Satu kesalahan di lantai lima puluh memaksa Kirana menyerahkan kebebasannya. Demi menyelamatkan pekerjaan ayahnya, gadis berseragam putih-abu-abu itu harus tunduk pada perintah Arkan, sang pemimpin perusahaan yang sangat angkuh.
"Mulai malam ini, kamu adalah milik saya," bisik Arkan dengan nada yang dingin.
Terjebak dalam kontrak pelayan pribadi, Kirana perlahan menemukan rahasia gelap tentang utang nyawa yang mengikat keluarga mereka. Di balik kemewahan menara tinggi, sebuah permainan takdir yang berbahaya baru saja dimulai. Antara benci yang mendalam dan getaran yang tak terduga, Kirana harus memilih antara harga diri atau mengikuti kata hatinya.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Mrs. Fmz, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 28: Air Mata di Balik Meja Magang
Angka merah pada alat pelacak itu berkedip sangat cepat, menunjukkan angka tiga yang menyala terang di tengah kegelapan ruang rahasia yang pengap. Kirana merasakan jantungnya seolah berhenti berdetak saat suara tawa Arkananta yang dingin bergema melalui pengeras suara, menciptakan suasana yang sangat mencekam dan mengerikan. Tanpa berpikir panjang, Indra menerjang tubuh Kirana dan menggulingkannya ke balik meja magang kayu jati yang sangat tebal dan sangat kokoh.
"Tutup telingamu dan buka mulutmu lebar-lebar sekarang juga, Kirana!" teriak Indra dengan suara yang sangat menggelegar mengalahkan bunyi detik bom tersebut.
Ledakan dahsyat mengguncang lantai lima puluh hingga dinding kaca ruang kerja Arkananta hancur berkeping-keping dan beterbangan ke arah udara bebas. Gelombang panas menyapu permukaan ruangan, menghanguskan tumpukan kertas dokumen dan kursi kerja mewah hingga menjadi abu hitam yang sangat pekat. Kirana merapatkan tubuhnya ke lantai, merasakan getaran hebat yang seolah ingin meruntuhkan seluruh fondasi gedung pencakar langit yang megah itu.
"Indra! Apakah Anda masih hidup? Tolong jawab saya!" jerit Kirana di tengah kepulan asap yang sangat menyesakkan dada.
Kirana terbatuk-batuk hebat saat mencoba bangkit dari balik meja magang yang kini sudah dipenuhi oleh serpihan kaca tajam dan debu semen. Ia melihat Indra tergeletak tidak jauh darinya dengan luka robek di bagian pundak yang mengeluarkan darah segar secara terus-menerus. Ruang rahasia yang tadinya menjadi tempat perlindungan kini telah luluh lantak, menyisakan reruntuhan yang sangat berbahaya bagi keselamatan nyawa mereka berdua.
"Saya baik-baik saja, Kirana, segera ambil buku catatan itu dan kita harus segera pergi melalui tangga darurat," rintih Indra sambil menahan rasa perih yang luar biasa.
Kirana merangkak di atas pecahan kaca, jemarinya yang halus mulai terluka namun ia tidak memedulikan rasa sakit yang menjalar di sekujur tubuhnya. Ia menemukan buku catatan ibunya yang terselip di bawah reruntuhan lemari besi, namun lembaran saham asli yang tadi ia simpan telah hilang secara misterius. Air mata Kirana jatuh membasahi meja magang yang kini menjadi saksi bisu kehancuran harapannya untuk mengungkap kebenaran tentang orang tuanya.
"Lembaran saham itu hilang, Indra! Seseorang pasti telah mengambilnya saat ledakan terjadi tadi!" tangis Kirana dengan sapaan yang penuh dengan kepedihan yang sangat mendalam.
Indra memaksa dirinya untuk berdiri meskipun kakinya terasa sangat lemas dan kepalanya masih berdenyut-denyut sangat kencang akibat benturan keras. Ia menyadari bahwa pria berjubah hitam tadi tidak hanya berniat membunuh mereka, tetapi juga mencuri bukti legalitas terkuat milik keluarga Kirana. Keheningan malam yang mencekam di lantai lima puluh tiba-tiba terusik oleh suara derap langkah sepatu lars yang sangat banyak dan sangat berisik.
