Di antara debu masa lalu dan dinginnya Jakarta, ada satu bangunan yang paling sulit direnovasi: Hati yang pernah patah.
Lima tahun lalu, Kaluna Ayunindya melakukan kesalahan terbesar dalam hidupnya: meninggalkan Bara Adhitama—pria yang memujanya—dan cincin janji mereka di atas meja nakas tanpa sepatah kata pun penjelasan. Ia lari ke London, membawa rasa bersalah karena merasa tak pantas bersanding dengan pewaris tunggal Adhitama Group.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon tanty rahayu bahari, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 2: Di Antara Debu dan Reruntuhan
Matahari Jakarta sedang terik-teriknya, memanggang aspal jalanan kawasan Menteng hingga uap panas seolah menari-nari di udara. Di depan sebuah bangunan kolonial tua yang setengah tertutup tanaman rambat liar, Kaluna berdiri sambil membenarkan letak helm proyek berwarna putih di kepalanya.
Heritage Hotel Menteng.
Bangunan ini dulunya adalah permata di tahun 1950-an. Pilar-pilar raksasa bergaya Art Deco, jendela-jendela tinggi yang kini kacanya buram oleh debu tahunan, dan aura keanggunan yang—sayangnya—kini tertutup oleh kesan angker dan tak terawat.
"Mbak Kaluna, yakin Pak Bara bakal ikut turun ke lapangan?" tanya Rian, asisten Kaluna, sambil mengipasi wajahnya dengan papan jalan. Kemeja kerjanya sudah basah di bagian punggung. "Maksud saya, dia kan CEO. Biasanya cuma terima laporan beres di ruangan ber-AC."
Kaluna menghela napas, matanya menyipit menatap gerbang besi berkarat di depan mereka. "Bara Adhitama yang saya kenal... dia tipe perfeksionis, Rian. Dia tidak akan percaya laporan di atas kertas kalau belum melihat kerusakannya dengan mata kepala sendiri."
Dan dia ingin melihatku menderita di tengah debu ini, tambah Kaluna dalam hati.
Suara deru mesin halus memotong percakapan mereka. Sebuah sedan hitam mengkilap berbelok masuk ke pelataran hotel yang penuh kerikil. Sopir berseragam turun dengan sigap membukakan pintu belakang.
Sepatu kulit hitam yang mengkilap—terlalu bersih untuk sebuah lokasi proyek—menapak ke tanah berdebu. Bara keluar, masih dengan setelan jas lengkapnya, meski jas luarnya kini sudah dilepas dan disampirkan di lengan, menyisakan kemeja putih pas badan yang lengan-lengannya digulung rapi hingga siku.
Kaluna menahan napas sejenak. Pemandangan itu—Bara dengan kemeja putih dan lengan digulung—adalah kelemahan fatalnya dulu. Dulu, pemandangan seperti ini biasanya diakhiri dengan Bara yang memasak makan malam untuk mereka berdua di apartemen kecil Kaluna di London, atau saat pria itu sedang membetulkan keran air yang bocor.
Kini, Bara berjalan mendekat dengan wajah datar, mengenakan kacamata hitam yang menyembunyikan tatapan matanya. Di belakangnya, Pak Hadi, kontraktor utama proyek ini, tergopoh-gopoh mengikuti.
"Siang, Pak Bara," sapa Kaluna, berusaha terdengar tegas. Ia menyodorkan sebuah helm proyek baru.
Bara berhenti tepat di depan Kaluna. Ia tidak langsung mengambil helm itu. Ia melepas kacamata hitamnya, menyipitkan mata menatap bangunan tua di belakang Kaluna, lalu menatap Kaluna dari ujung kaki hingga ujung kepala.
Kaluna hari ini mengenakan kemeja flanel kotak-kotak, celana jeans, dan sepatu boots proyek. Jauh berbeda dari tampilan elegan saat presentasi kemarin.
"Terlambat lima menit," gumam Bara dingin, melirik jam tangan mahalnya.
"Kami sudah di sini sejak setengah jam lalu, Pak. Bapak yang baru sampai," jawab Kaluna refleks.
Rian tersentak kaget di sampingnya. Membantah klien—terutama klien sekelas Bara—bukanlah langkah bijak.
