Takdir kejam menuntutnya menjadi pengantin pengganti demi menebus sebuah kesalahan keluarga. Dan yang lebih menyakitkan, ia harus menikah dengan musuh bebuyutannya sendiri: Rendra Adiatmaharaja, pengacara ambisius yang berkali-kali menjadi lawannya di meja hijau. Terjebak dalam pernikahan yang tak pernah ia inginkan, Vanya dipaksa menyerahkan kebebasan yang selama ini ia perjuangkan. Bisakah ia menemukan jalan keluar dari sangkar emas Rendra? Ataukah kebencian yang tumbuh di antara mereka perlahan berubah menjadi sesuatu yang jauh lebih berbahaya?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Elin Rhenore, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Family's Dinner Part 1
"Aku sudah minta Shouta bawa baju untuk kamu."
Vanya mendengarkan tapi ia tidak menoleh ke arah Rendra berada, matanya terarah pada luar jendela kamarnya yang menampakkan pemandangan halaman rumah yang cukup luas. Ia melihat ke arah pintu gerbang utama, tenggelam dalam pikirannya sendiri.
"Apa yang kamu pikirkan sebenarnya? kamu tidak seperti biasanya."
Mendengar hal itu, Vanya menoleh, ia sudah kembali pada realita-sebuah realita yang sangat ingin ia hilangkan dalam bagian hidupnya. Namun dirinya sungguh tak bisa menghilangkannya, semua harus ia jalani. Vanya bukan seseorang yang mudah protes, tapi bukan berarti ia tidak memiliki rasa keadilan. Tapi ia tidak bisa mengamuk seperti saat dirinya masih enam tahun dan tidak dibelikan es krim oleh ayahnya.
Ia adalah perempuan dewasa saat ini. berkali-kali kakaknya selalu memberikan wejangan padanya agar berpikir dengan tenang, bertindak sesuai keadaan, tidak larut dalam emosi yang semu.
"Menurutmu biasanya aku seperti apa, Mas?"
"Kamu selalu banyak bicara." Rendra tanpa sadar mengakui dirinya tak terbiasa dengan Vanya versi diam ini. Ia suka mendengarkan Vanya bicara dengan lantang, suka mendengar celoteh Vanya yang cepat dan nyaring.
Vanya melangkah mendekat pada Rendra yang sedang duduk di pinggir ranjang miliknya.
"Bukankah bagus kalau aku sekarang diam, tidak ada yang berisik."
"Lebih baik jika dunia saya berisik karena kamu." Rendra mengatakannya dengan sangat enteng, wajahnya begitu datar tanpa perasaan, tapi meski begitu ucapan itu berhasil membuat Vanya bersemu. Lalu memalingkan diri.
"Kenapa kamu membantu mereka, aku ingin bertanya hingga mereka mengakui kebenarannya."
"Tidak ada maling yang akan mengakui kesalahannya dengan mudah, Anantari." Rendra mendongak, menatap Vanya yang saat ini sedang berdiri di hadapannya. "Kamu adalah keluarga mereka, kamu lebih tahu apa yang terjadi."
Vanya mengangguk kemudian mengambil tempat kosong di sisi Rendra dan duduk dengan tenang, tatapannya kini bertumpu pada Rendra.
"Lalu ... kenapa kamu menginginkanku?"
"Lebih baik menikah dengan seseorang yang sudah kita kenal 'kan?"
"Bukannya kamu bilang kamu tidak peduli siapa yang akan menikah denganmu?"
" ...." Rendra terdiam untuk sesaat, bukan karena dia tidak memiliki jawabannya akan tetapi saat ini ia tak ingin mengungkapkan jawaban yang sesungguhnya.
"Kamu tidak bisa menjawabku, mas?"
"Apa kamu ingat apa yang saya katakan pada Miray waktu itu?"
Vanya mengangguk samar, ia masih ingat dengan jelas apa yang dikatakan oleh Rendra waktu itu. Sebuah perkataan yang membuat kakaknya hampir melahirkan waktu itu juga, untung saja regulasi emosi kakaknya lebih baik dari dirinya. Hingga meski terkejut, wanita itu tetap tenang.
"Saya sudah mengenalmu saat gigimu masih ompong, dan melihatmu di pernikahan kakakmu waktu itu sepertinya-"
"Jangan bilang kamu jatuh cinta denganku." Sela Vanya, ia meninggikan suaranya untuk menutupi debaran jantungnya yang begitu cepat.
"Kamu mau saya jatuh cinta denganmu?"