"Pasukan keamanan Clarissa sudah sampai di depan pintu, kita tidak punya jalan keluar lain selain melompat ke arah gondola pembersih kaca!" perintah Indra dengan tegas.
Kirana menatap ke arah jendela yang sudah bolong, melihat ketinggian gedung yang sangat mengerikan di bawah siraman cahaya lampu kota yang remang-remang. Angin kencang bertiup masuk ke dalam ruangan, memainkan rambut panjang Kirana yang kini sudah berantakan dan dipenuhi oleh noda abu hitam. Ia merasa sangat ragu, namun sorot mata Indra yang penuh dengan keyakinan membuatnya terpaksa mengangguk pelan demi bertahan hidup.
"Pegang tali ini erat-erat, jangan pernah melepaskannya meskipun kamu merasa sangat takut akan ketinggian ini," ujar Indra sambil memasangkan pengait besi ke sabuk jas yang dikenakan Kirana.
Mereka melompat keluar tepat saat pintu ruang kerja didobrak paksa oleh puluhan pria bersenjata lengkap yang mengenakan seragam hitam pekat. Kirana menjerit sekuat-tenaga saat tubuhnya melayang di udara bebas sebelum akhirnya mendarat dengan keras di atas papan besi gondola yang berayun-ayun ditiup angin. Ia melihat ke atas, ke arah jendela lantai lima puluh, dan melihat sosok Clarissa berdiri di sana dengan senyuman kemenangan yang sangat memuakkan.
"Kamu tidak akan pernah bisa lari dari saya, Kirana, karena seluruh kota ini sudah berada di bawah kekuasaan saya!" teriak Clarissa dari ketinggian.
Gondola tersebut mulai turun secara perlahan, namun tiba-tiba kabel baja penahannya dipotong oleh salah satu anak buah Clarissa dengan menggunakan alat pemotong logam. Kirana merasakan guncangan hebat saat salah satu sisi gondola miring ke bawah, membuat tubuhnya nyaris merosot jatuh ke jurang aspal yang sangat dalam. Indra dengan sigap menangkap tangan Kirana, sementara tangan lainnya berpegangan erat pada sisa kabel yang masih tersambung dengan pengait utama.
"Bertahanlah, Kirana! Jangan melihat ke bawah, tetaplah menatap mata saya dan jangan pernah menyerah sekarang juga!" seru Indra dengan suara yang mulai serak.
Kirana menangis tersedu-sedu, air matanya membasahi meja magang besi gondola yang dingin dan dipenuhi oleh lumut tipis yang licin. Di tengah situasi hidup dan mati tersebut, ia melihat sebuah helikopter hitam tanpa identitas mendekat ke arah mereka dengan sangat cepat. Pintu helikopter itu terbuka, menampakkan sosok pria yang mengenakan topeng naga emas sedang memegang sebuah senapan bius yang diarahkan tepat ke jantung Kirana.
"Jika kamu ingin hidup, jatuhkan buku catatan itu ke dalam air muara di bawah sana sekarang juga!" ancam pria bertopeng naga emas itu melalui pelantang suara.
Kirana menatap buku di tangannya, lalu menatap Indra yang sudah mulai kehabisan tenaga untuk menahan beban tubuh mereka berdua yang sangat berat. Ia dihadapkan pada pilihan yang sangat sulit, antara menyerahkan satu-satunya kenangan ibunya atau melihat Indra jatuh tewas bersamanya malam ini. Di saat yang bersamaan, sebuah pesan suara masuk ke dalam telepon genggam Kirana yang masih menyala di dalam saku jas mewahnya.
"Jangan berikan buku itu, Kirana... itu adalah kunci untuk menghancurkan saya... lari selagi kamu bisa..." suara Arkananta terdengar sangat lirih namun penuh dengan tekanan emosi.