Bara menatap Kaluna tajam. Ada kilatan terkejut di matanya, seolah tidak menyangka Kaluna masih punya nyali untuk menjawab. Namun, kilatan itu segera hilang, digantikan senyum sinis.
"Bagus. Kalau begitu, tunjukkan saya kenapa renovasi gedung rongsokan ini memakan biaya dua kali lipat dari estimasi awal," ujar Bara sambil menyambar helm dari tangan Kaluna dan memkaikannya dengan kasar. "Jalan."
Bagian dalam hotel itu berbau apek, campuran dari kayu lapuk, lembap, dan kotoran tikus. Cahaya matahari masuk menerobos celah-celah papan penutup jendela, menciptakan efek dramatis pada debu yang beterbangan.
Kaluna berjalan di depan sebagai pemandu, menyalakan senter besar.
"Struktur utama di lobi ini masih kokoh, Pak," jelas Kaluna, suaranya bergema di ruangan luas yang kosong itu. Ia menyorotkan senter ke pilar-pilar utama. "Beton bertulangnya masih bagus. Masalah utamanya ada di atap dan sistem drainase. Air hujan merembes masuk selama bertahun-tahun, membuat plafon gipsum hancur dan lantai parket melengkung."
Bara berjalan di belakangnya, sesekali mengetuk dinding dengan ujung sepatu mahalnya.
"Desainmu," suara Bara memotong penjelasan teknis Kaluna. "Kau ingin mempertahankan grand staircase (tangga utama) ini?"
Kaluna menoleh. Mereka kini berdiri di hadapan tangga melingkar raksasa di tengah lobi. Tangga itu dulunya megah, tapi kini pegangan kayunya sudah dimakan rayap dan anak tangganya retak-retak.
"Ya," jawab Kaluna yakin. "Tangga ini adalah focal point hotel ini. Sejarahnya ada di sini. Kalau kita bongkar, jiwa bangunan ini akan hilang. Rencana saya adalah melakukan injeksi epoksi untuk retakan dan mengganti kayu pegangan dengan material jati yang grain-nya mirip dengan aslinya."
Bara mendengus pelan. Ia melangkah maju, mendekati tangga itu, lalu dengan sengaja menendang pelan salah satu tiang penyangga pegangan tangga yang sudah keropos.
KRAK.
Kayu tua itu patah dan jatuh ke lantai, menimbulkan bunyi gedebuk yang menyedihkan di keheningan lobi.
"Ups," kata Bara datar. Tidak ada nada penyesalan sama sekali.
Kaluna membelalak. "Pak Bara! Itu kayu asli tahun 50-an!"
Bara berbalik, menatap Kaluna dengan tatapan menusuk. "Itu sampah, Kaluna. Sama seperti masa lalu. Kau terlalu sibuk merawat hal-hal yang sudah busuk. Kau ingin mempertahankan ini cuma karena sentimental, bukan fungsional."
Kata-kata itu meluncur tajam, menghujam dada Kaluna. Masa lalu. Busuk.
Kaluna mengepalkan tangannya di samping tubuh. Ia tahu Bara tidak sedang bicara soal tangga.
"Dalam arsitektur restorasi, Pak," Kaluna menekan suaranya agar tidak bergetar, "nilai sebuah objek bukan cuma dilihat dari kekuatannya sekarang, tapi dari apa yang bisa kita selamatkan untuk masa depan. Saya bisa memperbaiki tangga ini. Saya jamin."
"Jaminanmu tidak berharga buat saya," balas Bara cepat. Ia melangkah mendekat, mengikis jarak di antara mereka hingga Kaluna bisa mencium aroma parfumnya yang maskulin bercampur aroma debu gedung tua. "Terakhir kali kau menjaminkan sesuatu—janji, misalnya—kau melanggarnya begitu saja."
Napas Kaluna tercekat. Jantungnya berpacu cepat. Rian dan Pak Hadi yang berdiri agak jauh tampak canggung, pura-pura memeriksa dinding agar tidak terlibat dalam ketegangan yang jelas-jelas bersifat pribadi ini.
"Kita sedang membahas pekerjaan, Pak," bisik Kaluna, matanya memanas.
