Intan Puspita Dewi (17) tidak pernah membayangkan masa mudanya akan berakhir di meja akad nikah. Lebih parah lagi, laki-laki yang menjabat tangan ayahnya adalah Argantara Ramadhan—dosen paling dingin, killer, dan ditakuti di kampus tempatnya baru saja diterima.
Sebuah perjodohan konyol memaksa mereka hidup dalam dua dunia. Di rumah, mereka adalah suami istri yang terikat janji suci namun saling membenci. Di kampus, mereka adalah dosen dan mahasiswi yang berpura-pura tak saling kenal.
"Jangan pernah berharap aku menganggap ini pernikahan sungguhan," ucap Arga dingin.
Namun, sekuat apa pun mereka menjaga rahasia, tembok pertahanan itu perlahan retak. Ketika benci mulai terkikis oleh rasa cemburu, dan dinginnya sikap perlahan mencair oleh perhatian, sanggupkah mereka menyangkal bahwa cinta telah hadir di antara skenario sandiwara ini?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon muliyana setia reza, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Aroma Pagi di Dapur Sempit
Pukul 04.30 pagi. Langit Jakarta masih gelap, menyisakan sisa-sisa malam yang dingin. Namun, mata Argantara sudah terbuka lebar.
Ia tidak bisa tidur nyenyak. Bayangan punggung Intan yang berjalan membawa mangkuk mie instan ke kamar tamu semalam terus menghantuinya. Kalimat istrinya terngiang-ngiang: "Kulkas kosong. Mas kan nggak belanja."
Arga bangun, menyingkirkan selimutnya dengan kasar. Ia berjalan ke dapur, membuka kulkas dua pintu yang besar itu. Kosong. Hanya ada botol air mineral dan sebutir telur yang sudah kadaluarsa.
Menyedihkan.
Arga melirik jam dinding. Supermarket langganannya yang menjual bahan import baru buka jam 8 pagi. Itu terlalu siang. Intan ada kelas pagi jam 8. Jika ia menunggu supermarket buka, Intan akan sarapan roti tawar lagi atau beli gorengan di jalan.
Arga menghela napas panjang. Ia mengambil kunci mobil, menyambar hoodie abu-abu, dan mengenakan topi untuk menutupi rambutnya yang berantakan.
Ada satu tempat yang buka jam segini. Tempat yang seumur hidup belum pernah ia injaki sendirian: Pasar Tradisional.
Pasar subuh itu becek, bau amis, dan berisik.
Argantara Ramadhan, dosen perlente yang biasa berjalan di lantai marmer, kini harus berjinjit menghindari genangan air keruh dengan sepatu sneakers mahalnya. Hidungnya berkerut mencium aroma campuran ayam potong, ikan asin, dan sayuran basah.
Ia tampak sangat out of place.
"Awas, Mas! Minggir, air panas!" teriak seorang tukang panggul yang membawa keranjang tahu.
Arga melompat ke samping, nyaris menabrak lapak sayur.
"Eh, Si Mas Ganteng! Ati-ati atuh, Mas," sapa ibu penjual sayur sambil tersenyum genit. "Mau cari apa pagi-pagi? Istrinya ngidam ya?"
Wajah Arga memanas. "Eh... iya, Bu. Cari ayam sama sayur buat... sarapan."
"Duh, idaman banget. Ganteng, mau ke pasar," puji ibu itu sambil memilihkan bayam paling segar. "Nih, kasih istrinya yang ijo-ijo biar seger."
Arga menurut saja. Ia membeli bayam, dada ayam filet, bumbu dapur, cabai, dan beras kualitas terbaik. Ia menawar dengan kaku—yang akhirnya malah dikasih harga lebih mahal karena pedagang tahu dia orang kaya yang tidak paham harga pasar. Tapi Arga tidak peduli.
Ia pulang membawa tiga kantong kresek besar, sepatunya kotor terkena cipratan lumpur, dan bajunya bau bawang. Tapi anehnya, ada perasaan puas yang membuncah di dadanya.
