bagaimana jadinya kalau anak bungsu disisihkan demi anak angkat..itulah yang di alami Miranda..ketiga kaka kandungnya membencinya
ayahnya acuh pada dirinya
ibu tirinya selalu baik hanya di depan orang banyak
semua kasih sayang tumpah pada Lena seorang anak angkat yang diadopsi karena ayah Miranda menabrak dirinya.
bagaimana Miranda menjalani hidupnya?
simak aja guys
karya ke empat saya..
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon santi damayanti, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
dia memakai ideku
Pagi tiba. Miranda bangun sambil memegang pinggangnya. Rian sudah tidak ada di sampingnya. Ia tersenyum kecil dan berbisik, “Awal yang baik.”
Miranda bangun dari peraduan. Rian sudah duduk di depan monitor. Di kamarnya memang ada ruang kerja kecil. Ia memang terkenal gila kerja sejak lama.
“Aku kesiangan ya?” tanya Miranda pelan.
“Ya. Kamu malas sekali,” jawab Rian tanpa menoleh.
Miranda mendengus. Sikap Rian membuatnya kesal. Padahal semalaman pria itu memeluknya sampai pagi. Ia masuk ke kamar mandi tanpa komentar tambahan.
Terdengar suara air yang mengalir. Rian menelan ludah sambil tetap menatap grafik di monitornya. Ia membuka beberapa email lalu mengetik balasan dengan gerakan cepat.
Beberapa menit kemudian Miranda keluar. Handuk kecil tersanggul di kepalanya. Ia memakai jubah mandi yang menampakkan betis jenjangnya dan membuat Rian kembali menelan ludah.
Miranda masuk ke walk in closet untuk berganti pakaian. Rian beberapa kali melirik ruangan itu, tetapi Miranda tidak juga keluar.
“Kemana dia?” gumamnya.
Ia melangkah mendekat dan menemukan ruang itu kosong. Miranda sudah pergi dari sana. Ia berbalik dengan helaan napas panjang.
“Kamu cari aku ya?” suara Miranda muncul di dekat meja kerja.
Rian hanya menarik napas berat lalu berjalan kembali ke kursinya. Miranda menyodorkan nampan kecil.
“Ini makan dulu, sayang. Kerja harus sambil makan dan minum kopi.”
Aroma kopi memenuhi ruangan dan menenangkan Rian. Ia duduk dan mulai makan.
“Hari ini rapat keluarga. Kamu harus terima apa pun keputusan mereka,” ujar Rian.
Miranda tertegun. “Aku tidak boleh membela diri?”
“Sudah. Terima saja. Jangan membuat ribet,” jawab Rian dingin.
Miranda menunduk. Dalam hati ia bergumam, “Dia tidak membelaku. Padahal aku ini istrinya. Kenapa dia tidak marah saat tahu aku dibully? Ah, mungkin aku lupa kalau aku hanya istri kontrak.”
“Kenapa melamun?” tanya Rian sambil mengetik.
“Tidak. Aku hanya takjub melihat ketampanan suamiku,” jawab Miranda singkat.
“Bisa tinggalkan aku sebentar? Aku perlu konsentrasi,” ujar Rian tanpa emosi.
Miranda menarik napas panjang lalu menghembuskannya sampai anak rambutnya ikut bergerak. Ia pergi meninggalkan Rian dan mencari kegiatan lain yang bisa membuatnya lebih tenang.
..
,,
Waktu berlalu begitu cepat hingga siang tiba. Di ruang utama, meja oval besar tempat rapat keluarga sering digelar sudah dipenuhi sepupu Rian bersama orang tua mereka. Kirana duduk di kursi utama. Rian berada di sisi kanan dan Miranda di sisi kiri.
Tatapan sepupu Rian menusuk ke arah Miranda. Wanita itu tidak menunduk. Ia memilih bersikap tenang dan bertekad tidak gentar, bahkan jika harus berseberangan dengan suaminya sendiri.
“Ka Kirana, aku tidak terima anakku dipecat hanya karena menantu yang tidak kompeten,” ujar Armand, ayah Mira.
“Ya, aku juga tidak terima. Apakah Ka Kirana tidak melihat jasa kami dalam membangun perusahaan ini, lalu memecat anak-anak kami begitu saja?” ujar Bagas, ayah Lidia.
Kirana belum menjawab. Ia mengetukkan jarinya perlahan ke meja sambil memperhatikan mereka satu per satu.
“Dan kenapa Rian harus menikah dengan orang yang tidak layak sama sekali?” tanya Lidia dengan nada tajam.
“Asal Ka Kirana tahu, anak-anak kami adalah tim inti di Baskara Corporation. Jika mereka tidak ada, perusahaan akan mengalami guncangan,” jelas Raymond, ayah Jelita.
“Benar kata Paman Raymond. Perusahaan akan goyah tanpa kami,” tambah Mira.
Kirana menarik napas panjang. “Ada lagi yang ingin disampaikan?” tanyanya tenang.
“Kami memberikan dua pilihan,” ujar Armand. “Tarik kembali pemecatan terhadap keponakan kami dan nikahkan Rian dengan orang yang lebih layak, yaitu Audy.”
Miranda tetap diam. Dalam hatinya ia sadar hanya mendapat dukungan dari ibu mertuanya. Suaminya sendiri tidak jelas berpihak ke mana. Ia menatap meja dan bergumam dalam hati bahwa mungkin ia terlalu bahagia dengan pelukan semalam hingga lupa Rian lebih mencintai Audy.