Vanya menggelengkan kepalanya dengan cepat, entah apa yang merasukinya sehingga dia menolak gagasan jatuh cinta itu dengan tegas.
"Saya tidak jatuh cinta dengan kamu, tenang saja." Suara Rendra terdengar dingin, bahkan ruangan yang sudah sejuk itu terasa semakin dingin.
Vanya menghela nafasnya lega.
"Katakan, kenapa kamu tidak ingin saya jatuh cinta denganmu? Karena kekasih gelapmu itu?"
"Kamu terlalu banyak berpikir, Mas. Henggar itu hanya teman kerja."
"Jawab saya."
"Itu karena-"
Tok Tok Tok, tak sempat Vanya menyelesaikan kalimatnya terdengar suara ketukan di pintu kamarnya. Ia langsung bangkit dan melangkah untuk membuka pintu, meninggalkan Rendra yang sedang menatapnya dingin. Vanya merasa bersyukur pada siapapun yang sudah mengetuk pintu kamarnya, siapapun itu sudah menyelamatkan dirinya dari pertanyaan yang sulit untuk dijawab oleh Vanya.
"Oh, Mahesa. Ada apa?" Itu adalah Mahesa, sekertaris pribadi Harun Murya.
"Asisten Pak Rendra menitipkan barang ini untuk Nona," ujarnya sembari menyerahkan sebuah tas hitam kepada Vanya sembari mengintip ke belakang bahu Vanya untuk melihat sosok Rendra yang saat ini sedang berdiri di dekat jendela hingga menampilkan siluet tinggi yang gagah.
"Terima kasih, ya, Sa."
"Sama-sama, Nona. Ngomong-ngomong ...." Mahesa menundukkan kepalanya. "Apa Nona baik-baik saja?" Mahesa mengecilkan suaranya, seolah tak ingin orang lain mendengarnya. Vanya mengerti bahwa Mahesa memastikan kondisinya setelah menikah dengan Rendra.
"Aku baik-baik saja, Sa. Mas Rendra baik sama aku, Terima kasih, Sa."
Mahesa menghela nafas lega, ia sempat khawatir saat yang duduk di depan penghulu adalah Vanya dan bukan Alessia. Mahesa mengenal Rendra dari beberapa pertemuan. Ia berpikir jika Rendra adalah orang yang dingin dan susah untuk dihadapi. Entah apa jadinya jika Vanya yang ceria menikah dengan pria seperti itu. Tapi melihat Vanya berdiri di hadapannya dengan senyum dan binar di matanya yang masih sama seperti sebelum menikah, Mahesa merasa lebih tenang.
"Baiklah kalau begitu, saya kembali dulu." Mahesa lantas pergi dengan senyuman tulus di wajah tampannya. Vanya menutup pintu dan hendak kembali ke sisi Rendra.
"Jadi bukan Henggar tapi Mahesa?" Suara bariton Rendra menggema di seluruh ruang kamar Vanya yang tak lebih besar dari kamarnya yang ada di rumah Rendra.
"Apa maksudnya itu, Mas?"
"Jadi kamu melarang saya jatuh cinta denganmu karena hubungan kamu dengan asisten itu?"
Vanya tertawa tak habis pikir dengan pikiran Rendra yang random, satu hari menuduhnya punya hubungan dengan Henggar, di hari lain ia menuduhnya memiliki hubungan dengan Mahesa.
"Kenapa tertawa?"
"Kamu lucu, Mas ...," balas Vanya sambil berusaha menahan tawanya agar tidak tergelak dengan keras. "Mahesa dan aku itu sama-sama penerima beasiswa dari yayasan keluarga Murya, dia itu sahabatku. Tidak ada cinta di antara kami. Tapi ... kenapa aku harus jelasin ini ke kamu ya?"
Rendra tak menggubrisnya, ia berbalik dan kembali menatap pemandangan yang ada di luar jendela.
"Aku mau bersiap-siap dulu," ujar Vanya berpamitan dan menghilang di balik pintu kamar mandinya.
Tapi tak butuh waktu lama sampai Vanya berteriak memanggil nama Rendra. Tak pernah mendengar Vanya berteriak sekencang itu, secara naluriah Rendra melangkah cepat ke arah kamar mandi, ia hendak membuka kamar mandi tersebut tapi pintunya terkunci dari dalam.
"Anantari, apa yang terjadi? Buka pintunya!"
"Tunggu sebentar!"