Pukul 05.45 pagi. Apartemen Pavilion.
Suara berisik dari dapur membangunkan Intan.
Gadis itu menggeliat di kasur kamar tamu yang sempit. Ia mengerjap, mengendus udara. Aroma bawang putih yang ditumis dan aroma ayam goreng mentega menguar kuat, menyusup lewat celah pintu kamar.
Intan bingung. Siapa yang masak? Maling? Nggak mungkin maling masak.
Dengan rambut acak-acakan dan muka bantal, Intan keluar kamar. Langkahnya terhenti di ambang dapur.
Matanya membelalak tak percaya.
Di sana, di dapur yang biasanya dingin dan sepi, berdiri Argantara.
Pria itu mengenakan apron hitam di atas kaos oblongnya. Tangannya sibuk mengoseng wajan dengan spatula. Di meja island, sudah tersaji dua piring nasi hangat, tempe goreng tepung, dan mangkuk berisi tumis bayam jagung yang mengepul.
Pemandangan itu begitu... domestik. Begitu hangat. Sangat kontras dengan citra Arga yang angkuh.
Arga menoleh saat menyadari kehadiran Intan. Wajahnya sedikit berminyak karena uap masakan, tapi ia tersenyum tipis.
"Bangun?" sapa Arga santai, seolah ia melakukan ini setiap hari. "Cuci muka dulu. Sarapan sudah siap 5 menit lagi."
Intan masih mematung. Ia mencubit lengannya sendiri. Sakit. Bukan mimpi.
"Mas... Mas ngapain?" tanya Intan gagap.
"Masak," jawab Arga singkat. Ia menuangkan ayam goreng mentega ke piring saji. "Katanya kulkas kosong. Jadi saya isi. Dan karena saya lapar, saya masak sekalian. Kebanyakan kalau dimakan sendiri."
Intan berjalan mendekat, menatap hidangan di meja. Itu bukan makanan western seperti toast atau scrambled egg yang biasa Arga makan. Itu masakan rumahan. Masakan Indonesia.
"Mas belanja di mana jam segini?" Intan melihat kantong kresek hitam khas pasar di lantai. Matanya menangkap sepatu Arga yang kotor kena lumpur di dekat rak sepatu.
"Pasar becek," jawab Arga, melepaskan apronnya. "Ternyata belanja di sana lebih... menantang daripada nguji skripsi."
Hati Intan berdesir. Arga ke pasar becek? Demi belanja? Demi masak?
Dinding pertahanan Intan yang ia bangun semalam retak sedikit. Ia melihat usaha Arga. Usaha yang nyata, bukan sekadar ganti gaya rambut atau tebar pesona. Ini adalah bentuk pelayanan.
"Duduk, Intan," perintah Arga lembut, menarik salah satu kursi makan. "Kita makan sama-sama sebelum berangkat. Nggak ada penolakan. Mubazir makanan dibuang."
Intan menelan ludah. Perutnya memang lapar. Mie instan semalam tidak cukup mengenyangkan.
Akhirnya, Intan duduk.
Arga mengambilkan nasi ke piring Intan, lalu menyendokkan lauk pauknya. Porsi yang cukup besar.
"Makan," ucap Arga.
Intan menyuap sendok pertama. Ayam goreng mentega itu masuk ke mulutnya. Rasanya... enak. Gurih, manis, pas. Bukan rasa restoran bintang lima, tapi rasa tangan sendiri yang tulus.
"Gimana?" tanya Arga cemas, mengamati ekspresi istrinya. "Keasinan? Saya tadi agak bingung takaran garamnya."
Intan mengunyah pelan, lalu menelan. Ia menatap Arga yang menunggu seperti anak kecil menunggu nilai rapor.
"Enak," jawab Intan jujur, meski singkat. "Ayamnya empuk."
Bahu Arga merosot lega. Senyum tipis terukir di wajahnya. Itu adalah pujian terbaik yang ia dengar minggu ini, mengalahkan pujian ribuan mahasiswi tentang ketampanannya.