"Ini pekerjaan," elak Bara, meski tatapannya terpaku pada bibir Kaluna sejenak sebelum beralih kembali ke matanya yang cokelat terang. "Saya mau tangga ini dibongkar. Ganti dengan railing kaca modern dan baja. Lebih murah, lebih cepat, lebih kuat."
"Itu akan merusak estetika vintage yang Bapak minta di brief awal!" protes Kaluna. "Konsepnya adalah Bringing Back the 50s Glory. Kalau Bapak memasukkan kaca modern di tengah lobi klasik, itu akan terlihat norak!"
Kaluna menutup mulutnya. Sial. Dia baru saja menyebut selera CEO Adhitama Group "norak".
Hening.
Suasana di lobi itu menjadi sangat mencekam. Rian sudah pucat pasi di pojokan.
Bara justru tertawa pelan. Tawa yang kering dan tanpa humor. "Norak? Wah, Arsitek lulusan London ini punya standar tinggi sekali. Sayang sekali, standar tinggimu itu tidak diterapkan pada caramu memperlakukan orang lain."
Bara berbalik badan, berjalan menjauh menuju lorong sayap kanan. "Ikut saya. Kita lihat ballroom."
Kaluna mematung sejenak, merutuki mulutnya sendiri. Ia menarik napas panjang, mencoba menenangkan gemuruh di dadanya, lalu melangkah mengikuti punggung lebar pria itu. Punggung yang dulu sering ia peluk saat naik motor berkeliling kota, kini terasa seperti tembok benteng yang tak tertembus.
Lantai Ballroom di sayap kanan kondisinya lebih parah. Atapnya bocor besar, menyisakan genangan air cokelat di lantai. Beberapa burung gereja terbang panik saat rombongan mereka masuk.
Bara berdiri di tengah ruangan luas itu, tangannya berkacak pinggang. Ia tampak tidak peduli bahwa sepatunya kini menginjak lumpur tipis.
"Saya mau Grand Opening dilakukan enam bulan lagi," ujar Bara tiba-tiba.
Pak Hadi, sang kontraktor, tersedak ludahnya sendiri. "Maaf, Pak Bara? Enam bulan? Dengan kondisi kerusakan seperti ini? Estimasi awal kami minimal sepuluh bulan, Pak. Itu pun sudah kerja lembur."
"Saya tidak peduli," potong Bara. Ia menoleh pada Kaluna. "Kaluna bilang dia arsitek terbaik. Harusnya dia bisa mencari solusi efisiensi waktu, bukan?"
Kaluna menatap Bara tak percaya. "Enam bulan itu mustahil untuk restorasi detail, Pak. Mengukir ulang cornice (lis profil) di langit-langit saja butuh waktu dua bulan sendiri kalau mau hasilnya presisi. Belum lagi instalasi listrik yang harus diganti total."
"Maka cari tukang ukir lebih banyak. Tambah manpower. Kerja 24 jam shift," perintah Bara enteng.
"Anggarannya akan membengkak drastis," bantah Kaluna.
"Saya punya uangnya," potong Bara sombong. "Masalahnya bukan di uang, tapi di kapabilitasmu. Sanggup atau tidak?"
Itu adalah jebakan. Kaluna tahu itu. Jika dia bilang tidak sanggup, Bara akan punya alasan untuk mendepaknya dari proyek ini dan mempermalukan reputasi firmanya. Jika dia bilang sanggup, dia akan menyiksa dirinya sendiri dan timnya selama enam bulan ke depan.
Kaluna menatap mata Bara. Di sana, di balik tatapan dingin itu, Kaluna melihat sesuatu yang lain. Rasa sakit. Bara melakukan ini bukan karena dia peduli pada tanggal pembukaan hotel. Dia melakukan ini karena dia ingin melihat Kaluna berjuang. Dia ingin melihat Kaluna kelelahan, putus asa, dan memohon. Sama seperti yang Bara rasakan lima tahun lalu saat Kaluna pergi tanpa pamit.
Rasa bersalah kembali menyergap Kaluna. Mungkin ini penebusan dosaku, pikirnya.
"Sanggup," jawab Kaluna tegas, meski perutnya mulas memikirkan konsekuensinya.
Alis Bara terangkat satu. "Yakin?"