Vanya membuka pintu tersebut sambil memegangi bagian depan gaunnya. Saat melihat wajah Rendra yang cemas di balik pintu tanpa berdosa Vanya tersenyum lebar menunjukkan gigi rapinya.
"Apa kamu terpleset? Kamu terluka?!" Rendra yang tidak sabar itu menerobos masuk, membuat Vanya kelimpungan mundur ke belakang sambil tetap memegangi gaunnya.
"Kamu kenapa?!" jelas sekali jika Rendra sangat tidak sabaran, semua terpampang jelas di wajahnya.
"Aku ... anu ...."
"Anu apa, jangan bertele-tele. Apa kamu terluka?"
"Nggak, Mas. Aku nggak bisa narik zipper dress aku." Vanya mengatakannya dengan malu-malu. sungguh dia mengutuk Shouta yang memberinya dress dengan zipper panjang sepanjang punggungnya hingga membuatnya tak bisa menariknya ke atas.
"Hanya itu?"
"Ya, hanya itu. Tolong ya, Mas, bantuin aku." Vanya memasang wajah memelasnya, melebarkan matanya dan mengedip seperti seekor kucing.
"Kemari!" satu perintah dari bibir Rendra membuat tubuh Vanya bergerak secara otomatis, perlahan-lahan ia memutar punggungnya.
Kini punggung mulus Vanya itu tampak jelas di hadapan Rendra, untuk sesaat Rendra menatap garis lurus yang tergambar di tengah punggung itu. Tangannya sudah tergelitik untuk menyentuh punggung tersebut, tapi bukan Rendra namanya jika ia tak bisa menahan diri. Terkutuklah Shouta yang membelikan dress ini.
"Mas? Cepetan, dingin ini."
"Kamu ganti baju aja."
"Aku nggak punya baju ganti di sini, dan kalau pun ada tidak ada bajuku yang proper untuk makan malam."
Rendra mendengus pelan, ia mengangkat tangannya menuju ke punggung mulus milik Vanya. Iblis di dalam diri Rendra terus merong-rongnya, mendorongnya untuk menarik dress itu turun dari tubuh mungil Vanya dan memenjarakan perempuan itu di sini saja. Tapi naluri kemanusiaan Rendra berhasil menggesernya, hanya telunjuk-hanya telunjuknya saja yang menyentuh kulit mulus tersebut, meski hanya kulit jarinya saja menyentuh punggung itu, sudah berhasil membuat Rendra menggeram. Pria itu benar-benar sedang menahan diri.
Tubuh Vanya menegang saat merasakan sebuah sentuhan dingin di kulitnya, jantungnya berdegup kencang tak karuan. Tubuh Vanya menegang saat merasakan sebuah sentuhan dingin di kulitnya, jantungnya berdegup kencang tak karuan. Udara di ruangan itu seolah berubah-berat, sarat dengan energi yang tak terlihat, namun bisa dirasakan menggetarkan tulang. Jari Rendra masih diam di sana, seakan enggan pergi, menempel tepat di lengkungan halus punggung gadis itu. Ia bisa merasakan detak jantung Vanya berdegup cepat, meski tak bersuara, tubuh mungil itu berbicara lewat setiap getaran dan tarikan napasnya.
"Anantari..." suara Rendra nyaris hanya bisikan, tapi di telinga Vanya, itu terdengar seperti petir di malam sunyi-menggetarkan, menelanjangi lapisan demi lapisan pertahanannya.
Gadis itu menggigit bibir bawahnya, menolak untuk berbalik, karena ia tahu... jika ia melihat mata itu, mata yang selalu gelap dan tenang, tapi kini menyala penuh bara yang ditahan, ia akan runtuh. Akan meleleh dalam arus deras emosi yang tak pernah mereka beri nama, namun selalu mereka kenali.
Rendra menurunkan tangannya perlahan, menyusuri tulang belakang Vanya seakan ia sedang membaca sebuah dokumen pekerjaannya, takut salah ucap, takut menghancurkan sesuatu yang rapuh tapi indah. Dress Vanya masih tetap di tempatnya, tak bergeser sehelai pun, tapi udara di antara mereka kini terasa seperti lautan pasang yang siap menelan mereka kapan saja.
"Saya bisa saja... tak membiarkanmu keluar malam ini," bisiknya lagi, kali ini lebih rendah, lebih dalam, nyaris seperti pengakuan.
Vanya akhirnya menoleh perlahan. Mata mereka bertemu.
Dan dunia mereka berhenti berputar.