"Syukurlah," Arga mulai makan bagiannya sendiri.
Mereka makan dalam diam. Tapi kali ini, keheningannya berbeda. Bukan keheningan perang dingin yang mencekam, melainkan keheningan damai yang diisi oleh denting sendok garpu.
Arga sesekali melirik Intan yang makan dengan lahap. Melihat istrinya makan masakannya sendiri memberikan kepuasan maskulin yang aneh. Ia merasa berguna. Ia merasa menjadi suami.
"Mas," panggil Intan tiba-tiba setelah piringnya setengah kosong.
"Ya?"
"Mas nggak perlu lakuin ini sebenernya. Kita bisa beli makan di kantin," ucap Intan pelan, matanya menatap gelas air. "Jangan paksain diri Mas masuk ke dunia yang bukan level Mas. Pasar becek itu nggak cocok sama sepatu mahal Mas."
Arga meletakkan sendoknya. Ia menatap Intan serius.
"Intan, dengerin saya," ucap Arga tegas. "Dunia saya adalah di mana istri saya berada. Kalau kamu butuh isi kulkas dari pasar, saya ke pasar. Kalau kamu butuh makan masakan rumah, saya masak."
Arga menjeda kalimatnya, menatap lurus ke manik mata Intan.
"Saya lagi belajar, Tan. Belajar nurunin ego saya yang ketinggian ini. Jadi tolong, jangan dilarang. Biarin saya usaha."
Intan terpaku. Kalimat itu menohok jantungnya. Ketulusan di mata Arga pagi ini begitu telanjang, tanpa topeng dosen, tanpa arogansi.
Intan menunduk, menyembunyikan matanya yang tiba-tiba memanas.
"Sayurnya enak," gumam Intan mengalihkan pembicaraan, suaranya sedikit serak. "Makasih udah masak, Mas."
Arga tersenyum. Ia tahu Intan sedang salah tingkah. Dan itu adalah kemajuan besar.
"Sama-sama."
Selesai makan, Intan otomatis membereskan piring kotor.
"Biar saya cuci," ucap Intan. "Mas udah masak, gantian saya yang cuci piring. Adil."
Arga tidak membantah. Ia membiarkan Intan mencuci piring sementara ia membereskan meja. Kerja sama kecil ini terasa menyenangkan.
Jam menunjukkan pukul 06.45. Waktunya berangkat.
"Berangkat bareng saya," ajak Arga saat mereka sudah siap di ruang tamu. "Saya nggak terima penolakan kayak kemarin. Kamu istri saya, bukan musuh saya."
Intan memegang tali tasnya. Ia teringat kejadian di lobi kemarin, betapa sakitnya melihat Arga dikerubungi wanita lain. Tapi ia juga teringat rasa ayam goreng mentega tadi pagi.
"Turunin di halte belakang fakultas ya, Mas," tawar Intan. "Jangan di lobi. Saya nggak mau cari masalah sama fans Mas."
Arga menghela napas, tapi ia mengangguk. Setidaknya Intan mau satu mobil dengannya. Itu sudah cukup untuk hari ini.
"Oke. Halte belakang," setuju Arga.
Mereka berjalan keluar apartemen beriringan. Tidak bergandengan tangan, tapi jarak di antara bahu mereka tidak lagi sejauh kemarin. Aroma masakan rumah yang menempel di baju mereka menjadi rahasia kecil yang menyatukan mereka pagi ini.
Di dalam hati, Argantara bersorak. Ia berhasil memenangkan satu ronde melawan gengsi Intan.
Ternyata kuncinya bukan kemeja mahal atau gaya rambut, batin Arga saat membukakan pintu mobil untuk Intan. Kuncinya adalah ayam goreng mentega dan keberanian ke pasar becek.
Arga mencatat resep itu baik-baik di kepalanya. Besok, ia akan masak lagi.
Bersambung...
makan tuh gengsi Segede gaban😄