"Saya akan merevisi timeline kerja malam ini. Bapak akan menerima jadwal baru besok pagi di meja Bapak," tantang Kaluna.
"Bagus," Bara mengangguk. "Tapi ada satu syarat lagi."
"Apa?"
"Selama enam bulan ini, saya mau pengawasan intensif. Setiap keputusan material, setiap perubahan sekecil apa pun, harus lewat persetujuan saya langsung. Itu artinya, kau harus siap sedia setiap kali saya panggil ke kantor saya. Tidak ada perantara. Tidak lewat asisten." Bara melirik Rian sekilas, membuat asisten itu menciut. "Hanya kau dan saya."
Kaluna menelan ludah. Forced proximity. Bara ingin memastikan Kaluna tidak bisa menghindarinya.
"Profesional," tambah Bara dengan senyum miring yang kejam. "Tentu saja."
Tiba-tiba, suara gemeretak terdengar dari atas.
"AWAS!"
Belum sempat Kaluna bereaksi, sebuah tangan kekar menyambar lengannya dan menariknya kasar ke samping. Tubuh Kaluna terhempas menabrak dada bidang yang keras. Aroma sandalwood dan keringat tubuh Bara langsung memenuhi indra penciumannya.
BRAK!
Sepotong besar gypsum plafon yang lapuk jatuh tepat di tempat Kaluna berdiri sedetik yang lalu, hancur berkeping-keping menimbulkan debu putih tebal.
Jantung Kaluna seolah berhenti berdetak. Ia masih berada dalam dekapan Bara. Tangan pria itu melingkar erat di pinggangnya, dan satu tangannya lagi melindungi kepala Kaluna. Wajah mereka hanya berjarak beberapa sentimeter.
Untuk sesaat, waktu berhenti. Debu beterbangan di sekitar mereka seperti salju kotor.
Kaluna mendongak, menatap mata Bara. Kali ini tidak ada dingin di sana. Hanya ada kepanikan murni. Ketakutan kehilangan yang begitu gamblang. Napas Bara memburu, menerpa wajah Kaluna.
"Kau..." suara Bara terdengar serak, getaran tangannya terasa di punggung Kaluna. "Bisa hati-hati tidak?!"
Momen kerentanan itu hilang secepat kilat.
Bara segera melepaskan pelukannya seolah tubuh Kaluna adalah api yang membakar. Ia mundur dua langkah, merapikan kemejanya yang sedikit berantakan dengan gerakan kasar. Wajahnya kembali mengeras, topeng dinginnya terpasang kembali.
"Kalau arsiteknya mati tertimpa plafon, proyek saya bisa tertunda karena urusan polisi," ujar Bara ketus, membuang muka. "Pak Hadi! Pastikan area ini diamankan sebelum inspeksi lanjut!"
Pak Hadi berlari-lari mendekat dengan wajah pucat. "Ba-baik Pak! Maafkan kami, Pak! Bu Kaluna, Ibu tidak apa-apa?"
Kaluna masih gemetar, lututnya lemas bukan main. Bukan karena plafon yang jatuh, tapi karena sensasi pelukan tadi. Tubuh Bara bereaksi melindunginya sebelum otaknya sempat berpikir untuk membenci.
Insting itu masih ada. Cinta itu—mungkin—masih terkubur di sana, di bawah reruntuhan amarah.
"Saya... saya tidak apa-apa," jawab Kaluna lirih, matanya masih terpaku pada Bara yang kini sibuk membersihkan debu gipsum dari bahu jasnya, menolak menatap Kaluna lagi.
"Rapat selesai untuk hari ini," putus Bara tanpa menoleh. "Saya tunggu revisi jadwalnya besok jam 8 pagi. Jangan terlambat satu detik pun."
Tanpa menunggu jawaban, Bara berbalik dan berjalan cepat meninggalkan ballroom, meninggalkan jejak sepatu di lantai berdebu dan meninggalkan Kaluna yang masih memegangi dadanya sendiri, di mana jantungnya berdetak menyakitkan.
Enam bulan. Kaluna tidak yakin hatinya akan selamat dalam enam bulan ini.
BERSAMBUNG....
Terima kasih telah membaca💞
Jangan lupa bantu like komen dan share❣️