Seketika segalanya menjadi sunyi. Tak ada suara malam, tak ada detak jam dinding, hanya napas mereka yang saling bertabrakan dalam jarak yang terlalu dekat dan perasaan yang terlalu dalam. Mata Vanya berkilat, bukan karena air mata, tapi karena perasaan yang sudah lama ia pendam. Rendra, dengan jemarinya yang masih gemetar, mengangkat dagu Vanya pelan. Tak ada kata yang keluar. Tak perlu. Karena dalam keheningan itu, cinta yang penuh larangan dan ketakutan menemukan suaranya sendiri.
Iblis di dalam diri Rendra menari-nari kegirangan ketika bibir Rendra yang penuh mulai mendekati bibir menggoda Vanya. Hanya perlu satu dorongan hingga bibir mereka akhirnya bertemu, namun suara ringtone ponsel Rendra menghancurkan semuanya.
Vanya tersadar kembali pada kenyataannya, ia menghela nafasnya lega. Merasa malu pada apa yang hampir saja terjadi. Menata ulang degup jantungnya tak beraturan, ia menatap dirinya di cermin, memperhatikan Rendra sedang menerima panggilan tanpa berpindah tempat. Sesaat kemudian mata mereka bertemu di cermin.
Ponsel itu kemudian diapit Rendra menggunakan pipi dan bahunya, sementara kedua tangannya digunakan untuk menarik Vanya mendekat padanya lalu ia menarik zipper Vanya hingga menutup seluruh punggung halus yang akan hampir saja meledakkan kekuatan dahsyat di antara dua anak manusia itu.
"Saya tunggu di luar," ujar Rendra seolah tak terjadi apapun, ia langsung beranjak keluar kamar mandi. Seperginya Rendra, tubuh Vanya lemas, hampir luruh di lantai kamar mandi, untung ada tangan yang menopang tubuhnya.
"Apa yang kamu pikirkan, Vanya!" Vanya mengambil udara banyak-banyak untuk mengisi kantong paru-parunya yang terasa kosong. Setelah siap, ia langsung keluar kamar mandi dan mendapati Rendra berdiri di dekat jendela.
"Aku sudah siap."
Rendra hanya mengangguk, ia sama sekali tak menatap Vanya, pandangan matanya jelas-jelas menghindari inti mata Vanya.
Hampir saja.
**
Semua pasang mata yang ada di ruang makan keluarga Murya itu tak lepas dari sepasang pengantin baru yang tengah melangkah ke arah mereka, seperti mereka belum pernah menemui pasangan yang tampak begitu serasi.
Pasangan pengantin baru itu mengabaikan tatapan-tatapan kekaguman tersebut, Vanya langsung menuju ke arah Harun Murya yang duduk di ujung meja makan panjang, memberi salam pada ayah angkatnya, berlanjut kepada Miranda. Berbeda dengan Vanya, suaminya tak melakukan hal yang sama, memilih menunggu sang istri selesai melakukan basa-basi kesopanan keluarga.
Saat Vanya sudah selesai, Rendra kemudian melangkah ke sampingnya, ia juga menarikkan kursi yang akan diduduki oleh Vanya. Tindakan Rendra ini pun mengundang perhatian keluarga Murya. Mereka tidak mengira jika Rendra akan melakukan hal semacam itu jika melihat dari tempramennya.
"Terima kasih, Mas." Meski Vanya agak terheran dengan tingkah Rendra tapi ia membiarkannya dan bertindak sesuai keadaan saja.
"Bagaimana kabar kamu, nak?" tanya Harun sembari melengkungkan bibirnya.
"Sehat, ayah. Bagaimana dengan ayah?"
"Tentu saja aku sehat, malam ini sungguh beruntung. Aku dengar kamu pulang dan membuat acara makan malam ini untuk menyambutmu."
"Ini berlebihan, tapi terima kasih. Ayah."
"Bagaimana kehidupanmu setelah menikah, kak?" Alessia menyahut.
"Ini baru beberapa hari Alessia, tidak ada yang berubah secara signifikan. Tapi terima kasih, karena akalmu yang pintar itu sekarang aku bisa kembali ke Jakarta." Vanya mengatakannya dengan suara yang dingin dan tenang.
Alessia menyipitkan mata, merasa tersengat oleh kalimat Vanya yang disampaikan dengan ketenangan menusuk. Gadis itu meletakkan garpu dan pisaunya dengan perlahan, menciptakan bunyi logam halus di atas piring, tapi matanya menyala penuh tantangan.
