperlukan.”
“Ya, ya,” Minjae mengangguk-angguk seolah sedang menyetujui sesuatu padahal jelas mengejek. “Ibu mengerti. Tapi lihat saja nanti. Kalian akan saling jatuh cinta sebelum kalian sadar.”
“Ibu, ini bukan drama.” Leonard menatapnya datar.
“Tapi hidupmu sering lebih dramatis dari drama,” Minjae menjawab sambil tersenyum lebar. “Coba saja jangan keras kepala.”
Presdir Lee yang dari tadi hanya mendengar akhirnya angkat bicara, suaranya tenang namun tegas.
“Minjae, biarkan dia. Keputusan sudah dibuat.”
“Tentu.” Minjae menepuk bahu suaminya, lalu kembali menatap Leonard. “Tapi sebagai ibumu, aku wajib mengingatkan… pernikahan tanpa cinta bisa berakhir buruk. Dan pernikahan yang dipaksakan bisa berubah menjadi cinta, kalau kau tidak menutup diri.”
Leonard tidak menjawab. Rahangnya mengencang sedikit—bukan marah, tapi tidak nyaman.
Minjae tersenyum lembut, menurunkan tangan dan berdiri tegak.
“Aku hanya berharap kau bahagia. Dan mungkin… Leora akan menjadi alasan itu suatu hari nanti.”
Ia berbalik, mengambil baki, lalu berjalan menuju pintu dengan langkah ringan.
Dalam diam, Leonard hanya menghembuskan napas panjang.