“Hanya itu yang kalian sampaikan?” tanya Kirana menegaskan.
“Untuk sementara cukup,” jawab Armand.
“Aku juga akan menyampaikan dua hal,” ujar Kirana dengan dingin. “Kalian terima pemecatan itu atau kalian semua aku pecat.”
“Ka Kirana,” bentak Raymond. “Hanya karena menantu tidak jelas, kamu ingin menghancurkan keluarga ini.”
“Benar. Dia tidak jelas asalnya dari mana. Kenapa membela dia? Tanpa kami perusahaan akan hancur,” tambah Calista.
Kirana menghela napas panjang. “Perusahaan ini sudah hancur tiga puluh tahun lalu. Aku memimpin dengan hutang menumpuk dan aset yang disita bank. Saat itu kalian tidak ada. Kalian baru masuk setelah perusahaan stabil. Jadi kalian tidak sepenting yang kalian kira.”
“Ka Kirana,” teriak Armand. “Hanya karena membela menantu tidak jelas ini, kamu merendahkan kami.”
“Kalian tidak perlu aku rendahkan. Kalian sudah hina. Kalian oportunis. Tidak ada yang hadir saat aku berdarah-darah membangun perusahaan ini.”
“Apa bedanya dengan dia?” seru Armand sambil menunjuk Miranda.
“Turunkan telunjukmu atau aku potong,” ujar Kirana tegas. “Mungkin kalian belum tahu siapa sebenarnya menantuku. Dia anak sahabatku, Nurmalinda. Saat kalian meninggalkanku, hanya Nurma yang bertahan. Tanpa dia, kita tidak mungkin punya cabang usaha di berbagai negara.”
Semua terperangah saat identitas Miranda terungkap.
“Ya, tapi kamu juga membantu keluarga Aditama. Jadi sudah seimbang,” ucap Raymond mencoba membalas.
“Ka Rian, kamu sebagai CEO jangan hanya diam. Perusahaan akan hancur tanpa kami,” ujar Mira dengan nada keras
Rian menghela nafas menegkan badannya, mengedarkan pandanganya
“Kebetulan sekali aku ingin menyampaikan hal penting,” ujar Rian.
“Sebulan ke depan aku akan melakukan perbaikan manajemen perusahaan agar sistem kita menjadi mapan. Sebuah sistem harus berjalan bukan karena orangnya, tetapi karena mekanismenya. Sistem yang tidak bergantung pada siapa pun, melainkan pada apa yang dikerjakan.” Rian berhenti sejenak sebelum melanjutkan.
Miranda memperhatikan raut wajah suaminya. Dalam hati ia bergumam bahwa itulah usulnya semalam. Ia heran karena Rian menghina idenya, tetapi sekarang menggunakan gagasannya seolah milik sendiri.
“Apa maksudnya, Rian? Tolong perjelas,” ujar Armand.
“Sebulan ini seluruh divisi akan diaudit oleh tim eksternal. Aku tidak akan ikut campur. Siapa pun yang kinerjanya buruk harus bersiap diganti,” jawab Rian tenang.
“Tidak bisa seperti itu. Kami sudah berjasa besar bagi perusahaan ini,” bantah Armand.
Rian menghela napas panjang. “Perusahaan juga menggaji paman dan memberikan dividen. Jadi tidak ada istilah paling berjasa. Dan selama proses audit, aku juga akan memeriksa keuangan serta aset perusahaan. Semua aset yang dikuasai secara pribadi akan ditarik kembali.”
“Rian, ini tidak bisa kamu lakukan,” ujar Bagas dengan suara meninggi.
“Kenapa tidak bisa?” tanya Rian tegas. “Perusahaan kita beromzet triliunan, tetapi belum dikelola dengan manajemen yang mapan. Aku tidak mau kejadian tiga puluh tahun lalu terulang. Aku tidak akan membiarkan diriku bekerja keras hingga berdarah-darah tanpa fondasi yang benar.”
Ucapan itu membuat beberapa orang di meja saling menatap. Mereka ketar-ketir karena banyak dana yang telah mereka gelapkan dan banyak aset yang mereka kuasai tanpa pencatatan resmi.
“Baik, kami terima demi kebaikan kita semua. Tapi kamu harus mencabut pemecatan itu,” ujar Armand.
“Tidak bisa. Pemecatan itu sudah tepat,” jawab Rian.
“Apa maksud kamu, Rian?” tanya Armand lagi.
“Seorang manajer dan orang penting di perusahaan harus memiliki moral yang baik. Mereka tidak boleh merendahkan orang lain, apalagi merendahkan istriku. Jika itu orang lain, aku sudah memasukkan mereka ke penjara sampai membusuk. Karena kalian keluarga, pemecatan adalah hukuman paling ringan.”
Miranda merasakan kehangatan di dadanya. Di balik sifat dingin Rian, ternyata suaminya membela dirinya dengan risiko besar.
“Rian, kami tidak terima ini,” ujar Raymond.
“Silakan mengundurkan diri. Dividen akan aku cairkan sekaligus,” jawab Rian datar.
“Rian, perusahaanmu akan hancur tanpa kami,” seru Armand.
“Perusahaanku tidak akan maju dengan orang yang suka mengancam dan malas bekerja,” ujar Rian.
Ia berdiri perlahan. “Jika tidak ada hal lain yang ingin disampaikan, aku akan pergi. Masih banyak urusan yang harus aku selesaikan.
Kakak ga punya akhlak
mma Karin be smart dong selangkah di depan dari anak CEO 1/2ons yg masih cinta masalalu nya