"Kalau kamu memang terlalu nyaman menggantikan posisi orang lain, siapa aku untuk menghalangi, kan?" Alessia menyeringai, tajam. "Lagipula kamu memang selalu suka mengambil apa yang bukan milikmu."
Vanya mengangkat alis, ekspresinya tak bergeming. "Kamu benar, aku menggantikan seseorang. Tapi itu karena seseorang itu memutuskan untuk kabur seperti pengecut dan meninggalkan kekacauan yang harus dibereskan orang lain. Kalau kamu merasa posisimu diambil, itu artinya kamu yang menyerah lebih dulu."
Alessia tertawa pendek, sinis. "Lucu juga. Sejak kapan kamu jadi pahlawan, Kak? Atau kamu hanya berakting baik agar semua orang kasihan?"
"Lebih baik dianggap berakting daripada memang benar-benar jahat," Vanya balas dengan senyum tipis yang membekukan. "Dan jika kamu tidak kabur, aku tidak akan duduk di sini sekarang. Jadi tolong, jangan lemparkan rasa bersalahmu ke orang lain."
Kedua gadis itu kini saling tatap dengan intensitas yang membuat udara di meja makan mendadak terasa seperti medan perang. Beberapa anggota keluarga mulai saling berpandangan tak nyaman. Tapi sebelum ada yang bicara, suara Rendra terdengar, tenang namun sarkastik seperti belati yang diasah baik-baik.
"Wah, menarik sekali menyaksikan drama sinetron langsung di meja makan. Tapi sayangnya, tokoh utamanya bukan kamu, Nona Alessia."
Semua mata beralih padanya.
Rendra meletakkan gelasnya dengan pelan, lalu menatap Alessia, datar. "Kalau kamu ingin balas dendam, silakan. Tapi jangan pakai lidah yang dilapisi madu beracun. Cukup bilang saja kamu menyesal, kamu iri, dan kamu ingin kembali ke tempat yang kamu tinggalkan. Tapi jangan pakai dalih moral untuk menghakimi orang yang menambal kerusakan yang kamu buat."
Alessia tampak tersentak, bibirnya bergetar, tapi tak ada kata yang keluar.
"Dan, ya," lanjut Rendra sembari mengalihkan pandangan pada Vanya dengan sikap santai namun protektif, "aku memilih istriku. Bukan karena terpaksa, bukan karena tidak ada pilihan lain, tapi karena dia satu-satunya orang yang berani berdiri di saat semua orang memilih lari."
Keheningan jatuh seperti kabut tebal di meja itu.
"Kalian harus ingat, berkat istriku ..." Suara Rendra memotong ketegangan yang belum reda, dingin namun tegas. Ia menoleh pada Vanya, menatap manik cokelat gelap perempuan itu dengan sorot yang sulit diartikan. "Berkat dia, kalian masih hidup hingga hari ini."
Ruangan seketika sunyi. Kalimat itu melayang di udara seperti palu yang menghantam keheningan. Tidak ada yang menyangka Rendra akan bicara sejauh itu-membela Vanya bukan hanya sebagai bentuk solidaritas, tapi seolah mengukuhkan bahwa kehadirannya adalah penyelamat, bukan pengganggu.
Vanya menunduk sedikit, mencoba menyembunyikan keterkejutannya. Tapi rona hangat tak bisa ia sembunyikan dari pipinya. Kata-kata Rendra tadi bukan hanya pembelaan, tapi sebuah pengakuan. Sebuah pengakuan yang membuat dada Vanya menghangat, meski ia tahu bahwa pernikahan mereka bukan atas kehendak masing-masing, tapi Vanya merasa berterima kasih karena Rendra berdiri untuknya.
Alessia membeku di tempatnya, bibirnya bergetar namun tak bersuara. Mata itu... menyimpan begitu banyak hal. Luka, mungkin. Kekecewaan. Tapi juga amarah yang belum menemukan tempat untuk tumpah. Ia menoleh ke arah Harun sejenak, seolah berharap ayah mereka akan menengahi, tapi tak ada yang datang.
Harun mengangguk pelan, menatap Rendra dengan sorot yang sulit ditebak-antara kagum, kaget, dan penuh pertimbangan.
"Baiklah," katanya akhirnya, suaranya tenang. "Mungkin makan malam ini benar-benar istimewa."
Dan makan malam pun berlanjut, dengan ketegangan yang masih menggantung di udara.
...---Bersambung---...
...OBJECT OF DESIRES | 2025...
semangat nulisnyaa yaaaa